Connect with us

Ketik yang Anda cari

CATATAN KHAS KMA

Pers, Tersesat

Foto kenangan saat menjadi wartawan Suara Nusa.

SEBENARNYA, saya sudah lama menepi dari urusan pers. Saya menyatakan mundur terbuka dan menyerahkan pengelolaan media kepada anak-anak muda. Tetapi realitas sosial tetap saja menyeret saya untuk tidak bisa sepenuhnya menjauh dari dunia yang saya tekuni lebih dari separuh hidup saya ini.

Ada-ada saja yang ditanyakan kepada saya. Bahkan yang paling ekstrim, tuntutan sosial, bahwa saya harus terus bertanggungjawab pada masa depan profesi ini. Tidak bisa lari.

Saya memang memulai masuk profesi ini sekitar 1993 lalu. Hampir tiga puluh tahun yang lalu. Di usia saya 28 tahun. Belum setahun menikah. Putri pertama saya masih dalam kandungan. Itu di Harian Suara Nusa, koran harian pertama di NTB. Hasil kolaborasi Jawa Pos dengan Pemerintah Provinsi NTB.

Saya menjadi salah satu yang dinyatakan lulus ujian, dari puluhan pelamar lainnya. Tesnya cukup rumit, oleh tim Jawa Pos. Berlapis-lapis. Tugas liputan pertama saya, langsung terjun ke lokasi konflik di Tanjung Luar, Lombok Timur. Setelah melewati ujicoba berbulan-bulan, nama saya mulai dicantumkan dalam boks Suara Nusa. Belum pegang Kartu Pers ketika itu. Kadang kalau ada yang tidak percaya, narasumber bisa menghubungi nomor telepon redaksi. Saya belum punya kartu pers saat itu, karena belum menjadi anggota PWI.

Pernah menjadi Kepala Biro Suara Nusa di Bima dan Dompu, sebelum ditarik kembali ke Mataram menjadi redaktur halaman ekonomi dan bisnis. Saat itu, Bima dipimpin Halim Djafar dan Dompu dipimpin H Umar Yusuf. Belum ada Kota Bima. Pernah ditugaskan juga di bagian pemasaran, kemudian menjadi redaktur halaman NTB, serta terakhir menjadi redaktur halaman utama sebelum dipecat.

Iya, dipecat. Saya tidak bisa menyembunyikan akhir yang kurang baik di Lombok Post (Suara Nusa berubah nama menjadi Lombok Post pada 1998) itu. Karena itu fakta dan menjadi catatan sejarah. Ketika itu, pada 1998, negeri kita, sejarahnya sedang berubah. Dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Semangat itu pun menginspirasi saya dan beberapa kawan, untuk melakukan reformasi juga secara internal di Lombok Post. Singkat cerita, kata kawan saya Irawan Nugroho yang menemani saya selama perjalanan di Amerika Serikat, ada semacam aturan tidak tertulis di Jawa Pos Group itu. Irawan adalah mantan wartawan Jawa Pos yang bertugas di Washingtong, D.C. Aturan apa itu? Tidak boleh melawan atasan, tidak boleh melawan orang kaya, juga tidak boleh melawan orang gila. Ya, saya dianggap melawan salah satu dari tiga itu. Atasan!

Apa yang saya pahami tentang profesi ini? Sederhana saja. Bekerja harus berdasarkan kode etik jurnalistik. Kode Etik PWI malah lebih luas. Nah, kode etik ini mengatur bagaimana para wartawan yang memilih profesi ini bekerja dan bertindak. Sederhananya, banyak tidak bolehnya. Anda tentu lebih paham dari saya tentang poin-poin kode etik itu. Yang jumlahnya hanya 11 pasal itu. Yang harusnya dihafal mati oleh setiap orang yang mengaku dirinya wartawan itu.

Cuma sayangnya, kendati pelanggaran kode etik ditengarai terjadi setiap saat, tidak banyak kasusnya yang dibawa ke sidang etik. Ini karena banyak faktor. Di antaranya, tidak setiap tulisan media, adalah karya jurnalistik. Karya jurnalistik itu paling tidak memiliki dua syarat: pertama media berbadan hukum dan diverifikasi Dewan Pers. Kedua, penulisnya seorang wartawan yang sudah lulus uji kompetensi. Lainhya, tidak semua orang yang mengaku wartawan, bernaung di bawah organisasi pers yang sudah diverifikasi dan diakui oleh Dewan Pers. Saya pernah dua periode menjadi anggota Dewan Kehoratan PWI NTB.

Jika belakangan ini saya banyak ditanya soal ini, maka silakan publik menilainya dari indikator di atas. Apakah medianya sudah diverifikasi dan wartawannya sudah lulus uji kompetensi. Atau apakah orang yang mengaku wartawa itu sudah menjadi anggota organisasi profesi yang diakui oleh Dewan Pers. Siapa saja wartawan yang sudah memiliki kompetensi dan sudah lulus uji kompetensi, silakan cek secara online di: https://dewanpers.or.id/data/sertifikasi_wartawan. Tingga isi namanya, lalu tekan enter.

Sejatinya setiap profesi ya seperti itu. Dengan demikian, publik bisa membedakan mana karya jurnalistik, mana tulisan biasa.

Apa esensi dari perbedaan ini? Jika terjadi masalah hukum yang terkait hal tersebut, maka akan dihadirkan Dewan Pers sebagai saksi ahli. Jika Dewan Pers menyatakan bukan karya jurnalistik, maka tulisan itu tidak bisa diproses dengan Undang-Undag Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999. Tuisan bisa dianggap sebagai selebaran, yang jika disebarkan melalui perangkat elektronik atau online, akan dijerat dengan Undang-Undang ITE.

Sayangnya, publik tidak ingin repot untuk melaporkan ke ranah hukum. Mereka hanya berharap ada kesadaran kolektif dari pengelola media, agar kembali ke khitahnya. Kembali untuk menyajikan informasi berimbang, mendidik, dan mencerahkan publik. Bukan informasi sepihak hanya karena adanya kerja sama dengan pihak-pihak tertentu.

Tidak ada larangan media untuk mencari sumber-sumber yang bisa membiayai operasional perusahaan, sebatas yang dibolehkan. Tetapi tidak menyebabkan media kehilangan kemandirian dalam mengambil keputusan redaksional. Setiap kerjasama, tentu diatur dan disepakati hak dan kewajiban masing-masing. Jadi aneh jika ada lembaga mitra yang ingin mengatur semua, bahkan sampai ke urusan privat pengelola. Klaim seseorang yang pernah menjadi wartawan dan aktivis itu, hanya omong kosong dan mungkin saja sedang tersesat dan kurang bahagia. (khairudin m. ali)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Advertisement

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

Mampir di Hotel INI perjalanan hari empat bagian ke dua. Catatan perjalanan ini, memamg diturunkan berdasarkan hari perjalanan. Tetapi hari ke empat ini, ternyata...

CATATAN KHAS KMA

JUDUL webinar nasional ini, kesannya serem. Serem banget! Bisa jadi karena ini, ada yang enggan menjadi peserta. Terutama dari kalangan pemerintah. Kendati begitu, pesertanya...

Opini

Oleh : Munir Husen Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bima ) Saat ini, kebutuhan manusia tentang informasi di era digitalisasi sangat urgen. Semua informasi...

CATATAN KHAS KMA

BEBERAPA hari ini, media ramai memberitakan penggunaan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengganti kupon undian pada pawai Rimpu. Itu sederhana sekali. Alasan penyelenggara, untuk...

CATATAN KHAS KMA

  SAYA ini kadang iseng. Bertanya kepada orang lain tentang cita-cita masa kecil seseorang. Itu agak privasi. Bisa jadi juga, itu rahasia. Tidak pernah...