Connect with us

Ketik yang Anda cari

CATATAN KHAS KMA

Teror Banjir

Banjir masuk ke pemukiman warga Tolotando.

SAYA agak resah sejak musim hujan kali ini. Keresahan ini, malah sudah meningkat menjadi kecemasan. Tentu bukan hanya saya, tetapi juga dirasakan oleh seluruh masyarakat Kota Bima.

Levelnya terus meningkat ketika dalam dua pekan ini, banjir terus meneror warga kota. Padahal…. hujannya sedang saja. Atau lebat, tetapi hanya sebentar saja.

Tulisan ini, bukan untuk saling menyalahkan. Tetapi saya ingin kita sama-sama merenung. Sebagai pemerintah, tentu cara merenungnya beda. Karena di tangan mereka ada kekuasaan. Kekuasaan keuangan, kebijakan, juga memiliki aparat. Merenungnya warga, tentu beda. Level paling lemah adalah berdoa dan pasrah kepada Sang Pencipta.

Banjir pertama yang paling parah, terjadi pada Rabu, 21 Desember dan Jumat, 23 Desember 2016. Dua kali, hanya selang sehari. Itu menjadi bencana nasional. Walau tanpa korban jiwa, tetapi dampaknya sangat parah. Kerugian besar dialami rakyat dan pemerintah Kota Bima, juga Kabupaten Bima.

Tidak perlu saya gambarkan lagi. Kita semua merasakannya. Jaringan listrik mati, jaringan komunikasi seluruhnya, juga mati. Akses jalan keluar dan masuk kota juga tidak ada. Kota Bima terisolir. Mencekam. Rakyat terdampak, alami kelaparan hebat. Bagi warga Bima di luar Bima, atau bukan warga Bima, bisa browsing seperti apa peristiwa itu terjadi. Mengerikan!

Kehilangan harta warga Kota Bima tidak bisa dihitung pasti. Tetapi BNPB menaksir kerugian yang dialmi oleh 105.753 warga Kota Bima itu, mencapai Rp 1 triliun. Hampir seluruh permukaan tanah kena banjir. Cuma levelnya saja yang berbeda. Harta menjadi sampah. Banyak warga kehilangan sumber kehidupan mereka. Kota Bima lumpu total!

Kini, teror itu kembali terjadi. Selama 5 tahun, nyaris tidak ada upaya signifikan untuk memperbaiki sumber penyebab banjir itu terjadi. Pernah dilakukan penanaman kembali dengan dana puluhan miliar, tetapi gagal.

Kerusakan alam kita semakin parah. Pembukaan lahan terus saja terjadi dengan dalih sebagai sumber penghidupan. Seperti hanya menjadi tontonan, warga yang sadar hanya bisa mengeluh. Ada pula yang saling menyalahkan.

Akibatnya, hari ini kita merasakan kondisi yang lebih parah. Walau banjirnya tidak sehebat 2016, tetapi kini dengan intensitas hujan sedang dalam waktu singkat saja, teror banjir sudah buat panik. Kita hanya berdoa, semoga tidak terjadi cuaca ekstrim seperti 2016 itu lagi.

Saya ingin menggambarkan, bagaimana mudahnya kerusakan alam itu terjadi. Dalam sebuah tayangan video YouTuber yang mendaki gunung Merbabu di Jawa Tengah, terlihat ada kerusakan parah akibat taman nasional itu terbakar pada 11 September 2019. Api baru bisa dipadamkan pada 15 September 2019.  Kebakaran yang menghanguska areal seluas 436 hektare itu, telah mengakibatkan banjir besar pada 2020.

Yang saya lihat sangat mengerikan. Terbentuk sungai baru tanpa air, sedalam lebih dari tiga meter dengan lebar sekitar dua meter. Jadi bisa dibayangkan, aliran air akibat hujan itu, membentuk sungai yang panjangnya sampai jauh ke pemukiman warga atau menuju sungai lama. Betapa besarnya volume material yang dihanyutkan oleh air. Air hujan itu tidak bisa lagi ditahan oleh alam, karena sabana di situ suda terbakar. Gunung Merbabu itu terbakar, bukan dibakar untuk lahan pertanian.

Saya pun membayangkan, kira-kira setiap bukit dan gunung kalau dibakar, akan seperti itu akibatnya. Tentu dengan skala dan dampak tidak persis sama. Tetapi yang pasti, lapisan permukaan tanah (top soil), akan ikut hanyut bersama air hujan. Jika terus saja terjadi tanpa ada perbaikan sendiri oleh alam. Atau tidak ada intervensi manusia. Maka bukit dan gunung yang pernah dibakar itu, tidak lagi memiliki tanah sebagai media untuk tumbuhnya vegetasi baru. Yang ada hanya batu-batu yang mudah lepas dan longsor.

Tanah-tanah subur itu dibawa oleh air ke pemukiman warga, menutup akses lalulintas, mendangkalkan aliran sungai, meluap ke rumah-rumah warga. Dampak lanjutannya adalah, kita akan kehilanggan sumber-sumber mata air, karena daya dukung alam sudah tidak ada. Air hujan yang turun, tidak lagi disimpan dan terserap ke dalam tanah, tetapi langsung meluncur ke laut dan menjadi bencana.

Perlu ada kesadaran kolektif untuk menghentikan ini semua. Jangan sampai terlambat. Kita pasti akan merasakan dampak yang lebih parah di masa mendatang. Perlu ada upaya-upaya serius yang harus dilakukan secara bersama-sama. Tidak cukup dengan saling menyalahkan. Bisa jadi, saudara-saudara kita itu tidak tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu mengakibatkan bencana yang terus berulang dan akan semakin parah.

Mulailah melakukan pendekatan dengan berbagai cara. Mulai dari pendekatan persuasif hingga pada level paling tinggi. Jadikan bencana banjir tahun ini menjadi momentum untuk menyatukan energi. Energi untuk hidup yang lebih bersahabat dengan alam! (khairudin m.ali)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Peristiwa

Bima, Bimakini.- Banjir yang terjadi Rabu (21/2/2024) malam di Desa Kawinda Toi, Kecamatan Tambora, Kabupaten Bima, menyebabkan satu jembatan putus. Selain itu sejumlah rumah...

Pemerintahan

Kota Bima, Bimakini.- Pj. Wali Kota Bima, H. Mohammad Rum, memimpin Rapat Koordinasi (Rakor) untuk mengantisipasi potensi luapan banjir di DAS Padolo, Senin 12...

CATATAN KHAS KMA

Mampir di Hotel INI perjalanan hari empat bagian ke dua. Catatan perjalanan ini, memamg diturunkan berdasarkan hari perjalanan. Tetapi hari ke empat ini, ternyata...

Pemerintahan

Kota Bima, Bimakini.- Penjabat Wali Kota Bima, Ir. H. Mohammad Rum, MT meninjau sejumlah ruas jalan di Kota Bima yang dipenuhi sedimentasi lumpur akibat...

Peristiwa

Bima, Bimakini.-  Banjir setinggi paha orang dewasa menerjang dua desa di Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (15/11/2023). Masing-masing pemukiman...