Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Refleksi Kritis terhadap “Musibah” Banjir

Oleh: Agus Salim Dir.

PERISTIWA banjir –-secara halus kita menyebutnya musibah-–yang telah dan sedang menimpa masyarakat Bima saat ini. Merupakan suatu peristiwa yang banyak mengambil perhatian – terutama yang ada di tempat kejadian. Kehadirannya banyak menimbulkan akibat-akibat – langsung maupun tidak – bagi kehidupan masyarakat. Akibatnya tidak hanya yang secara langsung dapat kita saksikan saat ini. Melainkan memiliki dampak yang lebih panjang daripada saat peristiwa ini terjadi. Bahkan – jika tidak berlebihan – penulis “melihat” bencana yang harus dikhawatirkan bukan apa yang s edang terjadi dan nyata dirasakan saat ini. Melainkan, akibat tidak langsung dari musibah saat ini. Karena, bencana sesungguhnya adalah akibat dari bencana itu sendiri.

Seperti halnya dampak yang ditimbulkan, dengan akibatnya yang cukup panjang dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membenahinya. Begitupun dengan munculnya musibah ini tidak terjadi secara tiba-tiba – sebagaimana kita melihat banjir yang tiba-tiba datang. Karena, banjir juga merupakan akibat. Akibat dari suatu sebab yang telah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Lumrah, bila terjadi hujan kemudian mengakibatkan air mengalir sedikit lebih besar dari biasanya dan mengalir indah di halaman dan sela-sela rumah, lalu kita berkata; “ah, ini peristiwa alam yanng biasa”. Tetapi, akan menjadi peristiwa yang menyedihkan bila hujan itu kemudian mengakibatkan “banjir bandang” yang menenggelamkan dan membawa tempat tinggal serta sebagian besar – bahkan semua – kekayaan yang kita miliki bersama arusnya yang deras. Menghancurkan tanah tempat kita bertani, merusak bangunan sekolah dan tempat-tempat ibadah kita. Kemudian dengan perasaan sedih kita berkata; “ini bukan peristiwa alam yang biasa”, “ini bencana”. Lalu untuk mengurangi – menghilangkan – perasaan sedih yang kita rasakan kita menyebutnya, “ini musibah”, “tuhan sedang menguji kita hamban-hammba-Nya”.

Memang tidaklah salah kita menyebut peristwa “banjir bandang” ini dengan – musibah dan ujian – dari Tuhan . Lagipula, salah dan benar tidak menghasilkan apa-apa. Kecuali, hanya menggiring kita  pada siapa yang salah dan siapa yang benar. Sehingga membawa kita untuk melupakan masalah yang sebenarnya. Mengatakan peristiwa ini sebagai “musibah dan ujian dari Tuhan”, dalam konteks masyarakat Bima adalah biasa. Mengingat – secara sosiologis – masyarakat Bima sudah “terlanjur” mengidentifikasi diri sebagai “masyarakat religius”. Hampir sulit memisahkan setiap sisi kehiupan dalam masyarakat ini dari spirit Islam. Sehingga dalam peristiwa seperti saat ini, akan sangat “wajar” kita menyebutnya musibah. Tetapi, jangan sampai identifikasi kita pada peristiwa banjir ini dengan sebutan “musibah dan ujian tuhan” dijadikan sebagai “pelarian” atas ketidakmampuan kita – terutama kaum intelektual dan agamawan – untuk menemukan sebab-sebab kejadian banjir ini. Hingga membuat kita menerima begitu saja peristiwa ini sebagai “musibah”. Tanpa berusaha melakukan refleksi kritis atau sekedar bertanya “alasan Tuhan” mendatangkan banjir – jika kita menyepakatinya sebagai musibah dan ujian dari-Nya. Sesungguhnya Tuhan selalu punya alasan yang jelas dan terang saat melakukan sesuatu yang berkaitan dengan hamba-Nya. Walaupu tidak semua orang (hamba-Nya) mengetahui dan memahaminya. Tuhan tidak akan berbuat sesuatu tanpa alasan. Mendorong hamba-Nya (manusia) untuk melakukan refleksi kritis terhadap setiap fenomena yang terjadi atau menimpa dirinya. Temasuk peristiwa “banjir bandang” ini.

Menggunakan perspektif teologis dengan berdasarkan pada kitab suci Al-Qur’an. Peristiwa banjir pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Bahkan digambarkan sangat besar dan dahsyat daripada apa yang menimpa masyarakat Bima saat ini. Salah satu contohnya, peristiwa banjir yang menimpa kaum Nabi Nuh AS, secara tidak langsung (tersirat) mengajak manusia untuk melakukan refleksi terhadap segala sesuatu peristiwa yang terjadi di alam semesta. Pada peristiwa “banjir bandang” ini sesungguhnya mendorong kita untuk bertanya, menemukan jawaban, sampai melakukan langkah penaggulangan dan antisipatif. Tentunya dengan pertanyaan yang memiliki landasan epistemik yang tajam serta mampu mengarahka kita untuk mampu membuka setiap lembaran proses kejadian yang mengakibatkan banjir saat ini. Sebab-sebab “banjir bandang” yang menimpa masyarakat Bima saat ini inilah yang perlu kita cari tahu dan pahami. Minimal dengan pertanyaan “mengapa banjir terjadi?”.

Tulisan ini tidak akan mungkin mampu menjawab pertanyaan ini seutuhnya. Melainnkan hannya sebagai “langkah awal” atau sekear suatu refleksi kritis atas apa yang sedang menimpa masyarakat kita. Pada dasarnya, saat kita berbicara tentang manusia atau masyarakat manusia, tidak bisa lepas dari sesuatu yang transenden, Tuhan. Apalagi untuk konteks masyarakat Bima yanng hampir selalu mendasarkan pandangan hidupnya pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. “Agama memiliki akar sosial , sebaliknnya masyarakat memiliki akar religius”, begitulah kira yang disebutkann oleh Ahmad Norma Permata – Sosiolog.

Pendapat di atas cukup menjadi landasan episteme bagi kita unntuk membaca problem yang menimpa masyarakat saat ini. Islam dalam kehdupaan masyarakat Bima sudah melekat kuat. Islam – dimasa lampau – telah menjadi spirit, telah menjadi detak kehidupan sosial dan nafas zaman bagi masyarakat – walaupun sekarang patut dipertanyakan. Ajaran agama Islam lewat dua kitab induknnya – Qur’an dan hadist. Secara langsung dan tidak langsung telah megajarkan umatnya tentang cara dan etika saat berhubugan dengan dengan Pencipta (Alla) dan Masyarakat (Hablumminallah wa hablumminannas) serta cara dan etika memperlakukan atau berhubungan dengan Alam (hablumminal ‘alam).

Bagaimana cara kita memperlakukan atau berhubungan dengan alam, yang meliputi gunung-gunung beserta segala yang terkandung didalamnya, sungai dan lautan serta segala sesuatu yang berkaitan denga alam. Memang pada dasarnya Alla SWT telah menjadikan manusia sebagai khalifah (wakil) Tuhan di bumi, dan memberikan amanah untuk mengurus dan mengelola bumi demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Walaupun demikian, tidak berarti kita (manusia) sesuka hati memperlakukan alam dengan sebebas-bebasnya. Hal itupun telah diingatkann oleh Allah, untuk memperlakukan alam secara bijaksana, memanfaatkannya dengan cara tidak berlebihan (rakus) dan memperturutkan hawa nafsu sampai membuatnya lupa akan akibatnya.

Peristiwa banjir saat ini, sesungguhnya merupakan akibat dari kerakusan manusia saat memperlakukan alam serta minimnya kepedulian untuk merawatnya. Pembabatan hutan secara liar, kondisi sungai yang dangkal dan dipersempit, merupakan kebiasaan buruk dan telah menjadi aib yang tidak mungkin bisa ditutupi lagi. Banjir saat ini merupakan bencana yang kita ciptakan sendiri. Jika kita kembalikan pada doktrin agama peristiwa ini merupaka akibat kurangnya kepedulian – atau bahkan tidak peduli sama sekali – kita pada ajaran Tuhan lewat kitab-Nya. Akibatnya tidak hanya kerusakan alam, tempat tinggal, tempat ibadah dan sekolah. Melainkan telah merembes pada hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat pada skala yang luas. Masalah ekonnomi, sosial, dan pendidikan telah melengkapi “penderitaan” masyarakat saat ini. Rusaknya hubungan kita dengan alam telah berdampak pada kehidupan sosial, ekomomi, dan pendidikan dalam masyarakat.

Semoga lewat peristiwa ini, kita bisa mengambil ibrah lalu berbenah diri – sebagai individu dan bagian dari masyarakat. Saatnya kita mulai memperbaiki “hubungan” dengan alam. Alam merupakan media Tuhan untuk memberikan kehidupan pada umatnya. Jika kita merusak hubungan dengan alam, secara tidak langsung kita telah merusak media antara kita dengan Tuhan dalam memberikan kehidupan. Beras, jagung, ubi, sapi, kuda dan semua jenis tanaman dan hewan ternak yang kita butuhkan dan pelihara tidak dijatuhkan dari langit oleh Tuhan – Sang Pemberi Kehidupan. Melainkan ditumbuhkan dari dalam bumi dan hidup diatasnya. Maka berbaik-baiklah dengan alam. Terakhir, bumi yang kita tempati dan hidup diatasnya bukanlah warisan dari nenek moyang kita, melainkan kita meminjamnya dari anak cucu kita yang datang. (*)

Wallahu a’lam bissawwaab.

Penulis sedang menempuh jenjang pendidikan SI di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada bidang Studi Sosiologi.

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Pemerintahan

Kota Bima,  Bimakini.- Pemerintah Kota (Pemkot) Bima menggelar Tabligh Akbar Akhir Tahun 2018 Masehi, Senin (24/12). Tabligh Akbar ini juga menjadi refleksi 2 tahun...

Peristiwa

Kota Bima, Bimakini.- Hingga sekarang, tiga dari 10 korban banjir di RT 01 RW 01 Kelurahan Penaraga Kecamatan Raba masih tidur dalam rumah berdinding...

Peristiwa

Kota Bima, Bimakini.- Pemerintah Kota Bima menyelenggarakan kegiatan Tabligh Akbar serta Dzikir dan Doa Bersama, dirangkaikan dengan Peringatan 1 Tahun Musibah Banjir Bandang, Sabtu...

Pemerintahan

Kota Bima, Bimakini.- Pascabanjir, penertiban atau pengendaliaan pemanfaatan ruang Kota Bima menjadi isu hangat dan mendesak dilakukan. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai daya dukung...

Pemerintahan

Kota Bima, Bimakini.- Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (TKPSDA WS) Sumbawa menggelar sidang pleno dengan agenda evaluasi penanganan bencana banjir Kota Bima...