Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Pers: Antara Peran Pencitraan, Kesejahteraan dan Tuntutan Profesionalisme

Oleh : Suherman

Kamis malam (8/6), penulis diundang menjadi moderator di acara resesnya Ir. Muttakun, anggota DPRD Dompu Dapil 1 dari fraksi Nasdem. Reses ini terkesan unik dan menarik, selain konstituennya dari kalangan pers. Juga, karena tempat acaranya di pingir jalan depan kantor Bupati Dompu dan acara dikemas secara santai dan bersahabat.

Terlepas dari dua hal diatas, kepada pak Muttakun di awal acara, penulis mengingatkan tiga hal terkait dengan peran pers. Pertama, peran pers sebagai kontrol sosial. Kedua, peran pers sebagai jembatan informasi. Ketiga, peran pers untuk pencitraan.

Khusus peran ketiga, tidak bisa dimunafikan bahwa anggota DPRD atau jabatan kepala daerah dan jabatan publik yang dipilih lainnya adalah jabatan politik yang membutuhkan citra diri agar dikenal dan mendapat kepercayaan publik. Sederhananya yang namanya politisi itu identik dengan popularitas dan elektabilitas agar di setiap kontestasi baik pemilu maupun pilkada bisa dipilih.

Banyak tokoh-tokoh politik/politisi di negeri ini dikenal dan besar karena pers. Salah satunya adalah Presiden Joko Widodo. Pers-lah yang membuatnya besar seperti saat ini. Pers-lah yang membuat dan mencitrakan dia sebagai sosok merakyat, sederhana, ndeso dan sebagainya. Rasanya sulit bagi Jokowi yang hanya seorang Walikota menjadi Presiden tanpa peran pers.

Disisi lain, ditengah perannya yang strategis bahkan dianggap sebagai pilar keempat demokrasi. Pers mengalami persoalannya klasik yaitu soal kesejahteraan. Persoalan itu muncul dari saran, masukan dan harapan yang disampaikan pers malam itu. Apalagi bagi pers yang baru muncul, belum mapan dan tidak memiliki sumber pendanaan yang mandiri.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Memang dilematis, disatu sisi pers harus independen dalam pemberitaan namun disisi lain dihadapkan pada realitas kekuasaan yang anti kritik. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka sebagian pers yang kehilangan idealismenya harus tunduk dibawah “ketiak” kekuasaan atau dalam bahasa kasarnya “menjilat” kekuasaan dengan membuat karya-karya jurnalistik pemberitaan yang cenderung “memuja dan memuji” kekuasaan.

Pers yang independen adalah pers yang bebas menjalankan perannya secara seimbang terhadap kekuasaan. Kalau ada prestasi kekuasaan, maka selayaknya untuk dipuji dan di bollow up. Pun sebaliknya jikalau ada hal-jal yang menyimpang yang dilakukan oleh kekuasaan. Maka, patut untuk di kritisi. Terlepas pers sudah membuat akad kerjasama atau kemitraan dengan kekuasaan.

Menurut penulis, ada dua hal yang bisa dilakukan untuk menjamin kesejahteraan pers. Pertama, dengan “intervensi” kekuasaan dalam arti memberdayaan pers melalui kerjasama dan kemitraan dalam pemberitaan dan penyebarluasan informasi publik baik di kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun, kemitraan dan kerjasama yang dibangun tidak harus saling mengintervensi dan saling menyandera.

Kemitraan dan kerjasama pers dengan kekuasaan harus dibangun melalui mekanisme dan sistem. Sehingga menghindari kerjasama dan kemitraan atas dasar kepentingan personal, kedekatan emosional antara pers dengan penguasa dan sebagainya.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Kedua, membuat badan usaha sendiri. Dengan adanya badan usaha sendiri, pers juga tidak akan terlalu “bergantung” pada intervensi kekuasaan. Setidaknya ia bisa membiayai operasional dan membayar honor wartawannya secara mandiri dan berkala.

Selain soal kesejahteraan, pers juga dituntut profesional dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Untuk itu, pers juga harus berbenah. Membenahi produk jurnalistiknya dan meningkatkan kualitas wartawannya.

Sebagai seorang yang aktif membaca pemberitaan dan karya jurnalistik, penulis kadang miris manakala melihat dan membaca produk-produk jurnalistik, terutama penulisan berita yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan jurnalistik dan kaidah ketata-bahasaan bahkan kaidah-kaidah estetika penulisan. Sehingga penulisan karya jurnalistik tak ada bedanya dengan tulisan-tulisan nitizen pada umumnya di sosial media.

Tuntutan profesionalisme dimulai dari proses perekrutan seorang wartawan oleh perusahaan pers dilakukan secara selektif, melalui proses yang terdidik dan terlatih. Bukan hanya sekedar bisa menulis dan dibekali dengan kartu identitas wartawan.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Kedepan pers, mau tidak mau, setuju atau tidak setuju harus terus berbenah serta terus meningkatkan kualitasnya seiring perkembangan dan kepentingan zaman akan informasi. Kalau tidak, maka pers akan tertinggal dan ditinggalkan pembaca bahkan oleh kekuasaan.

Orang atau kekuasaan akan lebih banyak membaca status facebook, instagram dan sosial media lainnya daripada karya pers itu sendiri. Untuk itu tidak ada pilihan lain, selain terus berbenah dan meningkatkan kualitas diri!

Penulis adalah pemerhati sosial politik dan pembaca aktif karya jurnalistik. (*)

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Hukum & Kriminal

Kota Bima, Bimakini.com.- Jumat 16 Agustus 2013 adalah 17 Tahun kemarian wartawan Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin atau  Udin, yang dibunuh karena pemberitaan. Aksi...

Peristiwa

Bima, Bimakini.com.-    Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima menyambut positif dan mengapresiasi pelaksanaan uji kompetensi wartawan (UKW) yang dilaksanakan di Mataram, pekan lalu. Pemerintah berpandangan kompetensi...