Dompu, Bimakini. – Salah satu persoalan yang sering muncul pada setiap penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terutama di Kabupaten Dompu adalah soal netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN).
Meski memiliki hak pilih, namun seorang ASN dilarang berpolitik praktis dengan mendukung, mengkampanyekan dan atau menjadi tim salah satu pasangan calon dalam Pilkada.
“ASN yang terlibat politik praktis adalah penjahat demokrasi yang ingin membuat kontestasi Pilkada tidak berjalan secara jujur dan adil. Maka setiap kejahatan harus dintindak secara moral dan hukum,” tegas Suherman yang merupakan pemerhati sosial politik ini, Senin (22/6).
Katanya, netralitas ASN sudah sangat jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 2015 tentang ASN, Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS dan PP 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS.
Selain itu, kata mantan anggota KPU Kabupaten Dompu ini, netralitas ASN juga diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. ASN dilarang menjadi tim kampanye, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye, bahkan bagi pejabat ASN dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon.
Dikatakannya, dalam Pilkada, ASN mengalami posisi dilematis. Apalagi kalau ada petahana, keluarga petahana atau keluarga ASN yang mencalonkan diri sebagai calon Kepala Daerah atau calon Wakil Kepala Daerah.
Posisi serba salah ini membuat integritas ASN mudah “goyah”. Tidak mendukung dianggap tidak loyal dan bahkan akan mendapat intimidasi dan ancaman kalau calon kepala daerahnya petahana atau keluarga petahana. Dianggap bukan bagian dari keluarga kalau calonnya adalah keluarga. Bahkan ASN dalam posisi “diam” sekalipun tetap dianggap mendukung salah satu calon.
Hal itu diperparah lagi dengan situasi dimana promosi dan penempatan posisi jabatan ASN yang dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang dalam hal ini Kepala Daerah tidak melalui meryt system. ASN tidak ditempatkan sesuai dengan profesionalitas, integritas dan loyalitas kinerja yang dimilikinya, tidak ditempatkan sesuai dengan golongan, pangkat, kualifikasi pendidikan dan keahliannya.
Namun lebih pada pertimbangan politik dukungan, hubungan kekerabatan dan keluarga. Sehingga konsekwensi logisnya, bagi ASN yang lemah imannya, tidak memiliki integritas akan terlibat aktif dukung mendukung pasangan calon tertentu dalam Pilkada. Dengan harapan ketika pasangan calon yang didukungnya terpilih, maka ASN tersebut mendapatkan “upah” jabatan atau “upah” materi dalam bentuk proyek dan sebagainya.
Tetapi menurutnya, seberapapun dilematisnya, ia berharap agar ASN tetap menjaga marwah dan kehormatan dirinya untuk tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis.
“Silahkan kalau mendukung salah satu kontestan Pilkada, tetapi itu didalam bilik suara,” terangnya.
Dia berharap adanya peran seluruh elemen masyarakat untuk tetap memantau dan melaporkan kepada Bawaslu apabila ada aktivitas ASN yang berpolitik praktis di lapangan. Kemudian Bawaslu menindaklanjuti dengan segera laporan masyarakat dan temuan soal pelanggaran netralitas ASN ini.
“Kalau ada ASN yang terbukti terlibat, maka ditindak tegas sesuai dengan ketentuan yang ada,” tegasnya berulang-ulang. (AZW)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.