Banyak pihak mungkin terkejut dengan dinamika politik Pilkada Kabupaten Bima di 2020 ini. Munculnya sosok H Arifin, menyeruak diantara figur yang lebih dulu muncul.
Dalam politik, munculnya kejutan adalah biasa. Apalagi, sosok H Arifin mendaftar di DPD 1 Partai Demokrat Provinsi NTB, tidak melalui DPD II Kabupaten Bima. Langkah politiknya sejak awal sudah berbeda dengan yang lain.
Tiba-tiba DPP Partai Demokrat mengeluarkan surat tugas untuk H Arifin dalam pilkada Kabupaten Bima. Bahkan ini di luar pengetahuan Struktur DPD 1 Partai Demokrat Provinsi NTB juga DPD II Partai Demokrat Kabupaten Bima.
Fenomenal bagi jagat publik, jitu dan lihai bagi para politisi, strategis serta terukur bagi orang pergerakan. Masalahnya, H Arifin bukan “Politisi”, bukan “Orang Pergerakan”, bukan juga Orang fenomenal dalam rekam jejak dan DNA-nya. Ia hanya PNS yang berkarir cemerlang.
Maka dengan mudah disimpulkan, bahwa ada orang lain yang kredibel yang menggaransi langsung ke AHY. Masalahnya, proses itu mustahil terbentuk tiba-tiba. Berarti ada lapisan lain yang mementori H. Arifin secara langsung.
Dari langkah pertama, secara politik kedudukan H Arifin, IDP, Dahlan, Ady Mahyudi, “Persis Setara”! Kenapa? IDP identik dengan Golkar, Dahlan identik dengan Gerindra, Herman Edison identik dengan PKS, Ady Mahyudi identik dengan PAN, maka, H Arifin identik dengan Demokrat. Rumus ini “tidak bisa lagi diacak-acak” sehebat apapun rumus baru yang dimunculkan.
Apa yang bisa terjadi diantara mereka? Satu sama lain memilih berkolaborasi karena kesamaan ide, perasaan, cita-cita serta tujuan. Atau sebaliknya, satu sama lain saling konfrontasi.
Selesaikah disitu? Tidak, waktu cukup panjang yang harus ditempuh untuk tiba pada final pendaftaran di KPU Kabupaten Bima.
Lantas siapa yang diuntungkan dibabak awal permainan ini? Jika dilihat dari ritme dan kecerdasan gerak maka babak awal H Arifin lebih diuntungkan.
Ia batal sekalipun jadi calon, telah mengantongi TRAS DPP Partai Demokrat sehingga ia akan menentukan kemana arah Partai Demokrat diujung final penentuan koalisi parpol.
Apalah H Arifin akan diberikan hak istimewa yang sama oleh partai lain sebagaiman ia di Demokrat? Padahal tak satupun partai politik tingkat Kabupaten Bima dimana H Arifin mendaftar.
Inilah “ujian” yang tidak ringan bagi H Arifin. Bila ia berhasil maka ia adalah sosok yang “elegan” melayari isu-isu politik.
Lalu bagaimana loncatan aksi figur lain? Hambatan mereka disoal geo wilayah yang jarak tempuhnya ratusan ribu kilo (Bima-Jakarta) dan dihambat dengan situasi Covid 19.
Sementara lalu lintas H Arifin di Jakarta tidak membutuhkan persyaratan administrasi maupun protokol covid yang ketat untuk melakukan diplomasi politik di luar Golkar, Gerindra, PKS, PAN.
Partai politik di luar itu, para figur memiliki peluang yang sama tetapi, H Arifin unggul bebas prosedur Covid di Jakarta dan unggul di pasar opini dan isu pada tingkat kabupaten.
Masalahnya, keabsahan surat tugas maupun rekomendasi tidak bisa “scen tangan tangan”, tidak bisa juga tranfer money buat partai, tidak bisa juga mengandalkan statmen politik pengambil keputusan di DPP via teleconfren.
Karena dokumen dukungan partai harus kop asli, tangan tangan asli, stempel asli, untuk menjamin keaslian dokumen administrasi pendaftaran di KPU Kabupaten Bima.
Covid 19 juga suka bangat iseng padahal ini lagi musim Pilkada. (*)
Penulis adalah Dosen YPUP Makassar dan Penceramah NDP HMI seluruh Indonesia.
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.