DUA warga Kecamatan Sape Kabupaten Bima tewas di areal persawahan So Romba Desa Kaleo Kecamatan Lambu, Selasa (24/01/2017) siang lalu. Insiden maut bermotif sengketa tanah keluarga itu, melibatkan kelompok sewaan. Ironisnya, selain tombak dan senjata tajam, ada pistol enam peluru yang menyalak di lokasi itu. Kasus itu kini menjadi bahan perbincangan hangat masyarakat Sape dan Lambu. Episode keberanian dalam kesalahan pilihan ekspresi. Semoga tidak terulang.
Seperti rangkaian kasus sebelumnya, meskipun ada korban tewas, tidak ada eskalasi lanjutan yang dilakukan keluarga korban. Tidak ada pemblokiran jalan di Sape. Tidak ada balas dendam yang segera terlihat di permukaan. Datar saja. Pada satu sisi ini, pascakejadian aparat Kepolisian tidak kelabakan menghadapi massa. Syukurlah, karena beban penanganan aparat dan ongkos sosial tidak bertambah.
Kemunculan kasus berdarah ini patut disesalkan. Masih ada cara yang lebih bermartabat untuk menyelesaikan konflik atarkeluarga. Secara hukum, kabarnya sengketa itu telah dipungkasi melalui keputusan Mahkamah Agung untuk satu kubu. Namun, legalitas itu terus dipersoalkan oleh kubu lain, sehingga melibatkan pihak ketiga untuk berkonfrontasi. Selasa siang itu darah berceceran di tanah. Kisah ‘heroik’ yang tidak perlu ditiru tentunya. Suatu kefatalan pilihan tindakan yang akan dikenang dalam sejarah kelam.
Kita mengharapkan mereka yang berada dibalik peristiwa penyerangan itu segera diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban. Pasti ada ‘master mind’ yang menggerakkannya. Selain itu, ihwal kepemilikan senjata api harus diusut tuntas sumbernya. Kepemilikan senjata api tanpa izin oleh masyarakat sipil, sangat berbahaya. Fakta senjata api itu menunjukkan bahwa potensi ancaman Kamtibmas harus terus diwaspadai, ibarat ‘bom waktu’ yang setiap saat meledak kencang. Jadi harus segera disisir (sweeping) untuk memastikannya tangan amatir sipil tidak memegangnya lagi.
Di luar kasus itu, ada lagi kasus agraria yang sangat sensitif muncul di Sape. Yakni soal kontroversi eks tanah jaminan Kepala Desa (Kades). Potensi ini harus mampu dicermati lebih dini oleh aparat terkait. Emosi yang meletup bisa menemukan ‘kanalisasinya’ di areal persawahan. Tentu kita harus menghindari kontroversi seperti itu diselesaikan dalam bahasa kekerasan, karena masyarakatlah yang menjadi korbannya.
Konflik maut agraria punya peluang yang sama muncul pada semua wilayah. Tidak hanya Sape dan Lambu. Aparat Intel dan pihak terkait selayaknya jeli mendeteksi kemunculan untuk keperluan langkah antisipatif. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.