Connect with us

Ketik yang Anda cari

Berita

Memahami Potensi Pariwisata Kita

Penulis, Khairudin M. ALI, dengan latar belakang Pulau Sangiang.

SEJAK November lalu, saya bersama tim kecil mencoba untuk membaca peta potensi apa yang bisa membantu pengembangan ekonomi masyarakat Bima. Selain meneliti data, melihat arah kebijakan pemerintah di daerah, kami juga langsung ke lapangan untuk mengetahui kondisi lapangan. Fokus utama kami adalah mencoba menangkap narasi pariwisata yang digaungkan dengan fakta yang terjadi di lapangan hari ini. Berikut Catatan Khas saya, Khairudin M. Ali.

Tim kecil ini paling tidak sudah melihat potensi La Sakosa (kami sebut saja Langgudu, Sangiang, Komodo, dan Sape). Kepanjangan La Sakosa ini sedikit kami ubah dan berbeda dengan Pemerintah Kabupaten Bima sebagai penggagas istilah itu. La Sakosa yang mereka maksudkan adalah Lambu, Sangiang, Komodo, dan Sape. Awalnya hanya menyebut Sakosa (Sangiang, Komodo, Sape). Rupanya ada keberatan, bahwa sesungguhnya yang punya lokasi potensial untuk pengembangan wisata itu adalah Lambu, bukan Sape. Pemkab Bima sudah membuat semacam segitiga emas pengembangan pariwisata, dengan memanfaatkan ketenaran Pulau Komodo sebagai titik sentralnya. Apa tujuannya? Jelas, wisatawan yang melihat kadal raksasa di Pulau Komodo, harus juga ditarik-tarik untuk mampir di wilayah Kabupaten Bima. Pertanyaannya, ada apakah di wilayah La Sasa (Lambu, Sangiang, Sape) yang menjadi alasan wisatawan untuk mampir? Inilah pertanyaan krusial yang harus dijawab bersama.

Peta Rencana Induk Pariwisata Kabupaten Bima.

Saya ingin coba mulai dari Sangiang misalnya. Sebenarnya bukan tanpa alasan bagi Pemkab Bima memasukkan destinasi ini untuk dikunjungi. Sebab faktanya, di sana selalu saja ada kapal pesiar atau kapal-kapal yang membawa wisatawan ke Pulau Komodo dari Bali dan Lombok, mampir untuk melihat keindahan pulau gunung api paling aktif di Sunda Kecil ini. Para wisatawan memiliki minat yang sangat besar untuk menjadi mencatat sejarah hidupnya, bahwa mereka pernah hadir di tempat hebat itu. Pertanyaannya, keuntungan apakah yang bisa diperoleh masyarakat setempat dari kehadiran para wisatawan ini? Mereka hanya mampir. Tidak bisakah ditahan sehari?

Ayang Syaifullah, seorang tim kecil kami gregetan ketika ditanya soal ini. ‘’Inilah masalahnya om,’’ katanya kepada saya pada Sabtu, 14 Desember 2019 lalu. Syaifullah merasa ada sesuatu yang belum digarap serius dan seharusnya bisa membantu ekonomi masyarakat, dengan hadirnya wisatawan di Pulau Sangiang.

Dalam perjalanan hingga sore itu, saya memang belum sempat ke Pulau Sangiang. Tetapi pesannya sudah bisa ditangkap. Sementara di Desa Sangiang, telah dibangun dermaga. Ada sejumlah warung kopi, jasa penitipan kendaraan, dan warga yang menjual souvenir sederhana. Ada pula warga pemilik perahu yang melayani penyeberangan ke Pulau Sangiang. Tentu saja ini bukan untuk wisatawan mancanegara (wisman), karena mereka biasanya langsung mampir di Pulau Sangiang. Ini hanya untuk wisatawan lokal (wislok) atau wisatawan nusantara (wisnus) yang ingin datang ke Pulau Sangiang.

Ini pun sudah memberikan efek ekonomi yang lumayan. Masyarakat setempat pun terlihat mulai ramah dan terbiasa dengan lalu lalangnya orang ‘asing’ di halaman rumah mereka. Sangiang mulai terbuka dengan hadirnya orang lain di kampung itu.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Bocah bermain di dermaga Desa Sangiang.

Usai makan siang di kediaman Syaifullah, kami menuju ke Desa Tui. Kami ingin melihat lahan pemerintah Provinsi NTB di desa itu. Sekitar pukul 16.16 Wita, kami tiba di sana. Lahan itu ternyata tidak dimanfaatkan sama sekali. Lahan seluas sekitar 300 hektare itu dibiarkan tidur tanpa bisa memberikan dampak ekonomi bagi daerah maupun bagi masyarakat. Tiba di situ, kami hanya disuguhi aktivitas pembangunan sebuah gedung bernilai Rp750 juta. Bangunan itu sedang digenjot, karena harus sudah selesai sebelum akhir tahun ini. Gedung Balai Pembibitan dan HPT Padang Penggembalaan Ternak ini adalah proyek milik Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kabupaten Bima. Artinya ada proyek Pemkab Bima yang dibangun di atas lahan milik Pemprov NTB. Fokus tim bukan untuk memeriksa proyek, tetapi ingin melihat lahan luas itu mau digunakan untuk apa agar bisa memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat dan pemerintah.

Menurut seorang penjaga di situ, lahan tidak pernah dipakai untuk apa-apa. Pernah ada proyek penanaman pakan ternak, tetapi ternaknya tidak pernah ada sama sekali. Pakan yang ditanam akhirnya hanya menjadi semak. Untuk melihat kondisi lahan yang begitu luas, saya mencoba menerbangkan drone. Beberapa sudut saya coba potret dari udara. Lahan itu relatif subur, sebagian ada di perbukitan, dan sudah dipagar keliling.

Dalam sebuah group diskusi WhatsApp, Gubernur NTB sempat kaget dengan informasi adanya lahan milik Pemprov yang begitu luas dan telantar itu. ‘’Kalau ada coba dicari tahu kebenarannya,’’ kata Dr Zulkielimansyah. Dr Zul –sapaannya— ingin lahan itu produktif dan bisa bermanfaat bagi pengembangan ekonomi masyarakat. Bagaimana cara pemanfaatannya, tentu akan dibahas lebih lanjut.

Gedung Balai Pembibitan dan HPT Padang Penggembalaan Ternak senilai Rp750 juta.

Selain ke Sangiang dan Oi Tui, tim juga sudah melakukan perjalanan dua hari ke sisi timur Kabupaten Bima. Dua hari melakukan perjalanan dari Sape, tim sempat menginap semalam di Pantai Pink, dan satu malam di Pulau Kelapa. Dua wilayah ini merupakan wilayah tutupan karena masuk dalam kawasan hutan milik negara yang tidak boleh digarap oleh masyarakat tanpa izin.

Kalau sekadar foto, saya kira pantai dengan pasir berwarna merah muda itu sudah banyak beredar di media sosial. Demikian pula dengan keindahan Pulau Kelapa. Tetapi jika dikaitkan dengan pengembangan pariwisata, tentu masih banyak hal yang harus menjadi pertimbangan.

Jika targetnya adalah wislok, maka mereka hanya sekadar pergi foto-foto kemudian pulang. Yang bisa memperoleh manfaat adalah pemilik perahu yang disewa atau swasta yang mulai menggarapnya sebagai paket temporer. Jika ini yang menjadi fokus, maka Pantai Pink dan Pulau Kelapa tidak dapat memberikan dampak yang lebih besar. Orang yang pernah datang nyaris tidak akan datang lagi, sebab pasir berwarna merah muda, tidak hanya ada di Lambu itu. Ada juga di banyak tempat lain, bahkan jauh lebih bagus dengan fasilitas dan kemudahan yang lebih terjamin. Demikian pula halnya dengan Pulau Kelapa yang tanpa pohon kelapa itu. Sama saja, kecil kemungkinan wisman akan berkunjung ke sana.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Saya berencana untuk mengunjungi ulang pulau-pulai itu pada April 2019 mendatang. Saya ingin juga ke Gili Banta, pulau paling dekat dengan Pulau Komodo. Saya ingin mengukur jarak tempuh dari Gili Banta ke Pulau Komodo dan pulau-pulau di sekitarnya, hingga Pulau Kelapa, Pantai Pink, dan objek lain-lain di sekitar itu.

Saat kunjungan awal. tim sengaja tidak mengunjungi Pantai Lariti. Sebab pantai ini tidak punya hal yang luar biasa juga. Artinya, agak sulit dipasarkan ke wisman. Hanya masyarakat lokal dan sedikit wisnu yang mungkin berminat ke wilayah ini karena penasaran dengan pantai yang terbelah itu.

Tim juga mengunjungi Nisa Bea di selatan Kabupaten Bima. Pulau kecil di Teluk Waworada ini, sudah mulai digarap dengan dana desa atas inisiatif pemerintah desa dengan warga setempat. Sudah ada dermaga dan mulai dibersihkan. Bahkan sudah beredar videonya di media sosial. Apa yang mau ‘dijual’? Ada sedikit pantai berpasir putih di sisi barat pulau dan mungkin keindahan bawah lautnya. Jika bawah laut menjadi andalan, maka perlu sarana diving untuk mengeksplorasi keindahan taman karang pulai mungil ini. Siapa targetnya? Apa persiapannya?

Target masih saja masyarakat lokal dan sedikit wisnus. Ini pun tergantung seberapa kuat kita melakukan promosi terhadap potensi ini. Pemkab Bima harus juga bekerja keras lebih dahulu menghapus stigma soal keamanan jalur menuju Nisa Bea. Informasi terakhir, jalur ini mulai nyaman, apalagi sudah dikembangkan wisata Mbombo Ncera yang sejalur menuju Nisa Bea.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Terkait dengan persiapan, jika Nisa Bea ingin mengembangkan wisata bawah laut, selain peralatan diving, yang diperlukan juga adalah pemandu atau instruktur diving. Menyelam di bawah laut harus pakai alat dan tahu caranya. Maka dibutuhkan instruktur untuk menyiapkan ini semua. Adalah putra Bima yang saat ini menjadi peneliti bawah laut di Universitas Hasanuddin Makassar, pernah menawarkan diri untuk melatih anak-anak muda Bima di bidang ini. Dia adalah Dr Syafyudin Yusuf yang kiprahnya sudah mendunia. Bahkan saat ini, Dr Syaf bersama tim dari berbagai negara, sedang melakukan penelitian di laut Inggris dan Eropa lainnya.

Dia menyampaikan keinginannya untuk mendidik anak-anak muda Bima agar menjadi penyelam andal. ‘’Kita butuh penyelam untuk mengeksplorasi alam bawah laut kita yang indah,’’ katanya.

‘’Kirim saja mereka yang pengangguran, yang nakal dan yang merasa tidak punya masa depan kepada saya. Saya akan didik mereka supaya punya masa depan,’’ tambahnya.

Apa yang disampaikan oleh Dr Syaf adalah bagian kecil dari banyak diaspora Bima yang mestinya bisa dimaksimalkan untuk memajukan daerah ini. Banyak diaspora lain yang juga ingin berkontribusi dengan keahlian dan bidang mereka. Pemangku kebijakan di daerah ini harus bisa menangkap semangat tersebut. Buka ruang dialog, undang mereka dalam satu kesempatan, duduk bersama, bicara bersama, dan cari solusi bersama. Setiap pemimpin perlu mencari banyak terobosan, sehingga tidak semata terpaku membelanjakan APBD. Diaspora itu adalah aset. Dari banyak diskusi nonformal dengan mereka, jika dibutuhkan akan sangat siap untuk berkontribusi. Tinggal pemangku kebijakan di daerah inilah yang proaktif untuk memulai membuka ruang diskusi yang produktif.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Apa target tim kecil kami? Kami ingin membuka kebuntuan komunikasi investasi. Kami coba identifikasi problem dan mencarikan jalan keluarnya. Keluhan sulitnya komunikasi ini akan menjadi prioritas, setelah sejumlah potensi sudah diketahui. Saya mengerti kita semua ingin maju dan sejahtera. Tetapi cara pikir dan cara pandang antar kita, bisa menjadi faktor penghambat proses ke arah itu. Sejumlah keluhan saya dapati misalnya begitu sulitnya investor untuk memiliki akses kepada kepala daerah. Begitu sulitnya investor punya waktu yang cukup untuk berdiskusi serius dengan kepala dinas tertentu misalnya. Bahkan mohon, maaf masih kita dengar adanya ketakutan pemilik modal dipersulit dengan hal-hal di luar ketentuan oleh oknum tertentu. Hal ini perlu duduk bersama untuk menyatukan visi dan persepsi. Bahkan masih saja ada hambatan komunikasi antar pemerintah di daerah dengan provinsi, lebih-lebih dengan pemerintah di pusat.

Kita harus menjawab itu semua dengan political will. Kata Dr Muhammad Firmansyah, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mataram, jika daerah lain bisa, mengapa kita tidak bisa? Jika orang lain bisa, mengapa kita tidak bisa? Tentu hal ini ada sebabnya. Inilah tugas bersama kita.

Saya pun telah berdiskusi dengan diaspora Bima yang bermukim di Manggarai Barat. Dia punya jaringan, punya akses. Dia pun ingin membantu daerah dan keluarganya di Bima dengan bidang yang dia tekuni. Dia punya energi besar untuk itu. Ketika saya tanya apa hambatan mengapa kita tidak bisa maju, dengan enteng dia menjawab itu semua tergantung pemimpin daerah. ‘’Kita bisa buka semua akses yang kita punya kalau pemimpin daerah di Bima ini juga berhasrat untuk itu,’’ ujarnya.

Apakah konektivitas bukan menjadi hambatan? ‘’Itu semua bisa dijawab dengan uang. Tidak perlu pemerintah yang mengeluarkan uang, biarlah swasta yang mengerjakannya. Pertanyaan saya hanya satu, apakah Bima mau maju?’’ ujarnya serius.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Dia malah mengkhawatirkan kalau energi Bima hanya untuk politik. ‘’Kita habiskan waktu hanya bicara politik. Dari tingkat RT hingga Pilkada, tidak habis-habisnya menjadi topik hangat di media-media sosial,’’ katanya.

Pantai Pink Lambu, Kabupaten Bima.

Saya jadi teringat era delapan puluhan, di mana Lombok saat itu bukanlah apa-apa. Bandingkan dengan Bali yang sudah jenuh, karena pariwisata mereka sudah maju puluhan tahun sebelumnya. Inilah yang saat ini sedang terjadi dengan Bima. Kita tertinggal ribuan langkah dengan Manggarai Barat, daerah pemekaran baru yang umurnya masih sangat muda. Kabupaten ini baru dibentuk pada 2003 lalu, setelah pisah dari Kabupaten Manggarai berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2003. Itu berarti umurnya lebih muda setahun dari Kota Bima. Tetapi lihatlah apa yang sedang terjadi di sana. Pariwisata telah mengubah segalanya. Jika kita untuk menambah panjang landasan pacu (runway) bandara saja sulit hingga kini, di Bajo sudah ada bandara internasional.

Pada 2016 misalnya, kunjungan wisatawan sebanyak 83.712 orang. Dari jumlah itu didominasi oleh wisman sebanyak 54.335 orang. Kemudian pada 2018, terjadi peningkatan yang sangat tajam yaitu dua kali lipat, dengan jumlah kunjungan 163.807 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 80.683 orang adalah wisman.

Apakah kita hanya akan menjadi penonton ataukah ingin  seperti Lombok yang memanfaatkan kejenuhan Bali pada era 1980-an? Semuanya tergantung kita saat ini. Apa yang bisa ditawarkan oleh Bima dalam kondisi Manggarai Barat yang sudah seperti itu?Berdasarkan pengamatan saya, Bima mestinya masih bisa memanfaatkan momentum itu. Ada beberapa poin positif yang bisa saya sampaikan di antaranya; Manggarai Barat menolak Pariwisata Halal, kenapa Bima tidak memulainya?

Wilayah Kabupaten Bima lebih dekat ke Pulau Komodo jika mampu melobi untuk membuka pintu di sisi barat. Selanjutnya, wisman dan wisnu masih bisa memilih terbang ke Bandara Bima dengan tarif hemat pada Juli, Agustus, September. Bonusnya adalah, masih bisa menikmati destinasi lokal di Kota Bima dan Kabupaten Bima, sebelum mereka melanjutkan perjalanan darat ke destinasi antara sebelum melihat kadal raksasa itu. Ada Sambori, Lawata, dan Museum Asi Mbojo. Bonus bagi kita adalah, ekonomi yang mendapatkan multiplier effect dari kunjungan itu. Bagaimana pendapat Anda? (#)

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

Ke Jeddah saat Menunggu Kembali ke Tanah Air ‘’USAI makan siang, kami menunggu bus yang akan mengantarkan ke Jeddah. Kami menunggu di pelataran hotel...

CATATAN KHAS KMA

Tur ziarah ke Kota Thaif HARI ke delapan, di tanah suci, rombongan jamaah umroh kami mengikuti program tur ziarah ke kota Thaif. Berikut lanjutan...

CATATAN KHAS KMA

Umroh ke Dua SELEPAS holat subuh berjamaah di masjidil haram, sekitar pukul 10.00 pagi, kami menaiki bus yang mengatar kami ke lokasi Miqat di...

CATATAN KHAS KMA

Rutinitas Ibadah di Masjidil Haram RANGKAIAN ibadah umroh wajib telah berakhir. Itu cukup menguras tenaga, karena proses Tawaf dan Sa’i yang diakhiri Tahalul yang...

CATATAN KHAS KMA

Mampir di Hotel INI perjalanan hari empat bagian ke dua. Catatan perjalanan ini, memamg diturunkan berdasarkan hari perjalanan. Tetapi hari ke empat ini, ternyata...