Connect with us

Ketik yang Anda cari

Berita

Mereka Bisa, Kok Kita Nggak…?

Oleh: Dr M Firmansyah

(Dosen Sarjana dan Pascasarjana UNRAM, Asal Rabadompu)

Di media sosial viral, Surabaya kok seperti di Jepang ya, penuh bunga warna warni. Kota Surabaya mulai tertata, bersih. Walikotanya ikut bersih-bersih, diawasinya Kota Surabaya setiap saat, riel time.

Kulonprogo Bupatinya Seorang dokter Ahli Kandungan. Sang Bupati merasa terpanggil memajukan Kulonprogo. Tentu tidak ada yang kepingin, seumur-umur Kulonprogo dianggap tertinggal di Yogyakarta. Kunci yang dimainkan sang Bupati mengajak sama-sama cinta produk lokal (Beli dan Bela Kulonprogo), tidak saja sekedar ucapan, namun “cinta” dengan sedikit pemaksaan, yaitu dengan Perbup atau Surat Edaran.

Di ujung timur Pulau Jawa, berdekatan dengan Bali ada kabupaten yang juga di pandang sebelah mata awalnya. Namanya Banyuwangi, Azwar Anas Bupatinya. Azwar tahu, bahwa merubah mind set masyarakat tidak bisa sambil lalu, tapi perlu terus menerus dan serius. Banyuwangi sering didatangkan ahli pengembangan diri untuk merubah mind set masyarakat.

Azwar sekuat tenaga mendatangkan, yang selalu saya sebut “Orang dan Modal” di Banyuwangi. Mulai dari bandara dibangun dengan ciri khasnya, pariwisata digenjot. Bayangkan, ada 99 event setiap tahun di banyuwangi, untuk apa? Tiada lain untuk mendatangkan orang berkunjung ke banyuwangi, kemudian ujung-ujungnya mendatangkan modal.

Ada pula kabupaten yang awalnya kering, disulap jadi daerah industri besar di Sulawesi Selatan. Nama Kabupatennya Bantaeng, Bupatinya saat itu Prof. Nurdin Abdullah (sekarang jadi Gubernur Sulsel).

Coba kita tengok skala desa sekarang. Ada Desa Ponggok di jawa tengah yang melahirkan berbagai unit usaha sehingga menghasilkan pemasukan desa puluhan miliar pertahun, ada desa wisata Gili Bante di Lombok, ada desa Subak sebagai desa olah raga di Bali serta puluhan dan ratusan desa maju dan bertatus mandiri lain di Indonesia.

Apa kita di Bima tidak bisa macam daerah di atas? Tidakah Bima punya segudang produk unggul bernilai mahal di dunia (misal, ikan, udang, garam, kelor, kawista dan kayu putih), punya juga lokasi wisata yang indah (misal: pantai lariti, kalaki dan lain-lain). Saya katakan bisa, namun dengan upaya yang lebih kencang. Mari kita Analisa pelan-pelan.

Ada banyak hasil-hasil riset yang dapat menjelaskan ini, namun tidak ingin saya ceritakan di sini supaya tidak memberatkan pembaca Bimeks (bimakini.com) sekalian. Saya ingin jelaskan dengan analogi saja.

Surabaya menata kota, supaya orang banyak berkunjung, ekonomi berputar kencang, kehidupan menjadi nyaman. Surabaya dari awal banyak uangnya karena kota industri dan jasa, bahkan jadi metropolitan ke-2 setelah Jakarta.

Kulon progo punya bisnis, Banyuwangi banyak event dan jadi daerah pariwisata unggul. Kenapa bisa, karena memang di jawa semua terkoneksi. Pusat SDM unggul Indonesia, pusat industri, pusat perputaran uang, pusat pendidikan, pusat jasa. Orang Bandung tidak butuh biaya terlalu mahal untuk ke Kulonprogo atau bahkan ke Banyuwangi, pun sebaliknya.

Demikian pula desa Subak di Bali atau ada Kampung bersih di Bali yang ramai pengujung dan viral di medsos. Kenapa bisa ramai pengunjung? Karena memang dari awal ada banyak wisatawan di sana. Dipikir, orang Australia atau Eropa dan Amerika jauh-jauh ke Bali sekedar untuk menikmati desa bersih? Tentu tidak. Mereka (masyarakat desa) hanya menarik para turis yang ada untuk mampir ke desa bersih itu.

Pertanyaannya, bila Bima membuat Desa bersih, buat event nasional apakah otomatis menyebabkan banyak pengunjung, dan pengujungnya turis berkelas di jawa dan luar negeri? Apa mau orang capek-capek dari Jawa, transit beberapa kali, biaya transport mahal, lama di jalan, akomodasi yang kurang representative untuk sekedar menikmati desa bersih, pantai yang indah, ikan bandeng yang enak di Bima?

Inilah maksud saya, “Bisa namun Butuh Tenaga Ekstra”. Bila industri kita hanya mengandalkan pasar lokal, lama balik modalnya tidak go project istilah evaluasi proyeknya. Namun, bila kita punya kemampuan mengembangkan produk berorientasi keluar, kemudian upaya mendatangkan “orang dan modal” serius direncanakan dan digarap, maka sekali lagi saya katakan kita bisa. Asal pemerintah dan masyarakat benar-benar berkomitmen “merencanakan apa yang dikerjakan dan mengerjakan apa yang direncanakan”

Komitmen awal dari masyarakat Bima adalah dengan memilih pemimpin yang punya visi jauh ke depan, berorientasi industri dan ekosistem inovasi serta pengembangan modal sosial. Siapapun dia, mohon masyarakat Bima uji secara logis, sebenarnya komitmen pemimpin kita itu seperti apa, pengetahuannya tentang arah ekonomi Bima ke depan seperti apa, kemana mau di bawa kita sebagai rakyat ini. Di situ poin awalnya.

Insya Allah, kita akan sambung lain waktu… (*)

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Opini

Oleh: Dr. M Firmansyah (Dosen sarjana dan pascasarjana FEB UNRAM asal Rabadompu.) Setelah Taman samada dibangun, Walikota mulai memikirkan bagaimana membangun industrialisasi di Kota...

Opini

Oleh: Dr M Firmansyah (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNRAM, asal Rabadompu) Kesempatan kali ini saya ingin bercerita. Semoga cerita ini dapat diambil manfaat...