BENTROK antarkelompok warga Desa Dadibou dan Desa Risa Kecamatan Woha Kabupaten Bima kembali terjadi, Rabu (22/02) sore. Bahkan, mereka saling serang menggunakan anak panah dan senjata api. Jarak sekitar 50 meter di perbatasan dua desa. Bahkan, aparat Kepolisian pun “digertak” ketika mencoba menghalau. Pergerakan warga sipil bersenjata ini sudah lama meresahkan. Tidak hanya wilayah Woha dan sekitarnya, tetapi juga masyarakat Mbojo umumnya. Sampai kapan? Entahlah! Tampaknya konflik di antara mereka punya potensi muncul setiap saat dalam detail kejadian yang sepele sekalipun. Semacam bahaya laten.
Kali ini dipicu masalah para pelajar, lalu seperti magnet mampu menarik gerbong massa dalam skala luas dan tidak terbendung. Suatu modal perilaku sosial yang kontraproduktif terhadap upaya percepatan pembangunan di ibukota Kabupaten Bima itu. Untungnya, kali ini tidak ada eskalasi yang meluas jauh. Hanya satu warga Risa yang terkena panah. Meski kini sudah kembali adem, namun potensi konflik edisi yang kesekiankalinya ini tetap memerlukan pencermatan serius.
Setiap kali konflik Dadibou-Risa atau antarkampung lainnya di Kabupaten Bima, masyarakat kerap menyorongkan perhatiannya pada dua sisi dan sosok. Yakni Bupati Bima, Hj Indah Dhamayanti Putri dan Kapolres Bima, AKBP M Eka Fathurrahman, SIK. Ya, Bupati dalam usungan visi Bima RAMAH, bukan Bima MARAH-MARAH. Di Media Sosial, ekspresi riil dan implementasi visi ini pada aspek keamanan kerap di-bulyy para netizen. Contohnya ada yang menyentil Bima sedang menggelorakan ‘pariwisata konflik’.
Lalu bagaimana dengan Kapolres? Kehadirannya di kampung halaman sendiri, tentu bukan tanpa pertimbangan oleh Kapolda NTB. Diharapkan mampu membangun kesolidan dan kekompakkan untuk mewujudkan keamanan untuk mendukung pembangunan. Sejauh ini, Kapolres memang gesit ke lokasi konflik segera setelah muncul. Rasa kedaerahannya tentu lebih kuat. Kehadirannya di Bima merupakan tanggung jawab moral untuk menyuguhkan pengabdian terbaik. Rangkaian konflik menjadi tantangan bagi Kapolres untuk mencari formula terbaik meredamnya.
Sejatinya, masyarakat Dadibou-Risa dan wilayah lainnya mendukung upaya Bupati dan Kapolres. Bukan justru mendegadrasi atau menihilkan kerja keras mereka. Rangkaian gangguan selama ini jelas menguras energi yang seharusnya bisa diarahkan pada hal positif. Memang perlu refleksi kritis dan otokritik soal karakter masyarakat yang mudah meletup-letup dan ‘bersumbu pendek’. Kejadian yang awalnya hanya gesekan pribadi, hanya dalam waktu relatif singkat berubah menjadi massa. Suatu kebisaan buruk yang akan menghadang percepatan pembangunan, khususnya kenyamanan bersama.
Intinya, ‘pariwisata konflik’ ala Dadibou-Risa ini harus segera diakhiri. Kita adalah saudara. Hidup damai adalah keharusan dalam bingkai masyarakat beradab. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.