Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Problemantika dan Revolusi Pendidikan

Oleh: Asikin, S.Pi

Sebuah ungkapan yang sangat menggelora dan memantik mimpi-mimpi besar untuk sebuah perubahan besar pada dunia pendidikan. Apa kata-kata  Nakhoda Pendidikan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim diakhir sambutannya pada peringatan Hari Guru Nasional (HGN) Tahun 2019?, beliau menyatakan, “Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada anda. Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan. Satu hal yang sangat pasti saya akan bejuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia”.

Boleh dikata pernyataan Mendikbud adalah sebuah narasi yang sangat edukatif dan dinamis. Tidak salah kalau penulis mengatakan “sangat bombastis” sebagai cemeti untuk merubah paradigma pendidikan yang masih dianggap stagnan.

Sejak didengungkan dan dikeluarkannya kebijakan “merdeka belajar”, dunia pendidikan tersentak. Bagaimana tidak? Salah satu dari elemen konsep “merdeka belajar” ditiadakannya Ujian Nasional (UN). Hal-hal yang sangat subtansial dari proses belajar mengajar adalah evaluasi akhir dengan melaksanakan Ujian Nasional, karena Ujian Nasional (UN) adalah muara di ujung  sebuah pencapaian  finis yang sangat mendebarkan bagi siswa – siswi dan sekolah  diakhir masa tahun pelajaran. Ujian Nasional (UN) adalah sebuah pakem yang sudah tersistematis dan menjadi program akhir dari sebuah proses pembelajaran. Secara revolusioner, Mendikbud menggagas konsep “merdeka belajar”, seumpama, kalau dianalogikan, selama ini dunia pendidikan  masih mengkonsumsi obat dengan dosis generik dan dengan “merdeka belajar” ini berubah mengkonsumsi obat yang dosisnya di luar generik.  Dengan begitu, pantas saja, banyak menuai “pro dan kontra”, atas kebijakan dihapusnya Ujian Nasional (UN). Pada kenyataannya  yang “kontra” menganggap pelaksanaan Ujian Nasional (UN) adalah sebuah pencapaian akhir yang terukur dan menentukan apakah siswa-siswi itu memenuhi standar kompetensi atau tidak, karena standar yang menjadi anasir penting sebagai evaluasi akhir dari seluruh rangkaian proses pembelajaran. Pola pemikiran vertikal yang linier sepertinya telah mencakar konten pendidikan. Kini, tiba-tiba terserabut oleh konsep “merdeka belajar” dari seorang Nadiem Anwar Makarim, yang agresif,  pembaharu dan fenomenal dengan gebrakan kebijakannya yang yang dianggap tidak lazim.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Akan berbeda halnya dengan yang “pro”, mencoba keluar dari pakem yang mengakar dengan konsep pola pemikiran lateral seperti dalam ungkapan  “Thinking out of the box”. Tentu dengan pola seperti ini tidak seperti sim sala bim atau  tiba saat  tiba akal, namun penuh dengan pertimbangan yang komprehensif untuk mendukung konsep “merdeka belajar”.

Penerapan konsep “merdeka belajar” memiliki dasar hukum yang kuat, seperti Pembukaan UUD 1945 (alinea IV, Pasal 31, pada ayat 3), UU Sisdiknas Tahun 2003, dan Nawacita kelima untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Dan piranti-piranti pendidikan yang dipersiapkan sehingga konsep “merdeka belajar” bisa diadopsi dan diterapkan pada dunia pendidikan.

Entri point dari  “merdeka belajar” selanjutnya yaitu USBN diganti dengan asesmen, RPP dipersingkat, dan Zonasi PPDB lebih fleksibel.  Penulis tidak ingin membahas secara detail konsep “merdeka belajar” di atas, karena pemerintah tentu dan pasti akan mengeluarkan formula: implementasai dari konsep “Merdeka belajar”. Namun pada gambarannya bahwa konsep “merdeka belajar” menurut Mendikbud adalah esensi kemerdekaan berpikir, bagaimana menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu.

Kalau dibreak down dari sebuah pernyataan Mendikbud di atas, sebuah kebebasan yang sangat pro aktif dan memberikan improvisasi bagi perangkat di bawahnya terutama “guru” sebagai penggerak, dan “siswa” sebagai obyek yang dinamis. Namun pertayaannya : apakah konsep “merdeka belajar” akan secara simultan mampu terjawantah secara merata ke seluruh sekolah yang ada di indoesia? Karena kita tahu bahwa pendidikan di indonesia masih ada garis kesenjangan yang cukup menganga antara pendidikan yang ada kota dengan pendidikan yang ada di pedesaan (terutama yang jauh dari akses informasi, sarana prasarana yang kurang, penempatan guru yang tidak merata dan elemen-elemen pendukung yang lain). inilah yang menjadi permasalahan dunia pendidikan kita saat ini masih jauh dari harapan.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Permasalahan pertama : “akses informasi”, karena ini adalah era digitalisasi, semua informasi yang terkait dengan pendidikan ataupun informasi-informasi yang lain, sudah melalui pengiriman melalui : Email, WhatsApp (WA) dan media yang lain.              Masih banyak sekolah-sekolah di pelosok-pelosok yang kesulitan, karena kendalanya adalah tidak adanya jaringan yang merata. Inilah yang membuat sekolah-sekolah terutama yang berada jauh dari perkotaan sangat sulit untuk mengakses informasi, bahkan dalam proses belajar mengajarpun, siswa didalam mengakes tugas-tugas sangat kesulitan. Salah satu contoh kesulitan pada masa pandemik Covid 19 ini, karena proses belajar mengajar dengan menggunakan metode daring, siswa-siswa sangat kesulitan untuk melaporkan tugas-tugas yang diberikan, karena tidak adanya sarana pendukung.  Menurut hemat penulis, pemerintah harus melakukan sebuah terobosan, bagaimana seluruh sekolah yang ada di wilayah indonesia dapat dengan mudah mengakses informasi. Salah satunya adalah tersedianya “jaringan” telekomunikasi. Dengan cara apa? Pemerintah bekerjasama dengan PT. Telekomunikasi agar membangun sarana komunikasi, sehingga dengan demikian sekolah dapat mengases informasi sebagai media publikasi maupun media pembelajaran.

Permasalahan kedua : “penempatan guru yang tidak merata”, tidak ada yang salah, banyak yang mengatakan bahwa,” penempatan guru jauh dari proposional, bisa dibayangkan guru-guru yang ada diperkotaan sudah jauh dari analisis kebutuhan guru, bahkan dalam satu sekolah untuk mata pelajaran yang sama, bisa dua, tiga atau empat guru yang mengajar, dan masih banyak mata pelajaran-mata pelajaran yang lain memilki kasus yang sama. Belum lagi, kalau kita berbicara guru-guru yang ada di SMK yang masih banyak kekosongan-kekosongan untuk mata pelajaran yang produktif”.                   Ini semua akan menjadi problemantika yang masih dirasakan oleh seluruh sekolah, terutama sekolah yang ada di pelosok. Solusinya tidak ada yang lain yakni penempatan guru harus berdasarkan analisis kebutuhan guru dan guru yang banyak mengajar mata pelajaran yang sama, segera dipindahkan ke sekolah yang tidak ada gurunya.

Permasalahan ketiga : “Sarana Prasarana Pendukung”, akan sangat mustahil, kita berbicara, bagaimana peningkatan mutu pendidikan, karena mutu pendidikan akan berbanding lurus dengan tersedianya sarana prasarana pendidikan. Salah satu unsur yang sangat mendukung proses belajar mengajar yaitu tersedianya sarana prasarana sesuai dengan kebutuhan sekolah, terutama sarana praktek yang relevan dengan bidang keahlian masing-masing di sekolah baik SMA, SMK atau Sederajad.

Permasalahan yang keempat : “minat baca dan tulis siswa”’, salah satu piranti untuk mempersiapkan dan menciptakan SDM yang handal yaitu menghidupkan perpustakaan. Namun apa yang terjadi sekarang, perpustakaan yang penulis amati banyak yang “mati suri”. Perpustakaan sebagai salah satu sarana  yang dianggap berperan meningkatkan minat membaca dan menulis  untuk merubah pola sikap siswa, kini hanya sebagai pelengkap saja.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Untuk meningkatkan motivasi membaca dan menulis bagi siswa adalah pengelolaan Perpustakaan yang profesional. Aktifnya perpustakaan sangat diharapkan, sehingga masyarakat terutama pelajar dengan sendirinya akan termotifasi untuk berkunjung ke perpustakaan. Kalau minat membaca dan menulis ini terus di gelorakan, penulis yakin akan melahirkan generasi-generasi yang memilki kompetensi ilmu yang tangguh, dengan sendirinya kemerdekaan berpikir akan melahirkan kreatifitas dan inovasi. Selain dukungan literasi perpustakaan, pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayan bisa memayungi setiap kegiatan terutama kegiatan yang berkaitan dengan membangkitkan semangat membaca dan menulis bagi siswa-siswi misalnya dengan mengadakan lomba-lomba menulis seperti : cerpen, puisi, artikel, essay dll dan  seminar-seminar literasi,  yang berkaitan dengan motivasi membaca dan menulis siswa-siswa. Selain dari itu pemerintahpun memberikan perhatian khusus terhadap perpustakan, adanya pengadaan buku-buku yang bermutu. Dengan begitu, akan memberikan stimulus bagi siswa agar membaca dan menulis menjadi terasah, pembiasaan dan menjadi budaya yang melekat sepanjang masa.

Menanamkan kebiasaan membaca, akan berimplikasi kepada karakter seperti yang di tulis oleh, Stephen R Covey dalam bukunya Penciptaan Karakter “Tanamlah Ide, petiklah perbuatan, tanamlah perbuatan petiklah kebiasaan, tanamlah kebiasaan petiklah karakter, tanamlah karakter, petiklah nasib”

Permasalahan-permasalahan di atas adalah sebagian kecil dari upaya meningkatkan mutu pendidikan dan kemerdekaan belajar seperti yang diharapkan oleh pemerintah. Namun langkah Mendikbud, merevolusi dunia pendidikan dengan konsep “Merdeka belajar” patut kita apresiasi sebagai salah satu strategi untuk mendongkak akselerasi pendidikan agar bisa sejajar dengan bangsa lain. Namun apa iya? Segala kompleksitas permasalahan wilayah pendidikan dapat diselesaikan hanya dengan membalikan telapak tengan? Tentu tidak, proses panjang untuk merubah peradaban yang mengakar, butuh waktu yang panjang. Seiring sejalan dengan konsep “merdeka belajar” penulis yakin seluruh pemangku, pemerhati, pendidik, orang tua lebih-lebih siswa menyambut konsep “merdeka belajar”, dengan gairah yang berbeda, sehingga harapannya kreatifitas, inovasi dari hasil konsep “merdeka belajar” memenuhi kebutuhan era 4.0.

Mengutip sebuah buku yang penulis pernah baca “ Sapiens, Riwayat Singkat Umat Manusia” yang tulis oleh seorang pengajar sejarah dari Oxford  University, Dr Yuval Noah Harary, Ph.D.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

“Keanekaragaman luarbiasa realitas terkhayalkan yang diciptakan manusia dan keanekaragaman pola prilaku yang dihasilkan adalah komponen-komponen utama dari apa yang disebut budaya. Begitu muncul budaya tidak pernah berhenti, berubah dan berkembang dan perubahan-perubahan yang tak terhentikan inilah yang disebut sejarah”.

Semoga dunia pendidikan indonesia, dengan konsep yang revolusioner ini yakni “merdeka belajar” akan tertulis dalam lembaran-lembaran budaya dan sejarah pendidikan Indonesia. (*)

*Pengajar Produktif NKPI pada SMK Negeri 4 Kota Bima NTB

 

Iklan. Geser untuk terus membaca.

*Pengajar Produktif NKPI pada SMK Negeri 4 Kota Bima NTB

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Pendidikan

Kota Bima, Bimakini.- Banyaknya guru, siswa dan orang tua murid  yang mengalami gelaja batuk, pilek, demam, membuat Kementerian Agama Kota Bima tidak menerapkan belajar...

Peristiwa

Oleh : Asikin Rasila Senyalang mata elang menyasar mangsanya di permukaan laut, Sukarman menangkap sepotong pertanyaan pada selembar koran bekas yang dipungutnya   di areal...

Pendidikan

Bima, Bimakini.- Status Covid19 di Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, NTB masuk zona merah. Akibat perubahan status Covid19 tersebut, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) siswa Sekolah Dasar...

Pendidikan

Jakarta, Bimakini.- Sebagai upaya untuk memitigasi dampak pandemi Covid-19 bagi pendidikan, pemerintah pusat bersama pemerintah daerah serta berbagai pemangku kepentingan pendidikan terus berupaya meningkatkan...

Pendidikan

Bima, Bimakini.- Pemberlakukan sekolah Dalam Jaringan (Daring) untuk Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) di Kota Bima, memberi  dampak besar bagi sebagian siswa....