Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Mengawal Siaran Pilkada Serentak

Oleh : Maryati, S.H., M.H.

Maryati, SH, MH

Sebuah ironi ketika lembaga penyiaran yang seharusnya menjaga netralitas dan independensi, justru menjadi ‘media partisan’, jauh dari semangat demokratisasi penyiaran yang berpihak pada kepentingan publik. Eksistensi Tugas, Pokok dan Fungsi Komisi Penyiaran Indonesia Pusat dan Daerah pun jadi taruhan.

Dalam catatan penulis, tidak sedikit orang yang mempertanyakan bagaimana posisi Komisi Penyiaran Indonesia baik pusat maupun daerah menyikapi fenomena media partisan, media siaran yang menjadi corong kepentingan pribadi pemilik media dan kelompoknya. Maklum, beberapa fakta dan data tentang sepak terjang pemilik media di Pusat maupun daerah, seperti susah dibantahkan. Mereka, para pemilik media ini, ada yang menjadi pemimpin partai, ada juga yang menjadi calon kepala daerah dan bahkan anggota legislatif.

Sekedar kilas balik, apa yang terjadi dalam Pemilihan Presiden tahun 2014, menjadi bukti nyata bagaimana media televisi yang pemiliknya berafiliasi dengan partai politik pendukung calon presiden, telah membuat masyarakat kita menjadi terbelah, kubu-kubuan antara TV pendukung Jokowi-JK dengan TV pendukung Prabowo-Hatta.

Harus kita akui, keberpihakan beberapa pemilik media televisi swasta jauh-jauh hari sudah terasa bahkan jauh sebelum KPU menetapkan pasangan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta sebagai peserta Pilpres 2014. Sebut saja Pemilik Metro TV yakni Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem adalah salah satu partai pengusung pasangan Jokowi-JK. Sementara itu, Pemilik Viva Media yang menaungi TVOne dan ANTV yakni Aburizal Bakrie (ARB), yang merupakan Ketua Umum Partai Golkar, setelah gagal menjadi capres, akhirnya mengarahkan dukungan untuk membela habis-habisan pasangan Prabowo-Hatta. Demikian juga halnya dengan Harry Tanoe (HT), Pemilik MNC Media Group yang menaungi RCTI, Global TV, MNC TV, Sindo TV dan ratusan radio jaringannya di seluruh Indonesia. Harry Tanoe juga memilih ikut mendukung Prabowo Hatta setelah berseberangan dan pecah kongsi dengan Wiranto (Ketua Umum Partai Hanura) yang mendukung Pasangan Jokowi-JK.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Ironi Politik Pemilik Media Televisi
Kiprah beberapa pengusaha televisi sebagai tokoh partai ataupun tim sukses dalam Pemilihan Presiden 2014, tentu saja berdampak sangat besar terhadap kebijakan program dan redaksional pemberitaan media yang mereka kelola. Bahkan demi kepentingan pencitraan dan kampanye jagoan mereka untuk menang dalam ajang demokrasi lima tahunan tersebut, mereka tidak segan-segan melabrak ketentuan dan aturan penyiaran pemilu sebagaimana yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Mereka mengabaikan teguran keras KPI selaku regulator penyiaran yang memang dilahirkan untuk mengawasi perilaku media siaran agar bebas dari kepentingan kelompok dan golongan. Pengusaha media sepertinya ingin bereksperimen sekaligus bertaruh, menang coba kalah coba (trial and error),.
Ketika itu, apa yang dilakukan dalam kebijakan program dan pemberitaan Pemilu Pilpres 2014 oleh Metro TV yang dicermati sebagian kalangan berpihak pada kubu Jokowi-JK ataupun TVOne, AnTV, RCTI, MNCTV, Global TV (sekarang berubah jadi GTV) dan Sindo TV (sekarang berubah nama menjadi INewsTV) yang terang-terangan mendukung Prabowo-Hatta adalah sebuah kegiatan yang disebut sebagai agenda setting dan framing.
. Kita dengan mudah memahami betapa ragam program penyiaran dan pemberitaan Pilpres 2014 mulai teks berjalan (running text), breaking news, dialog (talkshow), laporan langsung (live report) dan lain-lain yang sarat muatan pencitraan dan bahkan cenderung tendensius, entah dengan alasan kampanye positif atau negatif, berusaha mencari kesalahan dan kelemahan lawan. Ini semakin tampak dalam konstruksi (framing) liputan siaran Pilpres, pada proses news gathering hingga news production, dalam hal pemilihan narasumber, representasi narasumber dan kutipan pernyataan narasumber.
Dalam program talkshow, debat dan program sejenis lainnya, masing-masing media terlihat bagaimana mereka melakukan pemilihan narasumber, sudut pandang pembahasan isu dan informasi utama yang menjadi topik pembahasan. Juga berkaitan dengan prioritas pemilihan isu-isu yang disajikan di antara isu yang berkembang, memilah mana agenda elit atau agenda publik.
Bisa ditebak kalau respons pemirsa pun akan beragam dan terbelah. Bagi pemirsa yang fanatik dengan Jokowi-JK, bisa jadi akan terganggu dan kurang suka dengan pemberitaan di media televisi yang berpihak pada Prabowo-Hatta. Demikian pula sebaliknya, pendukung setia Prabowo-Hatta akan terusik karena pemberitaan media yang dinilai menyudutkan jagoannya.
Rupanya para tim sukses kedua pasangan capres dan cawapres, sangat menyadari betul betapa efektifnya media televisi yang notabene merupakan media paling populer di negeri dengan penduduk lebih dari 240 juta jiwa ini. Terlebih penetrasi televisi sebagai media paling diminati masyarakat Indonesia mencapai hampir 95 persen sebagaimana hasil survei terbaru yang dirilis lembaga riset media kelas dunia, AGB Neilsen Media Research.
Terkait efektivitas televisi ini, ternyata sejarah duniapun mencatat. Bahwasanya kemenangan Presiden Jhon F Kennedy atas lawan politiknya Richard Nixon di tahun 1960 selalu dikaitkan dengan keberhasilan sang presiden mempopulerkan dirinya melalui televisi. Dalam buku Media Impact (2010), Shirley Biagi menyatakan bahwa berita-berita di televisi dan penampilan Kennedy pada saat debat kampanye di televisi telah membuat jutaan rakyat Amerika Serikat berbondong-bondong ke TPS untuk memberikan suara mereka kepada Jhon F Kennedy.
Fenomena penyiaran Pilpres di media siaran khususnya televisi swasta, tentu saja menjadi hal yang tidak akan pernah selesai diperbincangkan. Namun penulis mencatat sejumlah ironi yang terkait dengan politik media para pemilik televisi swasta.
Pertama, idealnya media siaran membuat aturan internal untuk menjaga netralitas dan independensi. Ironisnya, pengusaha media dan tokoh-tokohnya menjadi pengurus partai politik dan atau tim sukses. Jadinya, bukannya non partisan, tapi asyik berlomba, bermain politik.
Kedua, idealnya media siaran menjaga kredibilitas, dengan pedoman independensi, akurasi dan fairness. Ironisnya, prinsip netralitas kerap diabaikan, pelaku media penyiaran banyak tak memperhitungkan obyektifitas atau netralitas guna menjaga kredibilitas.
Ketiga, idealnya media siaran memiliki standar, pedoman liputan politik, iklan kampanye dengan prinsip memberikan kesempatan yang sama terhadap semua politisi peserta pemilu maupun pilpres, baik dalam bentuk berita maupun iklan. Ironisnya, beberapa media siaran tidak risih ketika menyajikan berita atau iklan yang nyata-nyata hanya menguntungkan kandidat tertentu.
Keempat, idealnya media siaran mempelajari berbagai penyimpangan demokrasi dan selalu mengawasinya. Ironisnya, di lapangan banyak wartawan atau jurnalis menjadi pemain. Tak lagi menjadi watch dog tetapi pet dog yang gonggongannya hanya untuk lawan kelompok politiknya.
Kelima, idealnya media menjadi megaphone untuk publik, memfasilitasi suara masyarakat agar lebih terdengar, terutama kelompok yang termarginalisasi. Ironisnya, media siaran lebih banyak sebagai megaphone for political elite kelompoknya, dengan membingkai seakan atas nama masyarakat. Misalnya dengan polling pesanan, wawancara yang dimunculkan hanya yang sesuai sikap politik media.
Keenam, idealnya media siaran menerapkan prinsip demokrasi agar bisa melakukan pendidikan politik dan pengawasan. Ironisnya justru tidak menghiraukan prinsip demokrasi. Jadinya bukannya melakukan pendidikan politik dan mengontrol jalannya proses demokrasi, tetapi justru ikut menciptakan keruwetan dan kebingungan.
Ketujuh, idealnya sebelum dan sesudah Pemilu, media siaran konsisten.obyektif dan netral. Agar menjadi sumber informasi yang dipercaya oleh semua kelompok masyarakat. Media profesional tidak akan hanya memilih pihak-pihak yang mereka sukai, ataupun menyiarkan dengan tujuan balas dendam.Ironisnya, karena sejak awal beberapa media siaran sudah berpihak, walhasil prinsip ini banyak yang tidak dijalankan.

Evaluasi dan Esensi Siaran Pilkada Serentak
Evaluasi yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia terkait pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah serentak tahun 2017 lalu, ternyata banyak memberikan catatan tentang berbagai modus pelanggaran di layar kaca yang dilakukan kontestan politik. Catatan paling besar adalah tenggelamnya siaran Pilkada di tengah keriuhan Pilkada DKI yang menyerap banyak energi bangsa ini. Sekalipun secara umum, seluruh lembaga penyiaran telah mematuhi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, maupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dalam menyiarkan, memberitakan dan menayangkan iklan kampanye politik kontestan Pilkada serentak 2017, namun kenyataannya, lembaga penyiaran yang terafiliasi dengan pasangan calon tertentu seringkali menyisipkan pemberitaan dengan proporsi durasi serta framing pemberitaan yang menguntungkan salah satu pasangan calon. Hal inilah yang tidak kita inginkan terjadi dalam perhelatan Pilkada serentak 2018 di Nusa Tenggara Barat.
Dalam semangat desentralisasi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Nusa Tenggara Barat tentu saja telah berupaya maksimal menjalankan tugas, pokok dan fungsinya terutama dalam mengawal lembaga penyiaran agar senantiasa menjaga independensi dan netralitasnya dalam penyiaran, pemberitaan dan iklan kampanye Pemilihan Umum.
Tentu saja dalam kerangka pengawasan tersebut, banyak hal yang menjadi temuan dan catatan penting dalam mengartikulasi bagaimana seharusnya radio dan TV lokal memainkan perannya dalam ikut serta mensukseskan Pemilihan Umum. KPID NTB menjadikan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran sebagai landasan hukum menjalankan tugas. Turunannya adalah sejumlah peraturan pemerintah terkait penyiaran dan Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang merupakan produk hukum dari kewenangan KPI memastikan siaran yang sehat, mencerahkan dan mencerdaskan.
Mahalnya biaya demokrasi mencari figur pemimpin kepala daerah mestinya dibarengi dengan kualitas penyelenggaraannya. Maka semua pihak tentulah harus mengambil peran secara pribadi maupun institusi termasuk lembaga penyiaran lokal.
Setidaknya penulis mencatat ada empat hal penting yang wajib dijalankan oleh lembaga penyiaran dalam penyiaran Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Pertama, peran lembaga penyiaran dalam penyebarluasan informasi tentang tahapan Pilkada. Tentu saja agar peran ini bisa maksimal dijalankan, lembaga penyiaran hendaknya menjalin kerjasama dan sinergitas yang baik dengan pihak terkait khususnya KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara dan pengawas Pemilihan Umum. Radio dan TV tidak boleh menutup diri dan perlu mendapatkan serta diberikan akses seluas-luasnya untuk memperoleh informasi yang lengkap terkait seluruh tahapan dan rangkaian Pemilu dan Pilkada serentak. Lembaga penyiaran agar menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan tidak melihat tahapan pemilu dan Pilkada serentak sebagai hal teknis semata.
Kedua, peran lembaga penyiaran dalam meningkatkan partisipasi politik warga. Hal ini penting untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya menggunakan hak pilih dengan bijak. Media haruslah memberikan informasi yang cukup, bagaimana publik tahu apakah mereka telah terdalam Daftar Pemilih tetap atau tidak. Lebih dari itu, lembaga penyiaran juga harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa hak pilihnya tentu amat sangat menentukan pemimpin masa depan, yang akan menentukan nasib rakyat dan daerahhnya yang berarti pula menentukan arah dan tujuan bangsa dan negara.
Ketiga, peran lembaga penyiaran meningkatkan kualitas demokrasi melalui pendidikan politik. Artinya, lembaga penyiara hendaknya mampu membuat program siaran yang menarik terkait kepemiluan. Program siar an yang bisa menciptakan ruang-ruang diskusi kritis seputar sepak terjang penyelenggara, pengawas dan peserta Pemilu atau Pilkada sehingga terciptalah pendengar dan pemirsa selaku pemilih cerdas dan kritis. Memilih bukan atas dasar emosional belaka, primordialisme, tetapi pemilih yang menggunakan akal sehat, melihat, mencermati dan mengamati bobot, bibit dan bebet calon pemimpin, polisi atau partai politik yang dipilihnya.
Keempat, peran lembaga penyiaran sebagai perekat sosial. Dalam menjalankan fungsi ini, tentunya diperlukan suatu kesepahaman di tingkat pengelola media akan role of models dan agenda seting yang berpihak pada kepentingan publik. Para praktisi media hendaknya bekerja secara profesional untuk membangun paradigma politik kesejahteraan, bukan politik kekuasan yang saling menghancurkan. Media harus menjadi bagian dari solusi dan bukan bagian dari masalah dalam konstelasi politik yang memanas. Media siaran dalam memberitakan kontestasi peserta Pilkada hendaknya selalu pada koridor keberpihakan pada rakyat sebagaimana ditegaskan Bill Kovach dan Tom Rosentiel (2006) dalam Sembilan Elemen Jurnalisme bahwa loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat.

KPID NTB Mengawal Siaran Pilkada Serentak
Sebagai lembaga negara independen di daerah, KPID NTB menyadari betapa penting dan strategisnya keberadaan lembaga penyiaran dalam mensukseskan pesta demokrasi, Pemilihan Umum Kepala Daerah yang dilaksanakan secara serentak. Tugas ini sesungguhnya telah dilaksanakan sejak awal terbentuknya pada tahun 2008, ketika itu sedang berlangsung Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur NTB yang akhirnya dimenangkan oleh pasangan TGH M Zainul Majdi-Badrul Munir. Juga Pemilihan Bupati-Wakil Bupati Lombok Timur dan Walikota-Wakil Walikota Bima.
Sepak terjang KPI Daerah NTB dalam mengawal siaran Pilkada ketika itu, menjadi fokus pemberitaan koran lokal dan bahkan koran nasional. Misalnya, ketika KPI Daerah NTB melayangkan teguran keras kepada stasiun TV One yang menyiarkan siaran hitung cepat (quickcount) sebelum waktunya. Belum lagi pantauan adanya siaran curi start kampanye kontestan pilkada, termasuk indikasi blocking time penyiaran kampanye terbuka atau rapat akbar yang ditayangkan stasiun TV lokal merupakan beberapa fakta terjadinya pelanggaran isi siaran.
Dalam melaksanakan pengawasan siaran Pilkada, tentu saja KPI Daerah NTB melakukan kerjasama dan kemitraan dengan panitia penyelenggara yakni Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Kabupaten Kota, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) NTB serta Panwaslu Kabupaten Kota yang ditandai dengan penandatanganan naskah kerjasama atau MOU (memorandum of understanding) terkait tukar-menukar informasi pemantauan dan pengawasan siaran Pilkada melalui radio dan TV lokal.
Semua bentuk kerjasama tersebut dimaksudkan untuk menyamakan persepsi tentang penyiaran, pemberitaan dan iklan kampanye Pilkada untuk memastikan semua pasangan calon memiliki akses yang sama, sehingga lembaga penyiaran dimanfaatkan secara adil, proporsional dan profesional sebagaimana ditegaskan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang ditetapkan KPI, khususnya Pasal 50 ayat (2) yang menegaskan bahwa Lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. Sedangkan dalam ayat (3) menyebutkan Lembaga penyiaran tidak boleh bersikap partisan terhadap salah satu peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. Ayat (4) Lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan program siaran yang dibiayai atau disponsori oleh peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. Sementara itu dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) terutama Pasal (1) Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad.
Secara garis besar, pusat perhatian KPI Daerah NTB dalam melakukan pengawasan siaran Pilkada meliputi aspek legalitas lembaga penyiaran dan aspek isi siaran. Aspek legalitas menjadi perhatian disebabkan karena Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yakni Pasal 33 ayat (1) menegaskan bahwa sebelum menyelenggarakan kegiatannya, lembaga penyiaran harus mengantongi izin penyelenggaraan penyiaran.
Kalau pada awal berdirinya KPI Daerah NTB, banyak lembaga penyiaran yang tidak mengantongi Izin Penyelenggaraan Penyiaran, maka rekomendasi kelayakan yang diterbitkan lembaga ini cukup menjadi dasar pertimbangan menjadikan radio dan televisi lokal sebagai media resmi penyiaran Pilkada. Namun sekarang kondisi itu sudah berubah. Legalitas lembaga penyiaran harus ditandai dengan bukti dimilikinya Izin Stasiun Radio (ISR) dan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), Bila kedua aspek perizinan itu dimiliki, maka barulah KPI Daerah NTB memberikan rekomendasi sebagai media resmi penyiaran Pilkada.
Sementara itu dari aspek isi siaran, fokus utama pengawasan mencakup durasi dan frekuensi siaran iklan kampanye, program debat kandidat, siaran kampanye monologis, jejak pendapat dan sejenisnya. Secara teknis, KPI Daerah NTB membuat edaran yang ditujukan kepada seluruh penangggungjawab lembaga penyiaran sebagaimana surat edaran terakhir bernomor 47/H/KPID-NTB/III/2018 perihal penyiaran, pemberitaan dan iklan kampanye Pilkada serentak 2018.
Secara garis besar, surat edaran tersebut berisi tentang beberapa ketentuan yang wajib diperhatikan lembaga penyiaran pada masa kampanye, masa tenang dan hari pemungutan dan serta penghitungan suara.
Selengkapnya mengenai isi surat edaran tersebut sebagai berikut:
Masa Kampanye
Kampanye Peserta Pilkada 2018 melalui lembaga penyiaran dilaksanakan selama 14 hari terhitung 10 hingga 23 Juni 2018.
Lembaga penyiaran wajib mengedepankan prinsip keberimbangan dan proporsionalitas dalam penyiaran Pilkada 2018 dalam bentuk:
Penayangan peserta Pilkada 2018 sebagai narasumber maupun materi pemberitaan.
Kehadiran peserta Pilkada 2018 sebagai bagian dalam program siaran.
Lembaga penyiaran dilarang menayangkan/menyiarkan Peserta Pilkada 2018 sebagai pemeran sandiwara seperti sinetron, drama, film dan atau bentuk lainnya.
Lembaga Penyiaran dilarang menayangkan/menyiarkan peserta Pilkada 2018 sebagai Pembawa Program Siaran.
Lembaga Penyiaran dilarang menayangkan/menyiarkan iklan kampanye selain yang dibiayai oleh Penyelenggara Pilkada yakni KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ Kota.
Lembaga Penyiaran dilarang menayangkan/menyiarkan Peserta Pilkada 2018 sebagai Pemeran Iklan selain yang dibiayai oleh Penyelenggara Pilkada.
Lembaga Penyiaran dilarang menayangkan/menyiarkan Ucapan Selamat oleh Peserta Pilkada 2018.
Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang menyiarkan iklan kampanye Peserta Pilkada 2018.

Masa Tenang
Masa Tenang Pilkada serentak 2018 selama 3 hari yakni 24-26 Juni 2018.
Lembaga penyiaran dilarang menayangkan/menyiarkan seluruh ketentuan yang diatur pada poin A.
Lembaga penyiaran dilarang menayangkan/menyiarkan iklan, rekam jejak Peserta Pilkada dan atau tim kampanye atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pilkada.
Lembaga penyiaran dilarang menayangkan/menyiarkan ulang debat terbuka.
Lembaga penyiaran dilarang menayangkan/menyiarkan kembali liputan kegiatan kampanye.
Lembaga penyiaran dilarang menayangkan/menyiarkan jajak pendapat tentang Peserta Pilkada 2018.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Hari Pemilihan
Hari pemilihan Pilkada Serentak 2018 dilaksanakan pada Rabu, 27 Juni 2018.
Lembaga penyiaran dilarang menayangkan/menyiarkan jajak pendapat tentang Peserta Pilkada 2018.
Penayangan/penyiaran hasil hitung cepat (quickcount) dapat dilaksanakan setelah Tempat Pemungutan Suara (TPS) ditutup pada Pukul 13.00 Wita.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Nusa Tenggara Barat berkomitmen kuat melakukan pengawasan terhadap isi siaran radio dan televisi lokal dan berjaringan.
Pelanggaran terhadap isi siaran akan dikenai penjatuhan sanksi mulai teguran, penghentian sementara program bermasalah, pengurangan durasi program hingga rekomendasi pencabutan Izin Penyelenggaraan Penyiaran.
Untuk memaksimalkan pengawasan terkait penyiaran, pemberitaan dan iklan kampanye Pilkada serentak 2018, maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Nusa Tenggara Barat akan berkoordinasi dengan Bawaslu Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Panwaslu Kabupaten Kota se-Nusa Tenggara Barat.

Mengenai regulasi tentang penyiaran Piilkada, tentu saja ada plus minus atau kurang lebihnya. Penyempurnaan regulasi dan aturan penyiaran Pilkada yang lebih jelas dan tidak multitafsir seyogyanya didorong segera terwujud demi menciptakan Pemilihan Kepala Daerah yang bermartabat dan berintegritas.
Kita berharap radio dan TV lokal, akan terus menciptakan kreativitas dan inovasi memproduksi program siaran terkait Pilkada dengan senantiasa menjaga independensi, netralitas, menjunjung tinggi profesionalisme agar terwujud siaran sehat, pemilih cerdas dan pemimpin berkualitas. Semoga!

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Politik

Mataram, Bimakini.- Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 haqqulyakin, H Zulkieflimansyah dan Hj Sitti Rohmi Djalilah, akan kembali berpasangan dan melenggang mulus dalam perhelatan...

Politik

Bima, Bimakini.- Ketua Divisi Logistik KPU Kabupaten Bima, Drs. Muhamad Taufik mengimbau kepada masyarakat Kabupaten Bima agar memberikan hak pilih sesuai hati nurani, bukan...

Politik

Mataram, Bimakini.- Ada yang berbeda dengan gelaran pesta demokrasi di NTB 2018 ini. Karena minimnya partisipasi dari kalangan intelektual kampus. Mereka mestinya hadir memberikan...

Politik

Kota Bima, Bimakini.- Kapolda NTB, Brigjen Pol Drs M Firli, Msi, silaturrahim di Sekretariat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bima. Selain bertemu dengan komisioner...

Politik

Kota Bima, Bimakini.- Kapolda NTB, Brigjen Pol Drs M Firli, MSi menyampaikan, jika situsi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di NTB masih aman. Diharapkannya, situasi...