Connect with us

Ketik yang Anda cari

CATATAN KHAS KMA

Joki Cilik: Tradisi atau Eksploitasi

Joki cilik di Bima/ fofo Ogie Gagah Attay

INI bukan tentang wong cilik, jualan partai saat dekat Pemilu. Ini benar-benar tentang joki, penunggang kuda yang umurnya masih sangat-sangat belia. Masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka bertaruh di atas punggung kuda yang sedang berpacu dengan kecepatan tinggi.

Tugasnya, kadang hanya bisa memukul cemeti. Agar kuda-kuda pacu itu, bisa tiba di garis akhir paling depan. Bukan hanya satu cemeti, tetapi dua. Tangan kiri kanan mereka berayun bergiliran. Agar kuda pacuan yang ditunggangi mengeluarkan seluruh tenaga terbaiknya. Tali kekang pun kadang dilepas. Kuda-kuda itu sudah tahu ke mana arah yang mereka tuju. Yang penting larinya cepat.

Tubuh mungil itu sesekali terlihat tidur memeluk kuda, saat ayunan cemeti istirahat sejenak.

Suara riuh mengelukan nama kuda yang finish paling depan. Nama joki nyaris tidak disebut apalagi terkenal. Usai kudanya menang pun, ia diabaikan. Bukan jokinya yang hebat! Beda dengan MotoGP. Pembalap yang juara! Pembalap yang dibayar mahal! Pembalap yang terkenal!

Hari-hari ini, peran mereka kembali riuh diperbincangkan. Ada joki cilik asal Desa Dadibou Bima, yang meregang nyawa saat balapan. Itu terjadi di Arena Pacuan Kuda Panda, 9 Maret 2022 lalu. Ini bukan kali pertama.

Ada pula laporan dugaan tindak pidana yang diajukan sebuah lembaga di Polda NTB. Semua sibuk dengan pikiran dan kepentingan masing-masing. Di media pun ramai. Poinnya hanya dua: eksploitasi dan tradisi.

Tradisi ini panyak penyukanya. Salah satunya, Gubernur NTB, Dr H Zulkieflimansyah. Lainnya, anggota DPRD dan para pengusaha. Wali Kota Bima, H M Lutfi, SE juga punya kuda-kuda pacuan. Mereka hobi sekali. Saking hobinya, mereka rela merogoh saku lebih dalam untuk merawat dan memburu kuda-kuda hebat. Bukan hanya prestasi di arena pacuan kuda. Yang lebih tinggi, prestise.

Kinii makin ramai, tatkala Bupati Bima, Hj Indah Dhamayanti Putri, SE mengeluarkan Surat Edaran (SE) pelarangan penggunaan joki cilik pada balapan kuda. SE itu pasti ditanggapi beragam. Pro juga kontra.

Bagi penyuka pacuan kuda, ini tentu momok yang harus ditentang keras. Dalilnya, joki cilik itu tradisi. Itu budaya yang harus dilestarikan. Bahkan ada yang menuding Bupati Bima arogan karena mengeluarkan SE nomor 709/036/05/2022 itu.

Poin 5 SE yang ditandatangani 9 Juli 2022 itu, tegas menyebutkan: hentikan eksploitasi penggunaan joki cilik (anak usia < dari 18 tahun) dalam pacuan kuda, karena melanggar HAM dan akan kehilangan hak dasar anak.

Apakah menjadikan anak-anak sebagai joki termasuk jenis ekploitasi anak yang dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Anak?

Eksploitasi anak merujuk pada suatu tindakan penggunaan anak untuk manfaat orang lain, kepuasan atau keuntungan yang sering mengakibatkan perlakuan tidak adil, kejam, dan berbahaya terhadap anak. Pada penjelasan Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan; perlakuan ekploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.

Jika joki cilik itu, masuk kategori eksploitasi sebagaimana yang dimaksud Pasal 13 huruf b, maka perbuatan tersebut diancam Pasal 88. ‘’Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Perdebatan joki cilik antara eksploitasi dan tradisi, sudah lama bergaung. Pada 2021, Didi Rohmanuddin, mahasiswa Magister Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gajah Mada telah meneliti tentang ini. Dia telah melakukan wawancara mendalam terhadap semua pihak yang terlibat dalam joki cilik di Bima.

Hasil riset ini menentang pandangan universal bahwa pekerja anak (anak yang menjadi joki) merupakan aktivitas yang merugikan dan merusak kesejahteraan anak-anak. Melainkan harus memperhatikan konteks lokal dan mendengar lebih dekat pandangan anak-anak dan orang tuanya tentang sisi positif dan manfaat atas aktivitas mereka. Dalam hal ini praktik joki cilik yang telah menjadi budaya turun- temurun dalam masyarakat.

Penelitian ini lebih melihat pada bagaimana praktik joki cilik ini dimaknai secara kultural oleh masyarakat setempat, di mana masa kanak-kanak tidak dapat dimaknai secara tunggal.

Kasus meninggalnya joki cilik lain sebelumnya, pernah terjadi di arena pacuan kuda Sambi Na’e, Kota Bima. Kasus yang terjadi pada 14 Oktober 2019 itu, telah mengundang perhatian luas. Kementerian PPPA dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun melakukan kunjungan ke Kota Bima. Mereka bertemu dengan sejumlah pihak. Wali Kota Bima, para joki cilik, pemilik kuda, masyarakat sekitar dan orang tua joki cilik.

Hasil kunjungan itu, dilanjutkan dengan Rapat Koordinasi Teknis (Rakor) Perlindungan Anak pada Pengembangan Minat dan Bakat dalam Konteks Tradisi di Kota Mataram, 5-6 November 2019. Kesimpulan rakor; joki cilik dilarang. Anak hanya boleh mengikuti pacuan kuda sebagai bagian dari olahraga yang bersifat eksibisi dengan standar perlengkapan dan prosedur yang memastikan keselamatan anak.

Selain itu, Pembuatan Peraturan Daerah Provinsi NTB, terkait penyelenggaraan Pacuan Kuda yang melibatkan anak. Perda itu, mengatur perizinan, standar, prosedur dan sanksi bagi penyelenggara.

Apa kata Pordasi terkait ini: Wakil Ketua Umum Pordasi, Widodo Edi S menjelaskan, eksploitasi anak dan penyaluran bakat olahraga usia dini adalah hal yang berbeda.

‘’Eksploitasi anak adalah perbuatan menghilangkan hak-hak anak, sedangkan pembinaan usia dini adalah dalam rangka menyalurkan bakat yang dimiliki anak, sehingga perlu dicarikan solusi terbaik agar kita tetap bisa melakukan pembinaan prestasi usia dini tanpa melakukan eksploitasi anak’’ tegas Widodo seperti dikutip liputan6.com.

Pecinta kuda di Bima pun bereaksi. Fahrir HM Noor menyebut semua keluarga besar pecinta kuda bukan hanya di NTB, di NTT pun menolak dan kecewa dengan SE Bupati Bima. Seperti dikutip Kahaba.net, mereka mengancam akan melakukan aksi jika SE tidak segera dicabut.

Gubernur NTB, Dr Zulkieflimansyah kendati tidak setuju dengan joki cilik, tetapi karena sudah menjadi tradisi butuh waktu untuk mengubahnya. Tidak bisa serta merta, butuh proses.

Setiap kebijakan pasti ada resistensi. Perlu kajian mendalam soal ini. Melestarikan tradisi atau ada dugaan aksploitasi, harus dibuatkan batas-batas yang jelas. Batasan-batasan itulah yang akan menjadi garis tengah dua kepentingan yang berbeda kutub itu. Bagaimana menurut Anda? (khairudin m.ali)

 

 

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

CATATAN KHAS KMA

Mampir di Hotel INI perjalanan hari empat bagian ke dua. Catatan perjalanan ini, memamg diturunkan berdasarkan hari perjalanan. Tetapi hari ke empat ini, ternyata...

CATATAN KHAS KMA

JUDUL webinar nasional ini, kesannya serem. Serem banget! Bisa jadi karena ini, ada yang enggan menjadi peserta. Terutama dari kalangan pemerintah. Kendati begitu, pesertanya...

CATATAN KHAS KMA

BEBERAPA hari ini, media ramai memberitakan penggunaan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengganti kupon undian pada pawai Rimpu. Itu sederhana sekali. Alasan penyelenggara, untuk...

CATATAN KHAS KMA

  SAYA ini kadang iseng. Bertanya kepada orang lain tentang cita-cita masa kecil seseorang. Itu agak privasi. Bisa jadi juga, itu rahasia. Tidak pernah...

CATATAN KHAS KMA

  ‘’SAYA mau tes daya ingat pak KMA,’’ katanya kepada saya suatu waktu. KMA itu, singkatan nama saya. Belakangan, semakin banyak kawan yang memanggil...