PASCABANJIR bandang hebat, masyarakat Kota dan Kabupaten Bima kini dalam situasi tidak nyaman. Hujan lebat masih mengiringi perjalanan hari. Terutama pada siang dan sore hari. Pada wilayah tertentu, hujan dalam intensitas sedang saja sudah menggenangi areal. Apalagi, terjadi penambahan voleme. Ya, kita dalam intipan dan ancaman banjir. Terjangan arus dalam dua episode sebelumnya telah menguras emosi dan energi. Tidak saja masyarakat Bima, tetapi juga tetangga dan luar daerah.
Jumat (13/01) malam, banjir mulai menggenangi sebagian wilayah Kota Bima. Semakin menambah trauma masyarakat. Sebagian tidak ingin berisiko, mereka kabur mengungsi. Ketidakmungkinan yang sebelumnya dipersepsi luruh setelah dua terjangan arus. Bagaimana selayaknya banjir ini direnungi dan direfleksikan bersama oleh Dou Mbojo? Dalam konteks Islam, hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kita tidak luput dari pembahasan. Perintah Allah kepada manusia agar menjaga bumi ini adalah hal yang sangat penting dalam hal ini. Perhatikan ‘isyarat langit’ itu. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(QS: Ar-rum 41).
Apa yang kemudian terjadi di atas muka bumi ini adalah akibat dari apa yang dikerjakan oleh manusia. Demikian pula banjir. Implikasi logis dari apa yang telah dikerjakan oleh manusia. Antara lain kecerobohan sebagian manusia yang tidak bertanggung jawab dalam menebang di hutan dan tidak adanya reboisasi. Memang dalam waktu dekat tidak terlihat langsung, tetapi kondisi itu mendukung pemanasan bumi (global warming). Dilihat dari satu sisi itu, banjir memang keburukan karena terjadi kerugian kehancuran, bahkan kehilangan nyawa. Tetapi, ada hal lain yang perlu disimak, yaitu bencana alam semacam itu bisa menjadi pelajaran berharga. Bisa jadi ujian Allah terhadap manusia. Banjir menjadi pelajaran berharga, saat kita sadar bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi dari apa yang kita miliki selain kebaikan yang menjadi bekal. Tidak ada yang menjadi hak kita sepenuhnya.
Nah, saat banjir mengintip, mari kita bersimpuh di hadapan-Nya. Memohon ampunan dan menambah banyak istigfar. Skenario kehidupan yang dipetakan Allah tidak ada yang mampu mengerti. Kita adalah makhluk lemah. Tidak boleh membusung dada, apalagi pongah terhadap sesama dan mengeksploitasi lingkungan semaunya sendiri. Ketika banjir setia mengintai lingkungan sekitar kita, mari meningkatkan kewaspadaan. Membangun mekanisme pertahanan diri melalui koordinasi lintas sektoral. Ketika kita dalam lingkaran lingkungan yang berpotensi tinggi banjir setiap saat, maka mari bermunajat dalam hening jiwa. Dalam kebeningan hati dan kesucian niat. Terus beristigfar, dalam kerendahan hati berucap lirih. “Allahumma shoyyiban nafi’an”. Ya Allah, jadikanlah ini hujan yang bermanfaat bagi kehidupan kami. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.