Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Problem Politisi Intelektual

Alfin Syahrin, MSi

Oleh: Alfin Syahrin

Minimnya Intelektual terpilih di bursa Pileg dan Pilkada. Bukti karatannya pragmatisme dan menguatnya resuraksi Politik dinasti. Selera dan aspirasi publik masih stagnan dipasung oligarki. Kita butuh aksi dan gerakan memecah jumudnya nalar dan bekunya kesadaran pemilh agar terpilih pemimpin2 intelektual yg kredibel dan memiliki akuntabiltas publik yang tinggi.
Akal masyarakat harus tercerahkan dan berfungsi praktis membimbing etik pemilih. Pengetahuan harus menumbuhkan kesadaran logis dan kultural pemilih. Begitu banyak intelektual yang perduli dan punya passion terlibat dipolitik tetapi selalu gagal menuai dukungan publik.  Beberapa sebab kegagalan intelektual tak laku dipasar transaksi pileg dan Pilkada menurut saya.

Pertama, kiprahnya memang masih mengawang dimimbar-mimbar akademik dan podium-podium ilmiah tetapi tidak mengakar dan membumi di nadi persoalan masyarakat. Pemilih tradsional tak cukup kenyang dengan antrian deretan titel, publikasi ilmiah dan prestasi-prestasi akademik. lazimnya mereka butuh apa yang cepat memuaskan kebutuhan mereka. Kemiskinan menjadi alasan kuat suburnya pragmatisme, sehingga logika pemilih yang sehat tumpul tidak berfungsi karena pertimbangan ekonomi selalu jadi referensi dalam penentuan pilihan politik.

Maka, mimpi memperbaiki bobot, kelas dan kualitas demokrasi kl negara tidak mengerek naik derajat ekonomi publik lewat kebijakan-kebijakan yang produktif seperti, meningkatkan kesejahteraan lewat investasi SDA dan SDM, memotong jarak lebar miskin dan kaya, meniadakan diskriminasi kebijakan monopoli berupa penguasaan basis-basis ekonomi oleh kroni dan agency sponsor kekuasaan.

Birokrasi harus kreatif dan serius menciptakan kebijakan perluasaan penciptaan lapangan kerja yang merata dan adil, membangun sistem dan perencanaan pendidikan yang menguatkan karakter dan memberi ruang partisipasi civil society untuk aktif mencerdaskan pemilih lewat kegiatan edukasi, sosialisasi dan advokasi. Perbaikan kebijakan dibidang pembangunan ekonomi menjadi strategis sifatnya dilakukan pemerintah ditengah kuatnya budaya politik transaksional. oleh karena itu pertumbuhan ekonomi harus baik, kebijakan harus efektif digalakan dan program pemberdayaan seperti penguatan kapasitas eksport komoditi daerah, pmbuatan produk unggulan daerah dan penciptaan industri kreatif adalah jalan lempang membangun kemandirian ekonomi publik.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Itu cara memotong praktek transaksi dan pragmatisme pemilih. Demokrasi akan baik apabila fundamen ekonomi publik kuat dan pendidikan berfungsi apik dan etik menggugah kesadaran logis pemilih bahwa demokrasi dan politik, proses dan sirkulasinya harus menyertakan aktor-aktor terdidik yang harus dipilih untuk mengendalikan laju dan menentukan ritme kemajuan negara dan daerah.
Kegagalan kedua, politisi dari akademisi, umumnya mereka cenderung terlambat membaca dan mengisi momentum tetapi lebih cepat dan agresif memasuki arena dan gelanggang politik secara instan tanpa mengukur berat dari bobot akumulatif modal sosialnya. Untuk pemilih seperti di kabupaten Bima dengan kontur dan bentangan geografis yang sulit hampir dipastikan model dan corak mayoritas pemilihnya tentu  sangat tradisional belum berubh menjadi pmilih rasional yang modern.
Sehingga aspirasi dan preferensi politiknya cenderung dbentuk oleh watak ekologi, budaya dan aktivitasnya sebagai petani. sehingga politik gagasan dan kawasan serta sentiment-sentimen akademis tidak laku mjawab kebutuhan dan kepentingan mereka. politisi kawakan  yang berpengalaman tentu lebih cerdik dan tau strategi menjinakan aspirasi pemilh tipe tradisional ketimbang politisi intelektual. Terpal, karung, bibit, pupuk dan aneka kebutuhan pertanian lbih pemilih butuhkan dari janji gagasan memperbaiki tata kelola distribusi kebijakan.

Menurut saya banyak politisi intelektual gagal melakukan kontekstualisasi mengarsiteki dengan matang ranah dan tipologi pemilih sehingga politisi intelektual banyak gagal mendulang dukungan.
Oleh karena itu menyelami, menggeluti dan cermat membaca gambar besar pemilih penting bagi politisi intelektual agar  tidak terburu-buru menyeret diri dalam alot dan kerasnya kontestasi politik praktis yg berbiaya tinggi. Benamkan diri dulu dgn kiprah, raih simpati, tunjukan empati dan taklukan alam pikiran bawah sadarnya masyarakat baru kita buat kalkulasi besar atau kecilnya bobot modal politik dalam neraca timbangan pemilih.

Kegagalan ketiga, politisi intelektual sebenarnya mereka tidak kekurangan gagasan, mereka diantaranya melimpah secara finansial bahkan popularitasnya mumpuni dikenal publik. Beberapa tampil kompleks melengkapi diri dengan ide besar, visioner dan penuh talenta tetapi persoalnya. Mereka kerumitan mengatur dan mengkonsolidasi tim yang mengorganisasi kepentingannya sebagai aktor. Dalam prakteknya dilapangan politisi intelektual sukar menemukan kreator tim yg gigih berjuang, ulet bekerja, cakap diplomasi dan terpercaya. tokoh  yang didapatkan pun sulit dipercaya komitmen dan kesungguhannya dalam memberi dukungan politik pada intelektual selalu alasanya belum teruji di ranah praktis masyarakat.
Saya menemukan bahwa integritas dan konsistensi tokoh yg dipercayai tim dari politisi intelektual yang diharapkan memberi efek elektoral cenderung lentur. Artinya setiap calon yang mendatangi dijanjikan dukugn yang sama besarnya sementara kita butuh dukungan yang militan yang pasti dan kaku tidak bersayap. Umumnya simpul-simpul kekuatan politik di masyarakat selalu terdiri dari elit agama, budaya dan pemuda.

Sayangnya mereka belum mampu jadi pionir dari menguatnya politik ggasan yang ditwarkan politisi intelektual. Justru mrk menjadi bagian penting bagi preservasi kelanggengan politik praktis yang transaksional. Akibatnya saat pilkada dan pileg kita surplus pmilih munafik, pembohong dan ingkar janji yang sudah memiliki lebih dulu aviliasi dan koneksi dengan aktor politisi kelas menengah pemilik modal besar seperti, pengusaha, mantan birokrat dan anak pejbt.
Ini mjadi problem rumitnya intelektual mengisi struktur kekuasaan politik di daerah-daerah padahal kehadiran orang-orang pintar dalam kekuasaan dapat membangun peradaban bangsa dan kehidupan sosial yang lebih baik. (*)

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait