ADA sisi sorotan soal durasi waktu menunggu lampu merah pada rambu lampu lalu lintas (traffic light) di persimpangan Tolomundu Kota Bima yang menyeruak ke permukaan, akhir pekan lalu. Para pengendara tidak sabaran menunggu 88 detik skala waktu yang disetel pada alat itu. Berbeda pada tempat lain yang lebih ramai, namun hanya 60 detik.
Memang level kepatuhan ada, namun tidak sedikit yang menerobosnya.
Apakah penambahan waktu itu untuk persiapan penerapan satu jalur di jalan Gajah Mada itu? Bisa jadi demikian. Semacam test the water untuk mengetahui reaksi pengendara. Soal rentang waktu itu, memang diukur dari tingkat kepadatan lalu lalang kendaraan. Proporsionaliotasnya dihitung. Di kota besar, durasinya bisa mencapai dua menit.
Sejak sepekan lalu, sejumlah traffic light di Kota Bima yang sebelumnya macet, kini berfungsi lagi. Kondisi itu tentu saja positif untuk ketertiban berlalulintas. Selama rentang yang terabaikan itu, suasana memang tidak tertib. Pengendara berlalu semaunya, semua punya kepentingan yang sama ingin cepat sampai. Selama fasilitas itu off, para pengendara dibiarkan bebas menaksir sendiri laju kendaraan ketika tiba di persimpangan. Kadang ada kesalahpahanan yang nyaris berubah kecelakaan. Kondisi ketidaknyamanan yang berbahaya.
Keberadaan traffic light dalam mengiringi dinamika mobilitas dan perkembangan daerah, mutlak adanya. Mengatur dinamika kendaraan berikut karakter dan gaya masing-masing pengendara. Kita berharap sejumlah fasilitas yang masih rusak segera difungsikan agar para pengendara ‘dikepung’ alat penyadar yang memaksanya harus berhati-hati. Dalam konteks itulah, ketidaksigapan mengatasi kerusakan traffic light harus disesalkan. Seperti yang terjadi di Kota Bima selama ini. Membiarkannya merupakan pendidikan jalanan yang buruk bagi masyarakat. Pembiaran kerusakan dalam waktu lama, tidak boleh diulangi, apalagi pada jalan sekelas Gajah Mada. Masalahnya, pembiaran itu sama dengan terhentinya ‘pendidikan karakter’ bagi pengendara. Terputusnya mata rantai pelajaran kedisiplinan yang dituntut dari pengendara. Implikasinya pasti ada.
Sorotan durasi 88 detik itu dari pengendara itu sah-sah saja. Tetapi, pesan moralnya adalah harus belajar banyak soal disiplin di jalanan. Semua harus dalam koridor yang diinginkan aturan. Jika semua memahami aturan, setidaknya keteledoran yang enteng tidak perlu terjadi. Jalanan memang satu di antara media mendewasakan. Kita diujicoba kesabaran 88 detik!
Ada yang menyebutkan tertib dan disiplinnya pengguna jalan menjadi cerminan dari kedisiplinan dan ketertiban masyarakat. Jika masyarakat tidak tertib di jalanan, maka imbasnya adalah buruknya kepribadian daerah (bangsa). Poinnya, perlunya kedewasaan dan menjadi diri sendiri dalam berkendara. Penguna jalan selayaknya tidak terpancing emosi di jalanan yang sangat riuh dan ramai. Ya, menjadi diri sendiri. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.