Connect with us

Ketik yang Anda cari

Berita

Melihat Bima Sebagai Ibu Bumi dan Medan Perebutan Ruang, Seperti Apa?

Oleh: Irna Izzy

(penulis buku “Bukan Tulah Belalang”)

 

Dalam buku Contemporary Bali, Contested Space and Governance, Agung Wardana mengatakan, ketika sebuah daerah dijadikan sebagai medan pertarungan atas ruang, maka lingkungan pun akan terseret dan ikut serta menjadi korban di dalamnya.

Ada dua narasi dominan untuk menggambarkan keadaan Bima saat sekarang; narasi romantik dan narasi apokaliptik.

Mereka yang setuju terhadap pandangan narasi romantik akan melihat bagaimana Bima sebagai sesuatu yang unik dan bernilai jual tinggi bisa saja tetap terus bertahan dengan keadaannya sekarang, mesti zaman sudah berubah, jika dilihat dari sektor pariwisata Bima yang mulai banyak digandrungi dan dipopulerkan.

Di satu sisi, pandangan dan narasi apokaliptik rupanya bisa menggugurkan pandangan terhadap narasi romantik. Di mana, jika kita melihat Bima (sekarang), sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Bima sedang mengalami ancaman internal dan eksternal.
Narasi ini melihat Bima bisa saja hancur akibat perbedaan politik, skala prioritas, krisis air dan kekeringan. Masalah sampah, abrasi pantai, kerusakan lingkungan, emisi karbon, dan lain sebagainya yang kian menjadi catatan dan coretan panjang beberapa kurun waktu terakhir.

Bima saat ini menjadi medan atas  pertarungan berbagai kepentingan yang notabenenya cenderung mengorbankan lingkungan. Ancaman masifnya terlihat dari pembabatan hutan dan pembukaan lahan baru yang semakin merajalela. Petani misalnya, dianggap serakah hanya karena mereka tergiur pada uang. Padahal, masalahnya lebih kompleks dari itu. Dalam kenyataannya, hal ini terjadi tidak semata karena pilihan rasional “sebagai petani”, tetapi ada kondisi sosial politik yang begitu kental ikut merembes di dalamnya.

Kebijakan politik yang seharusnya bisa menyerukan wacana mengurangi segala dampak perebutan ruang dan mencegah makin masifnya kerusakan lingkungan
malah membawa pada imbas yang lebih fatal. Penguatan gerakan sosial politik di tingkat lokal tidaklah menjadi sebuah acuan agar masyarakat dilibatkan sehingga bisa tidak sampai pada taraf yang lebih menakutkan (lagi).

Dalam bahasa agama dan kepercayaan,  lingkungan disebut sebagai “Ibu Bumi” di mana dimensi spiritual kehidupan manusia disusun melalui nilai-nilai kearifan lokal dan etis global yang ada.

Hal ini senada dengan apa yang disebut oleh sosiolog, Peter Beyer sebagai “Tafsiran”, bahwa nilai agama dan kepercayaan mampu menafsirkan konsep ruang dan lingkungan sebagai sebuah idiom simbolik. Ketika kita bersahabat dengan lingkungan, maka lingkungan akan menjaga kita. Pun sebaliknya.

Berbagai laporan terbaru sudah jelas menunjukkan konsensus ilmiah terhadap kerusakan lingkungan, perebutan ruang, krisis iklim, dan adanya urgensi untuk mengambil aksi terhadap segala dampak kerusakan yang sedang terjadi.

Karena itu, kita semua harus menjadi bagian dari masalah satu dan yang lainnya. sudah saatnya untuk kita berpartisipasi dalam menjaga Bima dari kerusakan lingkungan dan penyempitan ruang. Semakin sering kita merasakan dampak perubahan iklim, maka akan semakin sadar pula kita akan kondisi alam dan lingkungan Bima kita yang sedang sakit parah.

Untuk itu, mesti ada upaya maksimal guna mengembalikan fungsi hutan Bima pada jalurnya. Konservasi dan restorasi hutan haruslah menjadi perhatian dan kebijakan pemerintah maupun masyarakat (kini), setelah deforestasi diakui sebagai penyebab utama banjir bandang tahun 2016 lalu. Hanya saja, di dunia ini, di mana tujuan lingkungan seringkali jauh melampaui hasil, tidak aman mengasumsikan bahwa ambisi inilah yang membawa keberhasilan. Namun, sebagai catatan, statistik pemerintah daerah harus bisa melaporkan pemulihan kembali hutan dan lingkungan secara berskala. (*)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait