PUBLIK Bima dikejutkan oleh dua peristiwa tewasnya terduga pelaku kasus pencurian kendaraan bermotor (Curanmor). Di Desa Rato Kecamatan Lambu, seorang pemuda tewas setelah dihajar massa menggunakan senjata tajam. Dibuang ke parit sempit. Di Desa Rabakodo Kecamatan Woha, juga demikian. Massa menghajar terduga pelaku hingga tewas tidak berdaya. Keresahan dan kegeraman masyarakat terhadap para pencuri sudah pada level puncak. Eksplorasi kekerasan seolah menemukan momentum dan artikulasinya.
Tentu saja maraknya kasus pencurian dan letupan liar kemarahan massa itu merupakan penyakit sosial yang harus diatasi. Hasrat kepemilikan materi melalui cara ilegal dan tidak halal adalah penyakit yang menghinggapi masyarakat, khususnya kaum muda Mbojo. Bahkan, melibatkan pelajar. Mereka ingin sesuatu serbainstan. Tanpa “kualitas keringat”. Ada apa dengan kecenderungan perilaku kaum muda Mbojo masa kini?
Pada sisi lain, perilaku masyarakat ketika berhadapan dengan peristiwa juga kian tidak terkendali. Kasus yang awalnya hanya masalah sepele, kesalahpahaman, dan soal pribadi lainnya bisa meluas hingga melibatkan kelompok. Bahkan, menyasar pemblokiran ruas jalan dan perusakan areal pertanian. Apa yang selama ini terjadi di wilayah Woha dan sekitarnya menguatkan fakta itu. Harus dikatakan sebagian kelompok masyarakat kini dalam situasi anarkisme sumbu pendek. Sekecil apapun pemicunya rawan terbakar, karena sumbu emosi sangat pendek. Kondisi anarkisme sumbu pendek model seperti ini sangat berbahaya dan menjadi bahaya laten. Setiap saat bisa muncul.
Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa masyarakat Mbojo begitu cepat tersulut emosinya hingga merenggut nyawa orang lain? Sedemikian tegakah kita? Ada yang mengamati model anarkisme ini mencuat sejak era reformasi bergulir. Sebagian masyarakat memaknai kebebasan berekspresi pada takaran yang berlebihan. Bisa jadi sebagai implikash logis dari pemasungan kebebasan pada masa Orde Baru.
Namun, apapun kronologis dan bangunan argumentasinya, kondisi amuk liar massa ini kontraproduktif bagi masa depan Mbojo. Merusak peradaban sosial ideal yang diimpikan. Kita mengharapkan segera ada titik balik kesadaran baru, karena kondisi saat ini ibarat perjalanan sudah jauh memasuki bilik kesesatan perilaku. Pada dampak yang lebih teknis, budaya anarkisme sumbu pendek tidak ekuivalen dengan motto dua daerah ini, Bima RAMAH dan Kota Bima BERTEMAN. Apalagi jika kita “membenturkannya” dengan sasanti Maja Labo Dahu. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.