JUMAT (17/02) siang lalu, suasana persimpangan SMKN 1 Kota Bima di Kelurahan Tanjung mendadak ramai dan heboh. Enam siswa dari sekolah lain mengeroyok dua siswa sekolah setempat. Satu orang tewas, satu lainnya terluka parah. Korban tewas adalah pelajar dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Anak rantauan itu terkapar meregang nyawa.
Kasus berdarah yang melibatkan siswa ini sungguh memilukan. Saat aksi berdarah itu, mereka masih berseragam. Memainkan parang di tengah jalanan, layaknya prajurit pada arena peperangan tempo dulu. Sungguh suatu gambaran ironis! Para terduga pelaku masih kabur, namun aparat sudah mengidentifikasinya. Semoga segera ada kejelasan agar kasusnya bisa dituntaskan.
Apa yang bisa disampaikan adalah peristiwa ini harus menjadi pelajaran berharga. Pasti ini soal pergaulan yang kebablasan. Sebagian pelajar kita sudah memasuki areal pemetaan “kelompok kita” dan “kelompok mereka”. Mereka membangun tembok diri. Ketersinggungan terhadap apa saja, apalagi kabarnya dipicu soal asmara, bisa memicu reaksi berlebihan. Lebay! Dalam proses pencarian diri, reaksi terhadap sesuatu yang berbeda dengan mereka akan memenggaruhi putusan. Pelajar memang masih labil, masih ‘berpikiran pendek plus bersumbu pendek’ pula. Sudah berapa kali perkelahian pelajar menggunakan senjata tajam muncul di daerah ini. Bahkan, dulu ada pelajar yang membawa senjata api rakitan ke sekolah.
Agresivitas negatif pelajar Mbojo, harus diakui, telah melampaui batas dan memerlukan perhatian bersama. Hampir semua sisi kejahatan telah hadir dalam dunia mereka. Anda pasti punya referensinya. Padahal, masa mereka adalah momentum emas untuk mengukuhkan fondasi kepribadian dan melatih kematangan. Memang, gambaran itu hanya segelintir dari ribuan rekan-rekan mereka yang bersikap baik-baik. Namun, kemunculannya dalam level kasus menghilangkan nyawa orang lain, selayaknya terus membuka lebar mata kita. Ini harus menjadi semacam alarm dini bagi pihak terkait, yakni sekolah, Dinas Dikpora, orang tua, dan masyarakat.
Kita mengharapkan kasus ini segera tuntas. Mereka yang kabur segera menyerahkan diri dan memertanggungjawabkan perbuatannya. Keberanian menusuk sasaran, harus berseiringan dengan kesiapan menerima konsekuensinya. Mereka memang masih belia, tetapi harus kesatria. Pihak keluarga selayaknya membantu aparat Kepolisian untuk menemukan mereka. Mengajari mereka arti dan makna tanggungjawab. Melarikan diri dari kenyataan ini tidak menyelesaikan masalah. Malah, berpotensi memunculkan masalah baru dalam jangkauan dimensi dan eskalasi yang lebih luas.
Namun, kita semestinya menyadari. Dalam konteks anak di bawah 18 tahun, meski pelaku mereka sesungguhnya adalah korban. Ya, korban pengaruh lingkungan yang memenggaruhi pola pikir dan sikap ketika bereaksi terhadap sesuatu. Kasus berdarah di persimpangan SMKN 1 Kota Bima itu adalah contohnya. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.