
Penulis, Khairudin M. ALI
CATATAN Khas saya, Khairudin M. Ali ingin menyoroti beberapa video viral yang beredar di media sosial, terkait dengan protokol penanganan Covid-19. Saya agak terusik juga.
Pertama seorang suami yang terlihat marah-marah karena petugas meminta atau bisa jadi memaksa istrinya duduk di kursi belakang. Kedua, seorang polisi Pamong Praja yang tidak sabar menghadapi bapak berpakaian gamis di Surabaya. Pemicunya kurang lebih sama, aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Ada ketentuan yang dalam logika umum dianggap tidak relevan, tetapi dimaknai kaku oleh aparat di lapangan.
Saya ambil dua saja yang sering menjadi masalah itu. Pertama muatan mobil pribadi yang tidak boleh lebih dari 50 persen dari kapasitas. Kedua harus mengenakan masker. Ini dimaksudkan untuk menjaga jarak dan menghindari penularan Covid-19.
Bagi masyarakat umum, dua aturan itu harusnya dipahami tidak secara tekstual. Artinya, tidak harus dilaksanakan tanpa kecuali. Perlu dibedakan antara kendaraan umum dengan kendaraan pribadi. Tetapi yang kerap terjadi di lapangan, justeru penerapan tegas terhadap kendaraan pribadi. Sementara kendaraan umum, tetap abai tanpa kontrol.
Di pesawat terbang misalnya. Penumpang tidak pernah dibatasi dengan 50 persen kapasitas seat (tempat duduk) yang tersedia. Duduk yang nyaris tanpa sekat itu, tentu saja menyebabkan social distancing (jaga jarak) tidak bisa diterapkan.
Bagi yang pernah naik pesawat, tentu mahfum soal ini, kecuali di kelas bisnis atau first class penerbangan internasional. Yang harga tiketnya puluhan juta bahkan ratusan juta itu. Pesawat Emirates misalnya, harga tiket first class ke Dubai dari Jakarta bisa mencapai Rp200 juta. Demikian pula dengan Garuda Indonesia Jakarta ke London bisa mencapai Rp177 juta. Fasilitasnya tentu memungkinkan untuk jaga jarak, karena memilki kamar sendiri.
Dalam menangani penumpang kendaraan pribadi, harusnya dilihat apakah penumpang itu satu keluarga atau bukan. Karena konsep jaga jarak, termasuk mengenakan masker, sebenarnya tidak ada gunannya bagi mereka, selama berada dalam mobil. Apalagi sudah jelas mereka adalah pasangan suami istri. Logika sederhananya, kok di mobil harus jaga jarak, sementara mereka di rumah tidur sebantal? Nah, dalam penerapan aturan, tidak boleh terlampau kaku sehingga menimbulkan ketegangan dengan masyarakat di lapangan.
Jangan pula buru-buru menuduh masyarakat memiliki kesadaran yang rendah, jika logika-logika sederhana ini tidak bisa diterjemahkan secara arif dan bijak oleh aparat. Aparat itu harus memiliki kelebihan dari warga biasa. Karena mereka dididik untuk itu. Tidak boleh sok kuasa juga. Ini penting supaya ada harmoni. Jangan masyarakat yang protes, dianggap mentang-mentang. Warga biasa itu tidak punya modal untuk mentang-mentang. Karena mereka tidak punya kuasa, tidak punya sarana, juga tidak dilatih.
Kata pakar hukum Abdul Fichar Hadjar, petugas yang over acting dalam menangani warga terkait PSBB, bisa melanggar hukum dan melanggar konstitusi. ‘’Pelanggaran konstitusi dalam hal ini hak atas kebebasan bepergian. Jika seseorang warga negara dianggap telah melanggar, diproseslah secara hukum seperti halnya pelanggaran lalulintas. Bukan dengan cara perlakuan pemaksaan fisik,’’ katanya seperti dikutip RMOL.ID.
Apakah semua panik? Mungkin juga. Saya sendiri pun pernah alami perlakuan berbeda dari dua petugas di tempat yang sama ketika melewati pos pemeriksaan Covid-19 di Perbatasan Kota Bima. Tetapi saya memilih tidak protes. Karena saya paham, dua petugas itu memiliki pengetahuan dan latar belakang yang berbeda. Satu dari Pemuda Ansor, satunya dari Dinas Kesehatan. Satunya relawan, satunya petugas yang digaji oleh negara.
Mari kita coba evaluasi kebijakan pemerintah terkait Covid-19 ini. Penuh kegaduhan dan nyaris tanpa kepastian. Soal mudik dan pulang kampung saja menjadi perdebatan yang menghabiskan energi. Ujungnya, kita tidak mendapatkan substansi apa-apa dari perdebatan itu. Begitu juga dengan penerapan PSBB. Ketika pemerintah menutup akses pelabuhan laut dan udara, kita sudah berpikir ini lock down dengan bahasa yang diubah. Artinya, tidak ada lagi pergerakan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya.
Jika pun pesawat masih terbang, kapal laut masih berlayar, itu semata untuk kepentingan kegiatan terkait dengan Covid-1. Bisa juga untuk logistik, pergerakan aparat TNI, serta polisi untuk kepentingan negara. Plus, menyelesaikan perjalanan warga yang sudah telanjur melakukan perjalanan, agar bisa sampai tujuan akhir. Aturannya memang demikian.
Ketika PSBB diterapkan, mulai 24 April 2020 semua penerbangan dan penyeberangan ditutup. Tentu kecuali yang dikecualikan. Maka tidak heran, pos pemeriksaan di Perbatasan Sumbawa-Dompu, sudah tidak ada lagi. Artinya, pos pemeriksaan ditutup karena tidak ada lagi pergerakan dari Lombok. Tetapi fakta berkata lain. Asal ber-KTP Pulau Sumbawa yang menjadi tujuan, warga masih boleh naik kapal penyeberangan. Padahal mereka dari Lombok, mudik ke Bima.
Ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi dalam menerjemahkan aturan yang ada. Saya pun sempat konsfirmasi dengan Sekretaris Dinas Perhubungan Provinsi NTB soal ini. Menurut Hj Suryani Ekawijaya, Ph.D, jelas tidak boleh lagi ada pergerakan penduduk.
Berjalan sepekan, Menteri Perhubungan Budi Karya yang baru sembuh dari Covid-19, langsung membuka lagi penerbangan, pelabuhan, juga kendaraan di darat. Bus dan pesawat boleh operasi lagi, tetapi mudik tetap dilarang. Logika umum ini tentu semakin kacau. Kalau kendaraan boleh jalan, tetapi orang tidak boleh bergerak, maksudnya bagaimana. Bukankah pesawat dan bus itu penumpangnya pasti manusia? Bukan kodok kan? Manusia yang akan kemana yang boleh? Aneh kan?
Ini belum lagi soal kebijakan shalat Ied. Barus saja Kota Bima merevisi Perwali yang membolehkan shalat Ied di lapangan, tiba-tiba saja muncul larangan dari Gubernur NTB.
Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Baik di daerah maupun di pusat. Ini semua adalah bentuk tidak sinkronnya kebijakan pengambil kebijakan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Kita seperti bingung. Tidak padu dalam bersikap dan bertindak. Lha masyarakat dengan kapasitas apa adanya, dipaksa untuk memahami itu semua, adalah hal yang tidak mudah.
Maka dalam kondisi seperti sekarang, yang terbaik adalah semua pemangku kebijakan adalah lebih sabar dan lebih profesional. Tidak mentang-mentang, tidak pula cepat emosi karena merasa sedang berwenang. Santai saja. Bangun komunikasi yang baik dengan masyarakat. Gunakan bahasa yang paling mudah dipahami dan hindari penyerengan verbal apalagi penyerangan fisik.
Munculnya tanda pagar (tagar) #terserahsaja yang ramai saat ini, merupakan bentuk protes terhadap banyak persoalan yang muncul itu. Tagar ini membuat kita miris. Karena akhirnya seperti semua elemen bangsa menyerah dan membiarkan semuanya berjalan tanpa ada upaya untuk memperbaiki keadaan. Istilah Herd Imunity sekarang muncul dan mulai ramai dibicarakan. Keadaan di mana wabah ini akan dibiarkan tanpa intervensi. Hanya yang kebal saja yang bertahan, selebihnya mati. Apakah seperti ini yang akan terjadi? Bagaimana pendapat Anda? (KMA)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
