Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Jalan Lain Pendidikan Sekolah Untuk Sukses Dan Kaya ; Catatan Kritis

Eka Ilham

Oleh: Eka Ilham, M.Si.

Sekolahlah biar kaya. Sekolahlah agar sukses. Kalau kau tidak sekolah, kau akan menjadi orang miskin dan tidak bisa menggapai cita-citamu. Di visualisasikan juga di film-film inspiratif tentang bagaimana perjuangan orang tua dan anak dari keluarga yang kurang mampu berjuang untuk sekolah melalui beasiswa yang pada akhir cerita, sang anak menjadi orang yang kaya dan sukses. Begitu luar biasanya sekolah mengubah nasib seseorang menjadi orang yang sukses dan kaya. Lulusan-lulusan SMA/SMK dipersiapkan untuk memasuki perguruan-perguruan tinggi negeri yang ternama dengan berbagai bimbingan belajar yang di selenggarakan oleh lembaga-lembaga swasta dan negeri, tidak lain bertujuan untuk menjadi orang sukses, begitupun yang tidak melanjutkan perguruan tinggi, para siswa ini di persiapkan kompetensi ketrampilan sehingga setelah lulus SMA/SMK dapat bekerja di perusahaan-perusahaan atau membuka lapangan pekerjaan sendiri sesuai dengan ketrampilan sendiri yang di dapat di sekolah. Para lulusan SMA/SMK juga dapat melanjutkan cita-citanya menjadi polisi, tentara, dan profesi lainnya yang setelah itu mendapatkan gaji dari negara untuk jaminan masa depan. Sempurnalah sudah kebahagiaan yang di dapat ketika sekolah merupakan jembatan untuk menjadi orang kaya dan sukses. Begitulah doktrin banyak orang tentang pentingnya pendidikan. Sekolah dianggap cara untuk seseorang bisa kaya dan sukses. Lalu ditambah embel-embel. Karena bila kaya dan sukses, segalanya mudah dan gampang. Dimana kalau tidak sekolah tidak akan bisa menjadi orang kaya dan sukses. Apakah sekolah sudah seperti itu? Apakah sekolah dapat merubah nasib perekonomian seseorang? Bagaimana bagi orang yang tidak bersekolah?

Doktrin untuk menjadi kaya dan sukses harus bersekolah, akan tetapi banyak juga orang yang tidak sekolah tapi kaya dan sukses. Itu bukti bahwa sekolah bukan segalanya. Tapi entah kenapa? Sekolah atau pendidikan, sering kali di-doktrin ke anak-anak sebagai cara untuk kaya dan sukses. Kita juga ditampakkan dengan brosur-brosur sekolah yang mempromosikan capaian-capaian para alumni yang telah kaya dan sukses bekerja di perusahaan-perusahaan atau telah sukses menjadi polisi dan tentara serta profesi yang lain. Foto-foto alumnipun di tunjukkan di dalam brosur. Pesan yang disampaikan, jika kalian masuk sekolah, kamu akan menjadi kaya dan sukses seperti para alumni di brosur tersebut.

Apakah sekolah merupakan satu-satunya kunci menjadi orang yang kaya dan sukses? Sebegitu hebatnya keinginan bersekolah menjadi motivasi dan tujuan untuk menjadi orang kaya dan sukses? Apa pendidikan menjadi orientasi matrealis?

Maka wajar, pendidikan di era digital sekarang jadi bertumpu kepada materi. Sukses atau tidak suksesnya seseorang dipandang dari kekayaan, jabatan dan kekuasaan. Capaian-capaian materi merupakan indikator untuk sukses. Hasilnya anak-anak di paksa untuk  mengikuti keinginan orang tua tanpa melihat potensi anak dan kejiwaan anak. Dari kecil sudah ikut kursus ini kursus itu. Anak-Anak dicekoki dengan ilmu-llmu yang tidak sesuai dengan usianya. Anak-anak dipaksa agar pintar di sekolah dan mampu bersaing. Lalu berhasil mencapai cita-cita. Agar kaya dan sukses. Di saat yang sama, sekolah akhirnya jadi beban. Bukan lagi proses untuk mengenal jati diri, tidak lagi untuk membangun akhlak yang baik.

Di pandemi Covid-19. Tidak sedikit anak-anak sekolah yang stres bahkan ada yang bunuh diri. Terbebani karena dijejali materi pelajaran yang banyak seperti di kelas tatap muka. Sementara prosesnya jarak jauh. Sekolah dan belajar jadi momen membangun rasa takut anak, memperbesar kegelisahan. Slogan Kemendikbudristek merdeka belajar sekarang menjadi tidak merdeka karena di paksa tidak sesuai dengan keinginan anak-anak kita.

Pendidikan dianggap alat untuk kaya dan sukses. Sekolah dipandang sebagai jalan pintas untuk meningkatkan status sosial dari miskin menjadi kaya, dari bukan siapa-siapa menjadi terhormat. Sekolah untuk meraih cita-cita lalu dipuji banyak orang karena kaya dan sukses. Walaupun berpendidikan tinggi tapi prilaku dan adab tidak sesuai dengan keilmuannya.

Sekolah yang tinggi. Agar lebih egois dan jadi individualis. Sekolah yang tinggi biar makin tidak peduli pada orang lain. Sekolah-lah, biar lebih mahir menghujat orang, membenci, dan menebarkan hoaks ke mana-mana. Sekolah biar akhlak makin runtuh. Jika perlu, sekolah yang tinggi biar jadi orang murahan atau merampas hak asasi orang orang lain. Sekolah tinggi sampai bergelar doktor dan profesor yang pada akhirnya berbaju orange bertuliskan tahanan KPK.

Lalu, di mana manfaat sekolah? Agar sekolah mampu menolong orang lain, sekolah untuk bermanfaat bagi sesama. Sekolah yang mampu mengajarkan anak-anak jadi mampu membedakan yang baik dan tidak baik dalam hidup? Sekolah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sekolah unutk akhlak yang lebih baik dalam hidup.

Sekolah jadi terlalu materialistis. Itulah faktanya. Parahnya lagi kaum-kaum kaya dan sukses mengatakan “jangan salahkan sekolah tetapi oknum manusianya “kemudian di amini bersama. Akan tetapi mereka lupa bahwa untuk menjadi sukses dan kaya tidak harus bersekolah tinggi-tinggi. Fakta banyak orang yang kaya dan sukses bahkan menjadi menteri tidak harus mengenyam pendidikan yang tinggi. Doktrin sekolah sebagai kunci menjadi kaya dan sukses menyesatkan bagi anak-anak kita dan bahkan para orang tua. Penggalan puisi di bawah ini cukup menggambarkan kegelisahan penulis.

Suka-Suka Kita. Terserah!!!

Kita adalah anak muda milineal, konon katanya. Yang dilahirkan oleh dunia terbalik.

Kita kurang peka

di dalam hal kemanusiaan,

karena tidak diajarkan hidup dengan rakyat jelata,

dan tidak diajar nilai-nilai moral.

Kita hanya belajar ilmu pasti bukan ilmu kepekaan.

Kita melihat kabur pribadi orang, suka mencaci maki tapi tidak mau di maki, suka menghakimi tapi tidak mau di hakimi,  suka berbicara kotor tetapi tidak mau di kotori, suka mempermainkan tetapi tidak mau di permainkan, suka menggurui tetapi tidak suka di gurui, suka menasehati tetapi tidak suka di nasehati.

karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.

Kita tidak mengerti uraian pikiran kita sendiri

Apakah kita tidak dimaksud

untuk mengerti itu semua?

Semua hanya ingin jadi pns, nongkrong sambil ngabisin apbd.

Semua ingin menjadi politisi tetapi bukan manusia politik

Tamat sekolah kejuruan tapi tidak punya keahlian. Kalaupun punya ilmunya langsung ada masa kadarluasa. Lupa dan tidak percaya diri.

Jadi sarjana intelektual tak tahu siang ini makan apa.

Ujian memakai media online. Tapi materinya ketinggalan zaman. Gurunya gatek tekhnologi Yg penting dapat ijazah.

Suka-suka kita. Terserah!!!

Apakah kita hanya dipersiapkan

untuk menjadi alat saja?

Suka-suka kita saja,

Anak muda labil, tak mau berproses, tak tahan banting.

Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.

Bukan pertukaran pikiran dan perbedaan.

Berbeda adalah musuh, bersama itu orang kita

Ilmu sekolah adalah ilmu gonta – ganti kurikulum, dan bukan ilmu latihan menguraikan.

Suka-suka kita. terserah!!!

Dasar keadilan di dalam pergaulan.

serta pengetahuan akan kelakuan manusia,

Keadilan hanya milik mereka-mereka?

Suka-suka kita, terserah!!

Dunia menjadi bayang-bayang.

Suka-suka kita. Terserah!!!

 

Kita marah pada diri sendiri.

Kita sebal terhadap masa depan.

Lalu akhirnya,

menikmati masa bodoh dan santai.

Di dalam kegalauan,

Kita tidak bisa memimpin,

tetapi hanya bisa berkuasa, menggunakan kekuasaan untuk membuktikan siapa aku? siapa dia? siapa kita? Siapa mereka?

persis seperti hutan rimba. Saling memangsa yang kuat menjadi kuat, yang lemah menjadi lemah.

Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.

Sekolah melahirkan calon-calon para koruptor?

Mereka orang berpendidikan, sekolah dengan baik, pendidikan agama yang cukup, namun menjadi penguasa lupa diri. Koruptor dan dipenjara. Salah siapa?

Suka-suka kita. Terserah!!!

Kita hanya menjadi alat! tak ada kegunaan, hanya menjadi pembela bagi mereka yang berkuasa dan berduit. Kebaikan hanya sebagai pencitraan, ada udang dibalik batu, kalaupun tidak ada hanya tuhan yang membalas setiap kebaikan. Tak ingin jadi benalu.

Suka-suka kita. Terserah!!!

Gelap. Pandanganku gelap.

Mengapa harus kita terima hidup begini?Apakah kita akan terus diam saja?

Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum

tidak tahu makna keadilan dan kebenaran, hukum dikhianati berulang kali. Keadilan bagi mereka yang punya kuasa dan berduit.

Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi

Sekolah untuk mencari pekerjaan, hidup kaya – raya bergelimang harta dengan teori-teori ekonomi, menjadi wiraswasta yang sukses, direktur dan pengusaha, atau menjadi benalu bagi rakyat jelata dan sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi. Acuh tak acuh terhadap keadaan.

Kita berada di dalam pusaran yang tak terbaca.

Suka-suka kita. Terserah!!!

Kita memukul dan mencakar

ke arah udara, yang ada hanyalah angin

Kita dilahirkan dari dunia terbalik.

Kita adalah angkatan yang berbahaya.

Suka-suka kita. Terserah!!!

Bima, 28 Mei 2020

 

Jadi bagaimana harusnya sekolah atau pendidikan di era digital?

Tentu, ada banyak keilmuan dan argumen yang bisa diajukan. Tapi intinya, sekolah bukan segalanya untuk urusan dunia. Apalagi hanya untuk kaya atau sukses. Tanpa punya rasa kepekaan sosial atau kepedulian kepada sesama. Sekolah harusnya untuk menolong orang lain. Sekolah untuk mengedepankan “adab” dalam hidup. Sekolah yang menjadikan dunia untuk bersiap ke akhirat. Lebih beradab, lebih punya akhlak yang baik, Karena adab sejatinya memang di atas ilmu.

Maka sekolah, sejatinya harus mampu menghargai proses bukan hasil. Sekolah meraih nilai-nilai bukan harga tertentu. Agar mampu menghargai orang lain karena pengabdiannya, bukan karena kekayaannya. Biarlah anak-anak memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya. Daripada mengikuti dan tahu banyak mata pelajaran tapi tidak ada yang dikuasainya.

Pendidikan berbasis “adab” mengedepankan sikap menghormati dan menghargai. Salah satu sikap kita sebagai guru ataupun orang tua itu membiarkan anak memilih profesi di masa depan sesuai dengan keinginan anak. Bukan memaksanya untuk meraih profesi tertentu yang hanya lebih cepat menghasilkan uang. Karena pilihan berdasarkan kemampuan setiap anak adalah anugerah Allah SWT. Jadi pendidikan harus mampu menemukan bakat dan minat anak. Sehingga guru berperan sebagai jembatan untuk mengembangkan potensi anak, bukan sebagai orang yang harus tahu segalanya.

Dan yang terpenting, anak sekolah atau berpendidikan semata-mata karena si anak ingin jadi orang yang bermanfaat, bukan orang kaya atau sukses. Anak-anak yang mampu berpikir objektif, berjiwa besar, dan bersikap realistis, bersikap santun dan bertanggung jawab terhadap persoalan serta pemberi solusi sehingga menjadi pribadi yang memiliki kesholehan sosial. Itulah pendidikan berbasis adab, bukan pendidikan materialistis. (*)

Penulis adalah Ketua Umum SGI Kabupaten Bima

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Pendidikan

Bima, Bimakini.- Gerakan literasi “Sastra Goes To School”, Senin (7/2/2022), berlangsung di SDN belo, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima. Kegiatan literasi ini juga sekaligus membagikan...

Opini

Oleh: Eka Ilham, M.Si Akhir-akhir ini kurikulum prototipe menjadi perbincangan hangat dalam dunia pendidikan. Kurikulum prototipe adalah kurikulum pilihan (opsi) yang dapat diadaptasi dalam...

Opini

Oleh: Eka Ilham, M.Si Sekolah belum memberi rasa aman bagi guru, baru saja kita memperingati Hari Guru Nasional (HGN) Tahun 2021 dengan gegap gempita...

Opini

Oleh: Eka Ilham, M.Si (Sebuah catatan kecil guru-guru sukarela di daerah terpencil, menceritakan kisah duka dan dinamika Seorang Guru Sukarela Pak Amiruddin.S.Pd di Desa...

Opini

Oleh: Eka Ilham, M.Si Merdeka atau mati?”, sangat sesuai dengan kondisi Republik hari ini, Pandemi Covid-19 belum berakhir.  Suara pekikan menjelang hari kemerdekaan Indonesia ...