Kota Bima, Bimakini.- Sikap Fraksi Gerindra menolak alokasi dana tambahan Rp2,8 miliar untuk Masjid Terapung di Ama Hami belum surut. Secara pribadi, anggota DPRD Kota Bima Sudirman DJ, SH, mengirim surat kepada Gubernur NTB dan beberapa OPD terkait.
Sudirman mengaku memang memasukan pribadi, bukan lembaga DPRD ke Provinsi NTB soal alokasi dana tambahan Masjid Terapung senilai Rp2,8 miliar disertai beberapa pertimbangan. Dia menilai penambahan dana itu terlalu dipaksakan dan menyalahi aturan. Padahal, banyak persoalan pascabanjir yang perlu dibenahi, terutama kondisi warga yang sampai saat ini masih tinggal di tenda.
“Iya saya masukan surat, tetapi atas nama pribadi pada tanggal 25 September 2017 pada TAPD, Gubernur, Bagian Hukum dan Inspektorat Provinsi NTB,” ujarnya di kantor DPRD Kota Bima, Rabu (04/10/2017).
Isinya meminta Banggar Provinsi NTB meninjau alokasi anggaran Rp2,8 miliar untuk tambahan pembangunan Masjid Terapung karena meninggalkan masalah saat pembahasan bersama DPRD dan Pemkot Bima.
Dalam pandangannya, pembangunan dari alokasi dana Rp12.5 miliar saja tidak jelas kemajuannya. Laporan Dinas PU, Bappeda dan Litbang, dan Wali Kota tidak sama. Ada yang menyatakan 40 persen, kemudian 45 persen, bahkan 64 persen. Kenyataannya baru 35 persen, malah meminta tambahan anggaran Rp2,8 miliar. Belum lagi ada anggaran muncul di tengah jalan Rp1,4 miliar. “Ini kan aneh, selesaikan dulu anggaran pertama, masih banyak kebutuhan pembangunan di daerah mendesak pascabanjir bandang, terutama warga yang kini tinggal di tenda,” katanya.
Selain laporan, dalam dokumen disertakan fot bagaimana kondisi warga tinggal di tenda. Itu bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi Provinsi NTB dalam mengevaluasi tambahan anggaran Rp2,8 miliar.
Landasan lainnya Permendagri Nomor 31 Tahun 2016
tentang tatacara penyusunan APBD. Pemda dilarang menganggarkan belanja kegiatan pada kelompok belanja langsung dan jenis belanja bantuan keuangan yang bersifat khusus pada Pemkot dan Pemkab, desa atau kelurahan apabila dari aspek waktu dan tahapan pelaksanaan kegiatan diperkirakan tidak selesai sampai akhir tahun anggaran.
“Dari situ kita lihat kegiatan itu secara fisik info dari PPK baru 35 persen. Padahal, pengerjaannya sesuai kontrak terhitung mulai Maret 2017. Ini sudah lama waktunya, sementara progress-nya beberapa persen saja,” katanya.
Walaupun demikian, diakuinya, kalaupun dari Rp2,8 miliar itu Rp1,2 miliar sah-sah saja masuk dalam CCO. “Tetapi bagaimana Rp1,6 miliar, apa iya bisa diselesaikan sampai akhir tahun anggaran, belum proses lelang tender, pengumuman pemenang, sanggah banyak proses,” ujarnya.
Kondisi ini merugikan keuangan daerah, bila kemudian waktu pengerjaannya tidak rampung sampai Desember dan imbasnya anggaran tidak efisien. “Untuk itu lebih baik dialokasikan untuk pos yang urgen saja,” sarannya.
Apalagi, kata Sudirman, masih ada tahun anggaran 2018 dan masa akhir jabatan Wali Kota sampai Oktober. Karena itu tidak masalah bila kemudian dialokasikan tahun 2018. “Jangan kemudian terkesan memaksakan, walaupun menyalahi aturan,” katanya. (BK32)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.