ADA satu sudut pemberitaan yang menyentuh kedalaman hati bagi yang membacanya. Kisah pilu rumah nenek Aminah (70), warga RT 16 Desa Sanolo Kecamatan Bolo Kabupaten Bima. Atau dikenal Ina Ene. Selain itu, keluhan bahan material bagi warga penerima bantuan bedah rumah di Desa Tambe. Rumah panggung sembilan tiang yang ditempatinya rubuh Kamis (24/08) siang lalu. Di Tambe, warga yang dijanjikan bahan material belum kunjung ada, padahal sudah mengungsi ke rumah tetangga.
Kasus seperti Ina Ene jarang ada, karena biasanya rumah sangat tidak layak sudah ada antisipasi dari pemilik dan pemerintah setempat. Insiden di Sanolo itu tiba-tiba rumah rubuh dan tiarap mencium bumi. Seberapa parah kondisi rumah itu sebelumnya, sehingga hentakan sedikit saja tanpa angin dan badai telah meniarapkannya?
Sebenarnya, bukan itu poin pentingnya. Tetapi, seperti pertanyaan warga setempat, mengapa program bantuan rumah dari Pemerintah Pusat tidak menyasar rumah itu untuk dibedah sebelumnya. Tidak masukkah Ina Ene dalam kriterianya untuk menikmatinya sebelumnya? Seperti apa detail kelengkapan administrasi program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) itu?
Ina Ene hanyalah satu potret kegetiran hidup yang oleh warga setempat menyebutnya negara gagal hadir di dalamnya. Adakah wanita renta itu menjadi korban dari patgulipat mekanisme bantuan yang kesan ‘monopoli dan unsur kedekatan’ masih melekat kuat? Bukan rahasia lagi kalau dana bantuan di level desa seringkali berkaitan erat dengan arah dukung-mendukung saat Pilkades. Seringkali pula keluarga aparat desa yang mendapatkan kesempatan lebih awal. Unsur kedekatan pun demikian, sesuatu yang tidak dimiliki sang nenek. Semoga saja jauh dari unsur itu.
Kasus Ina Ene adalah fakta pahit. Pemerintah tentu saja punya mekanisme aturan yang bisa menyelesaikannya secara cepat. Demikian juga kelurahan kekurangan material di Tambe. Masih banyak rumah warga yang tidak layak dan memerlukan prioritas untuk ditangani. Beberapa hari lalu, keluhan soal ketidaklayakan bahan material juga muncul di Kelurahan Penaraga Kota Bima. Para penerima manfaat mengeluhkan kualitas bahan yang dipasok dan meminta segera diganti. Bagaimana mungkin menggunakan bahan yang secara kasat mata sudah tidak memenuhi kelayakan. Jika dillihat dari tiga kasus itu, tampaknya pemerintah harus meningkatkan koordinasi dan pengawasan. Meneliti lebih cermat lagi sasaran penerima manfaat, memastikan pendistribusiannya tepat waktu, dan pengawasan terhadap kualitas.
Tidak hanya program bedah rumah, tetapi juga rangkaian program lainnya. Program membangun yang dialokasikan dananya oleh Pemerintah Pusat harus didukung oleh semua perangkat yang terlibat agar tepat pada sasarannya. Jika dibiarkan begitu saja, maka masyarakat awam akan korban dari ‘intrik dan ide-ide nakal’ para pelaksananya. Ketidaktahuan dan ketidakkritisan mereka akan sangat merugikan. Dengan demikian, imbasnya sangat jelas, tujuan utama dari program itu bisa tidak tepat sasaran. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.