Connect with us

Ketik yang Anda cari

CATATAN KHAS KMA

Hanu Terakhir

Suasana diskusi di atas Kapal La Hanu.

SAYA masih punya hutang. Ingin menulis tentang seseorang. Bukan hanya seorang, tapi dua. Saya merasa perlu untuk meminta maaf karena belum sempat-sempat dan bakal tidak akan jadi. Ada yang sudah lama sekali, ada yang baru-baru ini. Tetap saja gak sempat, akhirnya kehilangan momentum, hilang idenya.

Untuk Hanu terakhir ini, sebenarnya bukan hutang kepada seseorang. Tetapi kepada pembaca. Karena pada tulisan sebelumnya, saya sudah janji akan menulis tiga Hanu. Nah, karena baru dua Hanu, maka Hanu yang ketiga harus saya tunaikan. Apa isinya, saya tidak punya beban. Karena saya tidak sebutkan apa materinya. Jadi saya bebas saja, terserah saya saja, yang penting ada ‘hanu’-nya. Pokoknya hanu yang ini, terserah saja. Walau kru La Hanu, om Black yang punya nama lengkap Mustahiddin itu, meminta saya untuk menulis lagi.

Pilihan saya, akhirnya jatuh pada diskusi serius kami di atas Kapal phinisi La Hanu di Teluk Bima. Pada Kamis sore 28 Oktober 2021 itu, saya bersama H Dudi Fakhruddin, La Tofi (bos The La Tofi School of CSR) , Amran H Yasin Harapan, (pengusaha) juga H Rashid Harman. Lainnya, ada juga Gufran Abubakar, Anwar Arman. Yang saya sebut terakhir adalah mantan anggota DPRD Kota Bima dua periode. Mereka terlibat diskusi yang cukup serius. Saking seriusnya, H Dudi ingin ada semacam konsensus yang bisa dilahirkan di atas La Hanu itu. Konsensus itu, ya soal kerusakan hutan yang terjadi di daerah kita. Bima, juga Dompu.

Dalam kaca mata mereka, masalah ini sudah sangat akut. Seperti penyakit kanker, sudah stadium akhir. Sudah sangat mengancam keselamatan. Sulit disembuhkan. Warga bisa membakar hutan di tengah kota, tanpa ada upaya untuk menghentikannya. Negara yang memiliki segala kewenangan dan sumber daya, pun seperti tidak berdaya. Beda ketika menangani vaksin Covid-19.

Sudah menjadi pemandangan yang biasa, setiap saat bisa muncul asap mengepul. Tidak siang, tidak malam. Jangan heran, suhu di daerah ini menjadi sangat panas. Jika hujan, apalagi yang dikhawatirkan? Banjir!

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Pengalaman buruk penghujung 2016, tidak jua membuat kita jera. Padahal penyebabnya kita sudah tahu. Rusaknya ekosistem hutan penyangga. Habis dibakar untuk menanam jagung.

Seberapa parahnyakah? Saya tidak punya datanya. Tetapi secara visual saya ingin gambarkan seperti ini. Pada Jumat, 5 November 2021 lalu, saya punya kesempatan melakukan perjalanan dengan Kapal Pelni, Tilongkabila. Saya menuju Labuan Bajo. Usai shalat Jumat di atas kapal, saya berangkat dari Pelabuhan Bima. Dari atas kapal, saya sengaja tidak duduk di dalam dek. Saya memilih tempat terbuka.

Perjalanan ke Labuan Bajo dengan kapal Tilongkabila.

Ini juga pengalaman pertama saya naik kapal laut dengan rute yang panjang. Yang pernah, hanya naik kapal penyeberangan Tano-Labuan Lombok. Saya juga ingin melihat Bima, dari sudut pandang yang berbeda.

Mulai dari pelabuhan Bima, Anda pasti tahu ke arah mana mata kita memandang. Selain kota, tentu saja gunung-gunung yang mengelilinginya. Coklat semua. Bahkan ada asap yang masih mengepul di sisi utara dan timur kota. Asap pembakaran untuk pembersihan lahan, karena sudah dekat masa persiapan menanam jagung.

Seluruh perjalanan saya dari Kota Bima hingga sisi timur Wera, pemandangannya hanya gunung coklat, gundul. Hanya sedikit puncak gunung di Kolo, Lambitu, Doro Na’e, Pundu Nence, juga di puncak-puncak lain. Itu saja yang belum ‘terjangkau’. Juga di Pulau Sangiang terlihat masih hijau.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Perjalanan delapan jam itu, memang menarik. Kita bisa melihat Bima dari sisi yang berbeda. Kita keluar dari lngkungan kita. Untuk sedikit menjadi pengamat karena sudut pandang kita bisa lebih luas. Pemandangan ini, berbeda 180 derajat ketika saya tiba di Labuan Bajo. Bukit-bukit di situ tidak ada yang diganggu. Sedikit pun. Semuanya masih terjaga, asli. Yang tidak ada pohonnya, bukan karena dirusak. Memang sudah begitu sejak awal. Kawan saya yang sudah puluhan tahun bermukim di situ mengatakan, di Mangarai Barat tidak boleh memotong pohon, apalagi merusak dan membakar hutan. Langsung diamankan.

Hari pertama saya di situ, kaget bukan main. Saya merasa sejuk. Beda dengan bayangan saya selama ini. Ini juga kali pertama saya ke kota ini. Kalau saya kaget, jangan heran.

Apa hasil diskusi di atas La Hanu itu? H Dudi yang merupakan pendiri Mbojo Hijau Kembali (MHK) bersama sejumlah tokoh muda Bima ini, paling gusar. Konsultan keuangan yang tinggal di Jakarta ini, berupaya segala cara untuk mengembalikan kondisi alam kita. ‘’Ini demi masa depan Bima,’’ katanya.

La Tofi, Anda tahu pernah menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan nomor Valentino Rossi, 46. Tapi belum berhasil. Ia punya upaya lain. ‘’Saya akan adakan Pulau Sumbawa Green Awards 2022,’’ katanya.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Dengan iming-iming hadiah, La Tofi menggagas ada kompetisi desa dan kelurahan se Pulau Sumbawa, dalam menjaga lingkungan mereka. ‘’Ini salah satu upaya yang bisa kita lakukan,’’ ujarnya.

Pemerintah sendiri menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk reboisasi. Tetapi jarang yang berhasil. Pasca banjir Bima 2016, juga ada program itu. Kalau di bukit Jatiwangi, saya bisa pastikan hasilnya nol. Evaluasi saya, selain jenis tanaman yang tidak cocok, juga karena tidak ada perawatan.

Kata kawan saya, penghijauan kembali sebenarnya tidak perlu anggaran. Cukup membiarkan saja lahan yang sudah telanjur digunduli itu. Jangan diganggu. Dua tahun akan hijau kembali dengan sendirinya.

Saya sendiri punya pengalaman merawat tanaman dalam tiga tahun terakhir. Dengan dirawat pun, probabilitas suksesnya masih saja rendah. Musuhnya banyak, selain kondisi alamnya yang memang panas, juga ada gangguan babi dan hewan ternak. Yang sukses hanya tanaman endemik setempat. Asam, kemiri, jambu mente, flamboyan, kersen. Lainnya mati.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Harus ada kesadaran kolektif untuk mengembalikan kondisi alam kita. Stop memotong dan membakar hutan sebelum bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat benar-benar terjadi. (khairudin m. ali)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

JUDUL webinar nasional ini, kesannya serem. Serem banget! Bisa jadi karena ini, ada yang enggan menjadi peserta. Terutama dari kalangan pemerintah. Kendati begitu, pesertanya...

CATATAN KHAS KMA

  ‘’SAYA mau tes daya ingat pak KMA,’’ katanya kepada saya suatu waktu. KMA itu, singkatan nama saya. Belakangan, semakin banyak kawan yang memanggil...

CATATAN KHAS KMA

SEBELUM benar-benar lupa, saya mau menulis ini: Gempa Lombok. Sepekan lagi, itu empat tahun lalu. Tetapi trauma saya (ternyata) belum juga hilang. Sudah pukul...

CATATAN KHAS KMA

INI bukan tentang wong cilik, jualan partai saat dekat Pemilu. Ini benar-benar tentang joki, penunggang kuda yang umurnya masih sangat-sangat belia. Masih duduk di...

CATATAN KHAS KMA

SETELAH melewati Rumah Sakit Kabupaten Bima, jalanan macet total. Saya tidak yakin ada gendang Beleq yang lewat seperti di Lombok. Tidak biasanya di Bima...