Connect with us

Ketik yang Anda cari

NTB

Indeks Kemerdekaan Pers di NTB Masih Mengkhawatirkan

Peneliti IKP Dewan Pers wilayah NTB, Ahmad Sirulhaq.

Mataram, Bimakini.-  Catatan kurang menyenangkan dari hasil riset Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) di NTB selama 2016 – 2017.  Sejumlah indikator penilaian mempengaruhi, salah satunya kekerasan dan intimidasi dalam kerja kerja  jurnalistik. Masalah kesejahteraan dan intervensi ke dapur redaksi turut mempengaruhi, memicu indeks kebebasan pers di NTB melorot.

Hal ini berdasarkan riset IKP antar provinsi dan nasional selama 2016 sampai 2017. Secara komulatif, indeks kemerdekaan dirasakan pers cenderung agak bebas (fairly free) pada angka 68.95. Dengan skor ini, kemerdekaan pers di Indonesia mendekati ‘bebas’. Namun jika diurai lebih spesifik, IKP di NTB justru turun.  Hasil riset ahli menunjukkan, tahun 2016 indeks persepsi pada poin 68.55, menurun menjadi 63.06 pada tahun 2017.

” IKP di NTB tahun 2017 minus  5.49 persen,” kata koordinator peneliti IKP Dewan Pers wilayah NTB, Ahmad Sirulhaq melalui press release diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, Ahad (6/5).

IKP NTB itu menjadi bahan refleksi Kamis (3/5) dalam diskusi Hari Kemerdekaan Pers 2018 di Sekretariat AJI Mataram.

Rendahnya IKP NTB ini di bawah  DKI Jakarta 64.21 persen dan di atas satu strip dari Bengkulu 63.01 persen. Kategori kemerdekaan pers cukup bebas justru di Aceh dengan poin 81.55, namun terendah di Sumatera Utara 57.63 poin.

“Kesimpulannya IKP di NTB ini kategorinya ‘sedang’. Tapi ini sudah mendekati kategori ‘buruk’ jika skor penilaian dari narasumber ahli semakin defisit,” ujarnya.

Sirulhaq memberi catatan bahwa  metodologi untuk mengukur nilai indeks kebebasan pers itu adalah persepsi narasumber ahli yang dipilih. Ada 12 orang ahli yang diwawancarai, kemudian menentukan rumus skor penilaian dari angka 0 – 30 untuk IKP buruk sekali dan 90 – 1000 baik sekali. Sementara IKP NTB bermain pada skor sedang (agak bebas) dengan poin 56 – 69 poin.

Penelitian IKP ini menggunakan tiga indikator sebagai instrumen penilaian.

Pertama, IKP lingkungan politik. Dalam agenda politik, ruang redaksi bukan ruang bebas. Irisan masing masing media terlihat dari framing pemberitaan yang mengarah pada calon tertentu. Skornya 62.64. Penilaian dipengaruhi juga kebebasan berserikat dan kebebasan dari intervensi.

IKP pada lingkungan  ekonomi, masih menunjukkan ketergantungan hidup media dari kue iklan pemerintah. Sehingga fungsi kontrol menjadi lemah. Kebebasan pendirian dan operasional yang kuat, serta independensi dari kelompok kepentingan yang kuat. Skor relatif lebih rendah 59.52.

Kemudian IKP dalam lingkungan hukum, skor 60.57. Dimana persepsi informan ahli, pers sangat rawan ancaman kriminalisasi dan gugatan. Peraturan perundang undangan jadi celah pemanfaatan oleh pelapor untuk mempidanakan pers, salah satunya ancaman Undang Undang ITE.

Sehingga kesimpulan dari hasil penelitian IKP, pers di NTB dipersepsikan belum bebas oleh 12 ahli yang dilibatkan sebagai narasumber riset.

Secara teoritis pers sebenarnya sudah dijamin kerjanya dalam Undang Undang Pers Nomor 40 tahun 1999. Namun dalam pelaksanaannya, kebebasan pers dalam mendapatkan informasi dengan kerja kerja jurnalistik masih mendapat ancaman.

Namun di lapangan, ancaman kekerasan itu justru datang dari penegak hukum dan aparat pemerintah. (IAN)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Peristiwa

  Mataram, Bimakini.-  Menandai peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day) 3 Mei 2018, ada catatan miris yang masih menghantui jurnalis. Situasi...

Peristiwa

Mataram, Bimakini.- Memeringati hari kebebasan pers dunia (World Press Freedom Day) 3 Mei 2017, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram menyerukan seluruh jurnalis di NTB...