Connect with us

Ketik yang Anda cari

CATATAN KHAS KMA

(Maaf) itu Pork!

Penulis bersama suku Indian di National Hispanic Cultural Centre.

‘’AMBIL menu yang mana?’’ Itu ucapan Irawan Nugroho, interpreter yang mendampingi saya saat di Amerika Serikat. Saya masih ingat betul ucapan itu. Walau itu sudah lewat lama, 14 tahun.

Kejadiannya begini. Ketika itu, saya dengan Irawan baru selesai berkunjung ke sebuah pusat media penyiaran di kota Little Rock, Arkansas. Waktunya makan siang. Karena agak lapar, saya terburu-buru. Saya tidak menunggu Irawan yang sedang memarkir mobil. Dalam setiap kunjungan, kami memang dapat fasilitas mobil. Tinggal diambil saat tiba di bandara. Ya termasuk di Arkansas itu.

Saya lebih dahulu masuk di sebuah rumah makan Tiongkok di kota itu. Alasannya, pasti karena saya mencari nasi. Biasanya, hanya rumah makan Asia yang ada nasi. Mirip warung di Indonesia, kita pilih-pilih makanan yang mau kita pesan. Makanan itu dipajang di etalase kaca. Salah satu yang saya pilih, seperti daging ayam yang dibumbu.  Usai memesan, makanan sudah tersaji di meja saya. Tentu plus steam rice. Tanpa nasi, rasanya belum makan.

Tanpa menunggu Irawan, saya sudah mulai makan. Rasa daging ‘’ayam’’ yang saya pesan itu, empuk. Saya makan saja, mungkin karena cara mengolah atau cara masaknya yang hebat. Mungkin saja pakai teknologi Amerika. Begitu pikir saya. Rumah makan itu, tidak tidak perlu juga menulis nama makanan yang disajikan. Tidak ada ketentuan seperti itu. Di Indonesia juga tidak wajib kan?

Sepotong pertama sudah. Potongan kedua, Irawan masuk bergabung di meja makan. Dengan ekspresi kaget dia tanya. Ya pertanyaan awal di atas. ‘’Jangan makan, pork (maaf, babi),’’ katanya pada saya. Saya kaget. Saya berhenti makan. Atau yang benar, saya tidak jadi makan. Seketika, lapar saya hilang.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Irawan saat itu hanya pesan tofu dengan steam rice. Makanan saya dibungkus. Saya minta dibawa pulang saja. ‘’Saya makan di hotel saja,’’ kata saya pada Irawan. Itu pengalaman pertama saya mengalami salah makan. Memesan dan makan makanan yang tidak halal bagi saya sebagai muslim.

Kedua, ketika makan di kota Albuquerque, New Mexico. Saat berkunjung ke National Hispanic Cultural Centre, ada semacam food court di situ. Aneka atraksi tari dan budaya Indian Pueblo dipertontonkan juga. Sebagai pengunjung, kami bebas berinteraksi dengan mereka. Bertanya apa saja. Ada pemandu yang punya tugas sebagai juru bicara. Saya mendapat penjelasan tentang banyak hal mengenai budaya Indian.

Saat berkunjung ke situ juga,  saya membeli ini, terkenal sekali. Anda malah lebih tahu dari saya. Apalagi yang suka nonton Drama Korea. Itu muncul di K-Drama “The Heirs”. Pemerannya juga pasti sudah hafal, Lee Min Hoo dan Park Shin Hye. Dream catcher  namanya. Sebuah simbol yang menyatukan dan mempertemukan keduanya dalam drama itu.

Bentuknya berupa gantungan berjuntai yang dibuat dari jaring atau serat alami pohon willow yang ditenun dan dihiasi dengan aksesoris seperti bulu serta manik-manik. Bagi suku Indian, dream catcher memiliki makna yang lebih luas dari sekedar legenda tentang mimpi. Mereka menganggapnya sebagai simbol yang menggambarkan energi positif dan membantu menetralkan energi negatif.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Dream cather.

Sejak saya bawa pulang ke Indonesia, barang itu saya gantung begitu saja. Saya tidak mengerti maknanya. Saya lupa tanya saat di situ. Nah, setelah muncul di The Heirs itu, saya cari lagi dan kini saya gantung di spion penumpang mobil saya. Sebagi aksesoris saja. Tentu bukan penangkal mimpi buruk.

Saat makan, saya juga asal pesan saja. Saya tidak menunggu Ibu Carmen dan Irawan yang bersama saya. Selain nasi, ternyata ada juga di situ, saya juga pesan makanan seperti ini; isinya irisan bawang, cabe, tomat. Mirip sekali dengan sambal kita di Bima. Cuma rasanya hambar, tanpa garam. Satunya, seperti ‘’sayur asem’’. Ada biji-bijian, seperti blinjo utuh, ada daun, juga berkuah Nah, baru saja saya cicip makanan yang ini, Carmen buru-buru mencegah saya. ‘’Pork,’’ katanya kepada saya. Saya tidak kaget. Hanya tersenyum.

Karena lapar sekali setelah menonton banyak pertunjukan, kali ini saya tidak membatalkan makan. Saya minta Carmen yang memesan. Karena lapar, ya lahap sekali saya makan. Saya tidak terlalu terganggu dengan ‘’sayur asem’’ yang saya pesan sebelumnya.

Penulis makan bersama Ibu Carmen dan Irawan Nugroho.

Saat mengisi aplikasi sebelum ke Amerika, saya memang diminta untuk mencantumkan soal makanan ini. Saya isi dengan makanan halal saja. Artinya, selama di sana, harus disediakan makanan halal untuk saya. Tetapi kondisi lapangan, tidak bisa juga sepenuhnya dijamin. Karena aplikasi itulah Carmen memahami soal itu. Dia sudah bersikap profesional dan bertanggungjawab.

Kadang kami masuk rumah makan, yang bayar sekali, makannya bisa berkali-kali. Semampu kita, makan aka saja. Semua tersedia. Selain makanan pokok, buah, kue, penyuka es krim, bisa juga puas-puasin. Asal perut mampu menampung. Kami hanya bayar 25 Dolar sekali masuk. Prasmanan, tinggal pilih sesuai selera. Di sana disebut restoran buffet. Di Indonesia juga ada. Di Bima juga. Tetapi yang beda mungkin menu dan jenis makanan yang tersedia.

Kali lain, saya juga pernah mengikuti kegiatan di sebuah hotel berbintang di Bali. Soal ini, manajemen hotel juga sudah paham. Mereka sudah memisahkan makanan yang tidak halal bagi tamu muslim. Artinya, hal itu sangat prinsip da tidak boleh ada perbedaan lagi. Tidak perlu ada yang harus merasa tersinggung dengan hal ini. Di situlah hakekat dari tolerasi itu. Bukan mempertentangkan, apalagi mendebat, tetapi memahami.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Saya tidak ingin menanggapi yang viral belakangan ini. Tetapi harusnya bagi bangsa besar seperti kita, hal seperti ini sudah selesai sangat lama. Saya memiliki dan bergaul dengan banyak kawan beda agama. Semuanya berjalan baik-baik saja. Tidak ada kegaduhan karena perbedan-perbedaan seperti itu. Saling memahami dan saling menghormati, bukan saling mempertentangkan. Kita gunakan saja energi untuk hal positif yang lebih produktif. Daripada mempersoalkan yang memang tidak akan pernah bisa sama. Yang keliru ya segera saja minta maaf. Selesai! Bagaimana menurut Anda? (khairudin m. ali)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

JUDUL webinar nasional ini, kesannya serem. Serem banget! Bisa jadi karena ini, ada yang enggan menjadi peserta. Terutama dari kalangan pemerintah. Kendati begitu, pesertanya...

CATATAN KHAS KMA

  ‘’SAYA mau tes daya ingat pak KMA,’’ katanya kepada saya suatu waktu. KMA itu, singkatan nama saya. Belakangan, semakin banyak kawan yang memanggil...

CATATAN KHAS KMA

SEBELUM benar-benar lupa, saya mau menulis ini: Gempa Lombok. Sepekan lagi, itu empat tahun lalu. Tetapi trauma saya (ternyata) belum juga hilang. Sudah pukul...

CATATAN KHAS KMA

INI bukan tentang wong cilik, jualan partai saat dekat Pemilu. Ini benar-benar tentang joki, penunggang kuda yang umurnya masih sangat-sangat belia. Masih duduk di...

CATATAN KHAS KMA

SETELAH melewati Rumah Sakit Kabupaten Bima, jalanan macet total. Saya tidak yakin ada gendang Beleq yang lewat seperti di Lombok. Tidak biasanya di Bima...