
Iin Irliana (kerudung hitam) bersama siswa SDN Mbawa. (foto-foto: Panitia KI).
PANITIA Kelas Inspirasi (KI) mengundang secara terbuka para pekerja profesional untuk terlibat sebagai inspirator. Mereka hadir di depan kelas da diberikan kesempatan mengajar sehari untuk menginspirasi. Berikut catatan Iin Irliana, seorang fasilitator KI di SDN Mbawa, Kecamatan Donggo Kabupaten Bima.
Kelas Inspirasi (KI) Bima yang Ke-4 kali ini, dilaksanakan di Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. Para profesional yang hadir sebagai relawan inspirator akan menceritakan profesi yang mereka geluti. Mereka hadir lengkap dengan kostum dan atribut lengkap yang biasa mereka kenakan saat menjalankan tugasnya. Di depan kelas, di hadapan anak-anak SD mereka bercerita tentang apa saja yang dilakukan dalam profesinya itu. Hal ini bertujuan untuk mengenalkan profesi secara langsung kepada anak-anak tentang keberagaman profesi. Agar anak-anak mengetahui banyak profesi lain, tidak hanya guru, tentara dan polisi.
Saya adalah fasilitator dalam kegiatan itu. Pada kegiatan yang telah disiapkan selama dua bulan lamanya ini, akhirnya dapat dilaksanakan pada 23 November 2019. Sebelum berangkat ke lokasi pada 22 November 2019 tepat pukul 14.30 Wita, semua relawan dilepas di Museum Asi Mbojo oleh Sekdis Dikbudpora Kabupaten Bima, Salam A. Gani. Pada kesempatan itu, Salam memberikan dukungan dan apresiasi kepada seluruh relawan yang terlibat dalam kegiatan ini.

Anak-anak belajar hal berbeda dari inspirator.
Acara pelepasan dihadiri oleh seluruh relawan dan 10 tim yang sudah dibagi berdasarkan jumlah sekolah yang akan menjadi sasaran KI Bima ke-4 ini.
Dengan menggunakan kendaraan roda empat, kami menempuh waktu sekitar satu setengah jam dari Kota Bima. Seluruh relawan sampai di Donggo dan langsung disambut oleh Camat, Kapolsek, dan KAUPTD Disbudpora Kecamatan Donggo, Rostinah, S.Pd, M.Pd. Sekitar satu jam lamanya penyambutan dilakukan yang diawali dengan pembukaan dan sambutan pengantar dari Ketua Panitia Kelas Inspirasi ke-4, Marwan Suhadi, ST.
Usai acara penyambutan, seluruh relawan berkumpul dengan timnya masing-masing yang sudah ditentukan oleh panitia KI. Setiap tim disebar berdasarkan sekolah penempatan masing-masing. Ada beberapa kepala sekolah yang langsung menjemput kami untuk kemudian diantar ke sekolah tujuan. Kami ada yang menginap di sekolah ada pula di rumah warga.
Seperti yang terjadi pada tim saya yang bertugas di SDN Mbawa, Kepala Sekolah, Aswan, S.Pd menjemput kami dari Aula Kantor Camat. Kami dibawa ke sekolah karena ada penyambutan oleh anak-anak. Menurut pak Aswan, di sekolah telah ditunggu oleh anak-anak dan guru yang akan melakukan penyambutan. Tetapi karena kami tiba lumayan telat dan hari mulai gelap, ternyata anak-anak telah dipulangkan.

Foto bersama depan SDN Mbawa.
Tempat kami menginap lumayan jauh dengan sekolah. Setelah melihat situasi sekolah, kami pun menuju penginapan. Kami pun harus berjalan kaki dan dengan jalan yang agak menanjak. Perkiraan saya antara sekolah dengan tempat kami menginap sekitar seperempat kilo meter. Tempat penginapan kami disediakan oleh pak Amin, salah seorang guru yang mengajar di SDN Mbawa. Pak Amir, yang sudah lebih dari lima belas tahun mengajar, biasa disapa Pak Emo ini. Ia menyambut kami dengan sangat ramah dan suka cita. Begitu pun dengan keluarga pak Emo, mereka sangat ramah menyambut kami. Di SDN Mbawa, kami berjumlah sepuluh orang. Dua orang fasilitator, satu orang videografer, dan tujuh orang inspirator. Para inspirator ini terdiri dari beberapa profesi seperti dokter spesialis anak, polwan, dosen, fasilitator Pendamping Desa, guru, master of ceremony, dan Pegawai KPKNL.
Hari semakin larut, kami tidak bisa langsung istirahat karena masih sibuk mempersiapkan media pembelajaran untuk digunakan esok hari. Semua tim berkerja sama membagi tugas, seperti menggambar, menggunting, memotong, mengelem dan mempersiapkan alat peraga lainnya. Setelah menyelesaikan seluruh alat peraga, kami beristirahat untuk melakukan kegiatan esok pagi di SDN Mbawa.
Usai sholat shubuh dan sarapan di kediaman Ama Emo, kami berangkat menuju SDN Mbawa, dan tiba tepat pada pukul 07.00 pagi. Pemandangan yang tidak biasa bagi para relawan ketika anak-anak menyambut dengan menggunakan pakaian adat dari masing-masing budaya mereka. Di Desa Mbawa ternyata warganya cukup beragam. Masyarakat asli Donggo yang mayoritas Kristen memakai pakaian adat mereka yaitu Baju Kababu. Sementara yang Islam memakai baju muslim dengan berkerudung bagi yang wanita dan memakai kopiah hitam bagi yang laki-laki.
Kegiatan KI di SDN Mbawa dimulai dengan perkenalan terlebih dahulu dengan kepala sekolah, guru-guru, dan seluruh siswa-siswa. Setelah melakukan perkenalan dengan para inspirator yang terdiri dari berbagi profesi ini, dilanjutkan dengan senam pagi sebagai pemanasan agar bersemangat dalam belajar.
KI dimulai tepat pukul 07.30 Wita. Semua Inspirator sudah dibagi untuk masuk di setiap kelas dengan durasi mengajar selama 30 menit. Kemudian setelah 30 menit para inspirator akan berpindah ke kelas lain untuk mengenalkan profesi mereka secara bergantian agar siswa kelas 1 sampai dengan 6 mendapatkan inspirator yang berbeda. Kegiatan pun berjalan dengan sangat baik, karena siswa terlihat begitu bersemangat dengan hadirnya para inspirator di kelas mereka. Tujuan utama dari kegiatan ini saya anggap tercapai. Hal ini dapat dilihat dari antusias dan semangat anak-anak yang begitu luar biasa.

Orang dengan beragam profesi hadir menginspirasi di SDN Mbawa.
Usai mengajar di kelas, para inspirator satu persatu memberikan kesan mereka terhadap KI di SDN Mbawa. Semua inspirator memiliki kesan yang sangat positif. Hal yang paling mengagumkan kami para inspirator adalah toleransi antarsiswa begitu tinggi dengan perbedaan keyakinan yang mereka anut.
Tepat pada pukul 12.30 Wita kegiatan menginspirasi di kelas selesai. Anak-anak diminta untuk menuliskan nama dan cita-cita mereka pada secarik kertas lalu menggantungkan di pohon cita-cita yang telah disediakan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar mereka selalu ingat akan apa yang sudah mereka tulis dan tetap semangat belajar memperjuangkan cita-cita mereka dimasa depan.
Setelah pengikatan cita-cita di pohon harapan, anak diajak untuk bermain sesaat dan setelah itu dilanjutkan pembuatan video bersama anak-anak.
Para inspirator di SDN Mbawa ini sangat terkesan dengan kearifan lokal masyarakat Mbawa, yaitu tetap menjunjung tinggi adat dan budaya setempat. Mereka tetap melestarikan tradisi dan kebiasaan, seperti memakai baju adat masyarakat asli suku Donggo yaitu Baju Kababu. Mereka juga tetap menjunjung tinggi dan menghargai adanya masyarakat muslim yang juga tinggal di itu. Bagi masyarakat Mbawa, dalam keyakinan beragama, tidak ada paksaan. Orang tua sekalipun tidak memiliki wewenang untuk memaksa anaknya untuk mengikuti kepercayaannya tertentu. Sehingga tidak jarang ditemui dalam satu rumah terdapat tiga agama sekaligus, yaitu Kristen Protestan, Katolik, dan Islam.

Foto bersama seluruh guru dan siswa di halaman SDN Mbawa.
Kebiasaan dan tradisi warga Donggo ini sangat berbeda dari kebudayaan orang Bima pada umumnya. Suku Mbojo Bima bermayoritas Islam, dan lebih dari 96 persen dan anak pasti mengikuti agama orang tua mereka.
SDN Mbawa dan Masyarakat memberikan contoh toleransi hidup beragama yang harmonis. Sesuai amanat Pancasila walaupun berbeda-beda namun kita tetap satu jua, yaitu Indonesia. Walaupun di Mbawa terdapat beberapa keyakinan, mereka sadar bahwa mereka masih satu nenek moyang yaitu orang Donggo asli. Sehingga menjaga keutuhan masyarakat tetap menjadi prioritas nomor satu. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
