Kota Bima, Bimakini.- Kapolres Bima Kota AKBP Haryo Tejo Wicaksono S Ik kepada media ini Ahad (9/5) mengatakan, Kejaksaan Negeri Bima telah meneliti berkas tersangka Feri Sofiyan sejak 29 November 2020 hingga 26 Maret 2021.
“Padahal sejak dari awal kami anggap berkasnya sudah lengkap. Tanpa dirubah sedikit pun,” tegas Haryo.
Seperti diberitakan media ini sebelumnya, berkas tersangka Wawali Kota Bima sempat menjadi bola pimpong lantaran beberapa kali berkas tersebut naik turun, karena Kejaksaan menganggap berkas belum dilengkapi oleh pihak penyidik Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) Kepolisian Polres Bima Kota.
Kasus pembangunan dermaga atau jetty milik pribadi Wakil Wali Kota Bima, diduga dibangun dia atas tanah milik negara. Selain itu juga diketahui tak memiliki izin serta diduga kuat terdapat banyak pelanggaran lainnya.
Dalam pokok perkara yang telah dilaporkan pelapor pada Juni 2020 lalu, di area lokasi pantai tersebut telah terjadi penimbunan sekitar 3 meter dari bibir pantai, serta terjadi pula pembabatan hutan magrove yang tumbuh disekitar pantai bonto.
Dari hasil penyelidikan dan penyidikan pihak kepolisian, akibat pembangunan dermaga itu terlapor (Wakil Wali Kota Bima) tidak menghiraukan dampak yang terjadi sehingga menyebabkan kondisi kerusakan pada terumbu karang dan lamon sebagai ekosistem laut yang hidup diperairan disekitar dermaga.
Masalah inilah yang kemudian menjadi sorotan publik karena orang nomor dua di Kota Bima itu dinilai telah melabrak aturan, dengan membangun dermaga tepat di depan villa pribadinya. Hingga akhirnya kasus ini pun dilaporkan lebih dari satu pelapor di Mapolres Bima Kota dan dilaporkan pula di Polda NTB.
Setelah dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan, penyidik Tipidter pun menetapkan terlapor Feri Sofiyan sebagai tersangka pada 9 November 2020. Hanya saja pada 6 Mei 2021 dapat diterima oleh pihak Kejaksaan Negeri Bima setelah beberapa kali berkas tersangka naik turun.
Wawali diduga melanggar pasal 109 Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibuslaw), atas perubahan pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal tersebut lah yang menjelaskan pidana terhadap perorangan atau badan usaha yang melakukan kegiatan tanpa izin lingkungan. Pidananya penjara paling singkat satu tahun dan maksimal tiga tahun. Serta pidana denda maksimal Rp 3 miliar. KR
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.