Oleh: Lifa Rizky Amanda
Saat ini nilai tukar rupiah kembali mengalami penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam empat hari berturut-turut. Pagi ini rupiah dibuka di angka Rp 14.179 per dolar AS, bahkan di pasar spot rupiah sudah berada di kisaran Rp 13.900-an. Sejak 1 Oktober, rupiah sudah menguat hingga 5 persen, yang merupakan kenaikan tertinggi sejak September 2013.Berdasarkan informasi yang dihimpun Katadata dari para pelaku pasar keuangan, ada empat faktor yang menyebabkan kenaikan kurs rupiah pada saat ini. Faktor yang pertama adalah adanya permintaan kepada PT Pertamina (Persero) untuk mengurangi pembelian dolar AS. Kedua, faktor pelemahan dolar AS akibat realisasi data tenaga kerja dan manufaktur di Amerika Serikat yang tidak sesuai ekspektasi. Hal ini telah menyebabkan dolar AS melemah, bukan saja terhadap rupiah, tapi juga mata uang di negara-negara lain. Ketiga, BI memanfaatkan momentum pelemahan dolar terhadap mata uang di berbagai negara, dengan cara melakukan intervensi melalui pelepasan cadangan dolarnya. Akibatnya, rupiah yang selama beberapa waktu terakhir terus melemah, kembali menguat. Keempat, yang juga menyebabkan penguatan rupiah pada beberapa hari ini, terkait dengan informasi seputar masuknya dana asing dalam jumlah besar melalui pasar modal. Salah satu pemicunya, yaitu terkait dengan rencana penerbitan saham baru (rights issue) PT HM Sampoerna Tbk senilai hampir Rp 21 triliun.
Coba anda bayangkan ada beberapa dampak yang akan ditimbulkan dari rupiah yang melemah salah satunya melemahnya beberapa usaha usaha yang ada didalam negeri dan juga berdampak pada sektor pariwisata yang ada di Indonesia dan dampak dari melemahnya rupiah tidak bisa dibiarkan begitu saja harus ada tindakan tegas dari pemerintah untuk menangani masalah rupiah yang terus melemah.
Maksud dari turunnya nilai tukar Rupiah
Sebenarnya maksudnya turun gimana sih? Kalo di awal tahun 2018 lalu nilai tukar Rupiah terhadap USD adalah Rp 13.500, sekarang pada Agustus 2018 adalah Rp14.400. Kok dibilangnya turun? Nah, mungkin saya akan bahas dikit tentang nilai tukar atau kurs ya? Kalo kita ngomongin nilai mata uang suatu negara, kita pasti bandingin mata uang tersebut sama mata uang negara lain. Biasanya yang jadi patokan adalah mata uang Dolar Amerika Serikat atau US Dollar (USD).. Makanya dibilang kalo nilai mata uang Rupiah ini menurun, kadang juga disebut “melemah”, tapi istilah yang lebih tepat dalam bahasa ekonomi adalah “depresiasi”. Kalo satu mata uang mengalami depresiasi, pastinya yang satu lagi mengalami kenaikan atau istilah yang lebih tepat adalah “apresiasi”. Dalam hal ini, USD mengalami apreasiasi atau penguatan terhadap nilai mata uang Rupiah.
Terus kira-kira apa dampaknya kalo Rupiah mengalami depresiasi? Contoh yang paling gampang, harga barang impor seperti gadget atau barang-barang digital seperti game sekarang jadinya lebih mahal dibanding awal tahun? Coba kalian bandingkan harga smartphone atau laptop saat ini, pasti harganya naik signifikan? Nah, itu adalah beberapa dampak dari penurunan nilai tukar Rupiah. Sebetulnya dampak kenaikan nilai tukar USD ini nggak hanya soal harga gadget doang, tapi ada banyak banget. Nanti di pembahasan selanjutnya akan gua bahas sisi negatif maupun sisi positifnya.
Penyebabnya bukan di Rupiah
Perlu ditegaskan lagi bahwa apa yang di bahas dalam artikel ini hanya mengacu pada konteks tahun 2018 saja ya. Nah, pada tahun 2018 ini, sebetulnya agak kurang tepat jika kita mempertanyakan “kenapa Rupiah bisa menurun?”, karena sebetulnya bukan Rupiah yang melemah, tapi Dolar AS yang menguat. Kenaikan nilai Dolar AS inilah yang menjadi pemicu awal depresiasi nilai mata uang berbagai negara, termasuk Rupiah Indonesia.
Sebuah mata uang bisa menguat dengan sendirinya
Lalu, apa yang menyebabkan nilai USD tiba-tiba melonjak dibandingkan nilai mata uang lain di seluruh dunia? Pertama-tama kita perlu telusuri dulu logikanya. Bagaimana mungkin sebuah nilai mata uang bisa naik? Sederhananya, nilai mata uang naik, ketika ada pihak pembeli yang SEPAKAT untuk menukarkan nilai mata uang tersebut dengan harga yang lebih tinggi sebelumnya.
Dalam hal USD dengan Rupiah, terjadi pergeseran nilai mata uang dengan skenario seperti ini:
Ketika bulan Januari 2018, pemilik USD sepakat menjual 1USD seharga Rp13.300. Sebaliknya, pemilik Rupiah tidak keberatan membeli 1USD seharga Rp13.300. Lanjut ke bulan Februari 2018, pembeli dan penjual sama-sama sepakat menukar 1USD dengan Rp13.700. Sampai pada bulan Mei 2018, pembeli dan penjual sepakat menukar 1USD dengan Rp14.000. Begitu terus sampai sekarang bulan Agustus 2018, nilai tukar 1USD = Rp 14.400. Dalam teori ekonomi, ini sebenernya cuma mekanisme pasar aja dalam membentuk harga keseimbangan. Sesuai dengan hukum permintaan, yaitu ketika tingkat permintaan terhadap USD meningkat dan tingkat penawaran yang tetap, maka harga USD pun akan naik. Nah komoditas atau barang yang diperjualbelikan di sini adalah valuta asing, yaitu mata uang USD dimana harga dari valuta tersebut adalah kurs atau nilai tukar.
Nah, sekarang pertanyaannya: Kenapa mereka bersepakat? Kenapa si pemilik Rupiah mau-maunya membeli 1USD dengan harga yang lebih “mahal” dari beberapa sebelumnya? Kalau seseorang mau membeli sesuatu yang “lebih mahal” pastinya ada SUATU KEUNTUNGAN bagi seseorang untuk memiliki USD daripada memiliki Rupiah. Pastinya ada suatu manfaat lain jika mereka memiliki USD, sampai-sampai membuat banyak orang sampai RELA untuk menukar Rp14.400 dengan 1USD. Logikanya begitu ya.
Masyarakat Indonesia yang diuntungkan karena kenaikan USD terhadap Rupiah
Tidak semua orang di Indonesia dirugikan dengan kenaikan USD terhadap Rupiah lho. Ada beberapa pihak di Indonesia yang justru merasa diuntungkan dengan terdepresiasinya nilai Rupiah. Berikut beberapa di antaranya
Para Eksportir
Para eksportir atau pelaku usaha yang target pasarnya adalah pasar luar negeri. Mereka senang dengan tingginya harga Dolar AS karena hal tersebut membuat produk-produk mereka jadi relatif lebih murah dibandingin produk lainnya yang sejenis. Kok bisa? Misalnya nih biaya produksi tas Rp120.000. Tadinya dengan nilai tukar 1 USD = Rp12.000, berarti kan dalam mata uang USD tuh jadinya 10 USD. Sekarang kalo nilai tukarnya 1 USD = Rp14.400, jadinya kan 8.28 USD (Rp120.000/Rp14.400). Jadinya di pasar internasional lebih murah kan tuh ya? Karena lebih murah, tentunya barang kita lebih laku. Udah makin laku, dibeli oleh konsumen asing dengan tarif Dolar yang nilainya semakin tinggi pula. Jadi untungnya lebih besar deh.
Sektor Pariwisata
Selain para eksportir, sektor pariwisata juga diuntungkan. Yang tadinya kalo turis dari Amerika bawa uang USD 1.000 Cuma bisa dapet Rp12.000.000, sekarang mereka bisa dapet Rp14.400.000. Hal ini tentunya akan menarik minat turis asing yang berkunjung ke Indonesia. Mereka jadi memiliki daya beli yang lebih besar untuk berbelanja di Indonesia. Sebaliknya, sektor pariwisata kita juga jadi semakin ramai dikunjungi dan para turis menjadi semakin konsumtif dengan membeli berbagai macam servis maupun barang lokal Indonesia.
Tenaga Kerja Indonesia yang dibayar dengan USD
Selain itu, tenaga kerja Indonesia yang berpendapatan dalam mata uang USD, seperti Tenaga Kerja Asing dan juga pekerja freelancer yang memiliki client dari luar negeri. Sebenarnya upah mereka sih nggak berubah, tapi karena nilai tukar USD meningkat, mereka menjadi dapat menukar dengan nominal Rupiah yang lebih besar. Misalnya jika awal tahun 2018 pendapatan mereka $500 itu sama dengan Rp6.700.000, sekarang dengan pendapatan $500 mereka bisa menukar dengan Rp7.250.000
Lalu pada saat ini bagaimana langkah yang akan dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia agar rupiah tetap stabil?
Dari BI mengeluarkan sejumlah kebijakan. Salah satunya menyesuaikan suku bunga acuan atau BI 7-day reverse repo rate. BI sudah naikkan suku bunga acuan 125 basis poin dalam tiga bulan. Suku bunga acuan BI kini di posisi 5,5 persen.Langkah lain yang dilakukan BI meningkatkan volume intervensi di pasar valuta asing (valas), membeli surat berharga negara di pasar sekunder, membuka lelang FX swap, dan membuka windows swap hedging. BI juga senantiasa meningkatkan koordinasi dengan pemerintah termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK).BI pun sudah intervensi di pasar surat berharga negara (SBN) dengan melakukan pembelian kembali mencapai Rp 11,9 triliun. Hal itu disampaikan Gubernur BI Perry Warjiyo saat rapat dengan DPR.Dalam kondisi saat ini BI sudah meningkatkan intensitas intervensi pasarnya. Perry mengungkapkan, terhitung hingga saat ini BI telah mengeluarkan dana sebanyak Rp 11,9 triliun. (*)
Penulis adalah Mahasiswa Prodi Manajemen Universitas Muhammadiyah Malang
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.