Connect with us

Ketik yang Anda cari

CATATAN KHAS KMA

Hanu Hanu Hanu (1)

Penampakan saya yang duduk loyo, berhasil dikirim ke mux TVRI.

KAMIS, 28 Oktober 2021 adalah hari yang sangat melelahkan. Saya harus melakukan hanu. Tidak hanya tiga kali hanu, tetapi lebih. Hanu hanu hanu itu, saya harus hanu tidak hanya dengan kerja keras, tetapi juga berpikir keras.

Pagi-pagi sekali, usai mengantar putri saya yang sekolah, saya harus ke Alamtara Library. Sebuah tempat di Ule Kota Bima. Di situ ada perpustakaan dan Educamp. Saya ingin memastikan apakah janji saya kepada Dr Abdul Wahid, bisa dilaksanakan. Saya tentu saja tidak bisa memastikan ini: bisa atau tidak bisa, jika belum dicoba. Yaitu mengirim gambar ke studio, untuk menyiarkan langsung rangkaian acara Mbojo Writer Festival (MWF).

Saya sudah janji kepada dosen senior Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram  untuk menyiarkan langsung acara itu. Tetapi, rencana awalnya bukan di Alamtara Ule itu. Di Bukit Jatiwangi. Tanpa survei pun, pasti saya tidak punya kendala untuk mengirim gambar ke studio.

Nah, Alamtara ini letaknya di pinggir pantai, di balik bukit pula. Anda pasti tahu, frekuensi untuk mengirim siaran, akan sulit menembus bukit itu. Tetapi, sekali lagi karena saya sudah janji, saya harus coba untuk memastikannya. Kalau pasrah, maka tidak ada peluang berhasil. Kalau dicoba, walau peluangnya kecil, tetapi ada. Beda kan?

Benar saja, usai mengantar putri yang ke sekolah, saya langsung meluncur ke Alamtara. Cek lokasi. Pagi itu, hanya ada Rudy Biola, seniman populer yang lihai memainkan dawai itu. Kami sudah saling kenal. Saya disambut, saya ajak untuk menyibak semak. Mencari lokasi yang memungkinkan untuk menempatkan antena di sisi timur kompleks Educamp itu.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Saya sebenarnya pesimis. Ada bukit di belakang Bima Tirtha milik pak Komang Artaya itu. Pasti sinyal dihadang. Tetapi sekali lagi, saya harus coba. Saya balik ke lokasi dengan membawa pemancar link. Pemancar itu sudah digital.

Itu sudah pukul 10.00 Wita. Sejumlah pemuka ada di situ. Acara diskusi pun sudah dimulai. N Marewo dan Rudy Biola ikut membantu saya. Memasang antena, membawa kabel, memasang kamera, juga pemancar. Tinggi tiang antena di pinggir jalan itu, hanya 6 meter di atas permukaan tanah.

Setelah instalasi, saya hubungi staf di studio untuk melihat layar televisi. ‘’Tidak ada sinyal yang masuk,’’ kata Nurdinah lewat video call. Wah gagal!

Tetapi saya masih punya satu harapan. Cuma akan lebih repot. Awalnya saya hanya mengirim gambar  dan suara ke studio. Peluangnya adalah: mengirim sinyal digital itu ke Mux TVRI di Doro Na’e. Cuma ini lebih ribet. Artinya, ke Alamtara saya hanya bawa kamera, video mixer, dan pemancar link saja. Tidak perlu bawa komputer. Sebab itu jelas akan mengganggu siaran reguler Bima TV. Karena komputer itu sekaligus berfungsi sebagai play list seluruh program seharian.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Saya duduk loyo, mandi peluh karena gagal mengirim gambar ke studio. Saya coba peluang ribet itu. Saya menghubungi Anasrudin, penanggungjawab TVRI Bima. Karena sejak siaran digital, Bima TV menyewa fasilitas mereka. Ya itu, namanya mux, multiplekser.

Anas merespon telepon saya dengan mengirim gambar yang dia terima di transmisi TVRI Bima, Doro Na’e. Gambar kamera yang menangkap saya yang duduk loyo itu. Ternyata sinyal dari Alamtara tidak bisa dikirim ke studio, tetapi berhasil dikirim ke Doro Na’e. Berhasil! Tetapi repot sekali.

Saya balik ke studio, berdiskusi dengan penanggungjawab siaran, Khairun Muhammad soal itu. Apakah mau melanjutkan siaran langsung dari Alamtara atau dibatalkan. Sofian Asy’ari, Pemred Bima TV, mendukung. ‘’Kita siaran saja pak,’’ katanya kepada saya.

Jadilah siaran langsung hingga pukul 23.00 Wita tadi malam itu. Kualitas jelas bukan standar broadcast. Karena itu bukan acara televisi yang kami siapkan. Tata lampu pun buruk. Kami hanya atur seadanya. Yang penting, gambar dan suara bisa sampai ke pemirsa Bima TV di rumah. Yang penting pemirsa bisa mengikuti rangkaian kegiatan yang baru pertama kali dilakukan di Bima itu.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Tidak mudah dengan sarana dan sumber daya terbatas. Tetapi kita tidak boleh mengeluh apalagi menyerah. Kata Dr Abdul Wahid, ini pekerjaan sulit yang memang tidak boleh sendiri. Harus bersama-sama. Nah itulah yang menjadi penyatu. Banyak energi bercerai berai yang perlu disatukan untuk masa depan Bima yang lebih baik. Nah soal penyatuan energi ini, maka lahirlah idenya. Tetapi yang ini, akan dihanu pada bagian kegian kedua dari tiga Catatan Khas KMA. (khairudin m.ali/bersambung)

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

JUDUL webinar nasional ini, kesannya serem. Serem banget! Bisa jadi karena ini, ada yang enggan menjadi peserta. Terutama dari kalangan pemerintah. Kendati begitu, pesertanya...

CATATAN KHAS KMA

  ‘’SAYA mau tes daya ingat pak KMA,’’ katanya kepada saya suatu waktu. KMA itu, singkatan nama saya. Belakangan, semakin banyak kawan yang memanggil...

CATATAN KHAS KMA

SEBELUM benar-benar lupa, saya mau menulis ini: Gempa Lombok. Sepekan lagi, itu empat tahun lalu. Tetapi trauma saya (ternyata) belum juga hilang. Sudah pukul...

CATATAN KHAS KMA

INI bukan tentang wong cilik, jualan partai saat dekat Pemilu. Ini benar-benar tentang joki, penunggang kuda yang umurnya masih sangat-sangat belia. Masih duduk di...

CATATAN KHAS KMA

SETELAH melewati Rumah Sakit Kabupaten Bima, jalanan macet total. Saya tidak yakin ada gendang Beleq yang lewat seperti di Lombok. Tidak biasanya di Bima...