Connect with us

Ketik yang Anda cari

Berita

Nikmatnya Kuliah, Lupa Cita-Cita

 

Dr Muhammad Firmansyah (tengah) bersama Dr Ibnu Haldun (baju merah).

MENGENAL tokoh saya yang satu ini, sebenarnya sudah cukup lama. Itu di forum-forum diskusi online dan group media sosial. Jumpa langsung, sudah beberapa kali. Dia salah satu Doktor bidang ekonomi yang dipunyai Bima saat ini. Namanya Dr Muhammad Firmansyah.  Bagaimana kiprahnya, Berikut Catatan Khas saya, Khairudin M. ALI.

Penampilannya sederhana. Bahkan lebih sering berkaos oblong kalau tidak sedang di acara resmi. Saat ingin main ke Bukit Jatiwangi suatu waktu lalu, bersama Dr Ibnu Khaldun (Ketua  STKIP Taman Siswa Bima) memilih berjalan kaki. “Sambil olahraga,“ katanya sambil berlari kecil. Keringat bercucuran. Segar juga tentu saja sehat.

Pagi itu, saya sudah lebih dahulu ada di bukit. Saya kemudian menemani keduanya melihat Kota Bima dari atas sisi utara. “Pemandangannya keren bang,“ kata Firman.

Kami bertiga kemudian melanjutkan perjalanan ke sisi atas dari Bukit Jatiwangi. “Harusnya dikelola dengan baik. Pasti bisa menjadi destinasi yang menarik. Tinggal dipoles saja,“ ujarnya.

Mengobrol dengan Doktor Ilmu Ekonomi ini, tentu sangat menarik. Bahasanya sederhana, mudah dipahami. Saat itu wabah Covid-19 belum ada seperti sekarang. Walau di Wuhan, Tiongkok sana sudah ada pasien positif yang diumumkan, tetapi negara kita baru heboh pada awal Maret. Kami tidak membahas wabah ini sebagai ancaman ekonomi bangsa dan dunia.

Tetapi begitu wabah sampai ke daerah kita, termasuk di Bima, mau tidak mau ini menjadi perhtian serius. Doktor Firman satu  yang paling `cerewet` bicara tentang ekonomi di masa pandemi ini. Apalagi saat ini semua sektor hampir-hampir mati. Dia risau dengan banyak tenaga kerja yang terpaksa menganggur karena mesin produksi dihentikan. Suatu saat dalam meeting online bersama saya dan sejumlah stake holder lain, dia mengaku benar-benar risau. “Kita harus lakukan bersama menghadapi kemungkinan terburuk akibat dari wabah Covid-19 yang berkepanjangan ini,“ tegasnya.

Lahir di Rabadompu Kota Bima pada 29 Juni 1979, Doktor Firman, demikian biasa dipanggil, punya cita-cita menjadi perwira tentara. Ia menyelesaikan studinya di SMP  1 dan SMA 1 Kota Bima. Tamat SMA, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram (FEB Unram). Keenakan kuliah, dia pun lupa pada cita-citanya yang ingin mrnjadi tentara. “Terlalu asyik belajar,` ujarnya singkat.

Cita-cita menjadi perwira tentara akhirnya dikuburkan setelah merasakan nikmatnya kuliah. “Karena waktu SMA tidak serius, ternyata saat kuliah saya menemukan kesenangan belajar,“ katanya.

Berdasarkan pemngalamannya itu, dia selalu berpesan,  pada mahasiswanya, untuk memanfaatkan kesempatan terahkir. “Bila saat SMP atau SMA mu tidak ada prestasi, saat kuliah adalah kesempatan terakhir,“ ujarnya.

Dr Muhammad Firmansyah dengan Dr Ibnu Khaldun di Bukit Jatiwangi.

Saat ini, sebagai pengajar dan Doktor Ekonomi Pengembangan Wilayah (Ekonomi Regional) dan Ekonomi Kelembagaan, dia cukup sibuk. Selain mengajar Sarjana dan Pascasarjana FEB Unram, Firman juga banyak terlibat dalam membantu pemerintah daerah. Saat ini masih tercatat sebagai Tim Penasehat investasi Provinsi NTB, Tim Percepatan Pembangunan Kawasan SAMOTA, Ketua Komisi Ekonomi Dewan Riset Daerah (DRD) NTB, dan Tim Penjamin Mutu Balitbang Kota Mataram. Dia juga aktif dalam  Tim Ahli di Dinas Kelauatan dan Perikanan Provinsi NTB, Tim Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Bappenas RI (2019), serta Tim Juri Perencanaan Pembangunan Daerah Bappenas RI tingkat Provinsi  NTB. Kesibukan lain adalah menjadi narasumber seminar daerah maupun menulis opini di media masa. Bukan hanya itu, Firman juga masih sempat menulis sebuah novel berjudul Sang Walikota.

Novel itu terinspirasi dari berbagai pengalamannya terlibat dalam sejumlah pengambilan kebjakan di pemerintahan. “Saya selalu fokus menyuarakan untuk membesarkan PEL (Pengembangan Ekonomi Lokal),“ katanya.

Firman yakin, jika ekonomi lokal maju, kehidupan sosial masyarakat akan stabil. “Dari berbagai pengalaman itu, saya menulis novel judulnya Sang Walikota. Saya ingin konsep-konsep pembangunan wilayah yang saya baca dan pahami mudah dipahami oleh pemangku kebijakan,“ ujarnya.

Firman menikah pada 2005, saat mengambil S2 di FEB Universitas Gajah Mada, Jogjakarta. Dia menyunting kawan sekelas saat masih duduk di bangku SMP dan SMA. Namanya Neneng Fujianti, AMD. Mereka dikaruniai tiga anak. Satu perempuan dua laki-laki. “Istri saya alumni Diploma 3 IPB (Institut Pertanian Bogor) dan lanjut S1 ke Jogja. Saya ajak nikah, dia mau… ya sudah… alhamdullilah jalan,“ ceritanya.

Firman mengaku selalu percaya niat menikah unttuk jaga diri Allah akan diberi kemudahan hidup. `Saya menikah belum kerja,“ tambahnya.

“Karena menikah saat masih kuliah (S2), jadi harus serius. Itu mungkin pentingnya menikah saat kuliah. Setelah kuliah saya mengabdikan diri sebagai staf pengajar di FEB Unram, almamater saya,“ tambahnya.

Ia mengaku bukanlah siswa yang menonjol saat SMA. Firman kecil banyak menghabiskan masa muda di kampungnya, Kota Baru Rabadompu, Kota Bima. Ia bermain dengan kawan-kawan SD (dahulu SD nomor 9 Raba) di kali atau bendungan.  “Teman-teman SD saya masih saya ingat dengan jelas karena kami selalu bersama-sama di kebun, main bola. Kadang kami mencari belut di sawah,“ ceritanya.

Dia punya sahabat yang sangat berjasa dalam perjalanan karir saat SMA yaitu Hairudin, Iraz Mubarak, dan Nuryadin. “Kami berpisah saat SMA. Kami saling membesarkan, seperti cerita Film Laskar pelangi he he he,“ katanya.

Pesan Firman kepada anak-anak yang masih duduk di bangku SMA, carilah sahabat yang dapat saling mensuport.

Ia bermimpi suatu saat nanti, Rabadompu, tanah kelahirannya itu menjadi sentra ekonomi di Bima. “Entah bagaimana caranya….karena saya hanya memiliki konsep, tidak memiliki uang untuk bangun kampung halaman,“ tambahnya.

Doktor Firman yang punya prinsip hidup jalani apa adanya. karena dunia sekadar mampir ini berpandangan, saat wabah seperti sekarang, UMKM harus dibantu produksinya. “Kreasikan juga pasarnya. Semua ada konsep yang sudah diimplementasikan. Harus ada intervensi dari pengambil kebijakan,“ tuturnya.

Atas capaiannya saat ini, Firman berterima kasih kepada guru-guru, yang dengan sabar mengajarkan mereka. “Walaupun sedikit nakal mereka tetap sabar. Tapi kami tetap patuh sama guru,“ kenangnya.

Siapa saja guru yang masih diingat? Ada pak Muhtar (guru Orkes), Ibu Fatma, Ibu Emi, Pak Irwan (almarhum). Saat SMP 1, guru-guru kami terbaik almarhum pak Husein Gani, pak Rusdi, Ibu Asfah, ibu Padmini, pak Farid, pak Yusak (walau dianggap keras), pak Dayat. Saat SMA, guru terbaik saya Pak Hasto, Pak Ramli, Pak Saiful, Pak Nandang, pak Joko, dan lain. Salam Khas! (KMA)

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

Ke Jeddah saat Menunggu Kembali ke Tanah Air ‘’USAI makan siang, kami menunggu bus yang akan mengantarkan ke Jeddah. Kami menunggu di pelataran hotel...

CATATAN KHAS KMA

Persiapan Pulang SEMALAM tidur agak larut, karena harus menyiapkan semua barang bawaan. Termasuk bagaimana mensiasati agar air Zamzam dalam botol-botol mineral supaya dapat “diselundupkan”...

CATATAN KHAS KMA

Tur ziarah ke Kota Thaif HARI ke delapan, di tanah suci, rombongan jamaah umroh kami mengikuti program tur ziarah ke kota Thaif. Berikut lanjutan...

CATATAN KHAS KMA

Umroh ke Dua SELEPAS holat subuh berjamaah di masjidil haram, sekitar pukul 10.00 pagi, kami menaiki bus yang mengatar kami ke lokasi Miqat di...

CATATAN KHAS KMA

Rutinitas Ibadah di Masjidil Haram RANGKAIAN ibadah umroh wajib telah berakhir. Itu cukup menguras tenaga, karena proses Tawaf dan Sa’i yang diakhiri Tahalul yang...