SEBELUM benar-benar lupa, saya mau menulis ini: Gempa Lombok. Sepekan lagi, itu empat tahun lalu. Tetapi trauma saya (ternyata) belum juga hilang.
Sudah pukul 01.00 Wita, saya belum berhasil memejamkan mata. Padahal kalau di rumah, saya biasa mulai naik tempat tidur pukul 21.00 Wita. Jika ditambah mengobrol dengan istri dan lihat-lihat group WhatsApp (GWA), paling telat pukul 22.00 Wita, sudah lelap. Berharap bisa bangun lebih cepat.
Di GWA, saya masih sempat ngobrol dengan anak-anak dini hari itu. Putri saya yang di Polandia dan adiknya di Malang tanya. ‘’Kok ayah belum tidur jam segini?’’
Rupanya, saya masih trauma. Bayangan peristiwa gempa dahsyat Lombok empat tahun lalu, menghantui saya. Itu terjadi begitu saja. Saat saya menginap di lantai tiga hotel Santika. Lantai yang sama dengan hotel Fortune empat tahun lalu. Saat Lombok diguncang gempat hebat.
Saya merasa sangat takut untuk memejamkan mata. Saya membayangkan (lagi). Jika gempa terjadi (lagi). Ke arah mana saya akan evakuasi diri. Ini trauma berkepanjangan.
5 Agustus 2018
Siang hari, saya menghadiri pesta pernikan keponakan saya. Namanya Nurul Maulina Utami. Jodohnya, pria gagah asal Sikur Lombok Timur, Mario Sigit. Anggota Korps Brimob Polri.
Usai pesta, saya kembali ke hotel. Tiduran, tarik selimut, seting AC dingin sedang, nyalakan televisi. Karena saya termasuk musafir, saya manfaatkan kemudahan. Shalat ashar saya gabung dengan dzuhur. Aman, bisa tiduran sampai menjelang magrib.
Pukul 17.30 Wita, saya bangun. Mandi kemudian merapikan tempat tidur. Ini tidak biasa saya lakukan saat menginap di hotel. Setelah beres, saya abadikan dengan ponsel. Klik… klik…. klik….. Tiga kali dari berbagai sudut, sambil menungu waktu shalat magrib, pukul 18.16 Wita.
Biasanya, usai shalat saya akan berbaring malas. Kembali sambil menonton televisi. Karena saya bukan orang suka jalan. Tetapi kali ini berbeda. Saya turun dan nongkrong di mini market Alfa Mart jalan Pejanggik Cakranegara.
Tidak lama, saya teringat aplikasi Gojek yang saya unduh di android tadi pagi. Baru tadi siang saya pakai untuk pesan mobil. Itu untuk pertama kali. Saya ingin coba lagi, saya pesan motor. Pilihan saya menuju rumah keponakan yang pesta tadi siang itu. Alamatnya di Karang Baru.
Ada banyak keluarga dari Runggu di sana. Pasti ramai, bercerita banyak hal. Rumpi keluarga. Itu saat paling indah.
Saya tiba hanya beberapa saat sebelum adzan isya berkumandang. Pada pukul 19.29 Wita, masjid di Monjok, pas sebelah sungai mulai mengumandangkan adzan. Sebagai musafir, saya masih menggunakan kemudahan. Aman, shalat isya sudah digabung dengan magrib tadi. Saya pun mengobrol bebas dengan keluarga yang ramai itu. Saya duduk di kursi, yang lainnya nyaman di lantai. Banyak hal yang dibahas. Namanya juga kumpul keluarga. Yang tidak penting saja, keluar semua.
Setelah terdengar iqamah dan saat jamaah melaksanakan shalat isya pada pukul 19.46 Wita, tiba-tiba muncul guncangan. Kuat sekali. Saya lari ke jalan. Semua orang berteriak. Histeris. Mereka berhamburan keluar rumah, mencari tempat terbuka. Guncangannya tak jua berhenti. Adik ipar saya yang baru menikahkan putrinya, juga histeris. Dia ingat anak pertamanya itu, sedang di hotel bersama suaminya. Cukup lama. Suaminya berupaya untuk menenangkannya. Saya pun tidak bisa pamit. Kacau semua.
Kami hanya berdoa. Saya baru alami guncangan gempa yang begitu hebat. Notifikasi masuk ke android saya. Gempa itu ternyata 7,0 SR. Ini gempa terhebat sepanjang hidup saya. Saya pikir, pasti banyak kerusakan. Juga pasti banyak korban jiwa. Pusat gempa di Lombok Utara. Di Kota Mataram saja begitu dahsyat. Apalagi di pusatnya. Di Bima pun, kata istri saya terasa juga.
Kepanikan tidak bisa dihindari. Orang-orang berteriak. Berlarian ke sana ke mari menyelamatkan diri dan keluarga. Ada kabar, air laut meluap di pantai Tanjung Karang Ampenan. Semua orang berlari ke arah timur.
Saya menghubungi Asrul Sani. Kami kebetulan sedang sama-sama ikut seleksi calon anggota Bawaslu Kota Bima. Selain saya, ada Rhirien Adriani, Fatmatul Fitriah, Rico Johendri, Mardian Andriani, dan kawan-kawan anggota Panwaslu Kota Bima. Saat itu, lembaga pengawas Pemilu, berubah menjadi Badan Pengawas, yang sifatnya permanen. Lima tahun, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sekitar pukul 20.30 Wita, Asrul menjemput saya di Karang Baru. Dia memakai motor keponakannya yang tinggal di Kekalik. Dia juga nginap di sana selama proses seleksi itu. Rencananya, kami akan ke hotel tempat saya menginap di Cakranegara.
Sepanjang jalan dari Karang Baru ke Cakranegara macet. Motor dan mobil sulit bergerak. Orang-orang yang panik tumpah di jalan. Ribuan orang itu berlari ke arah timur. Ada isu tsunami. Mereka menuju tempat yang lebih tinggi di Cakranegara. Bahkan ada yang hendak ke Narmada.
Kami berdua memutuskan untuk terus ke timur. Melewati hotel Fortune, tempat saya menginap. Kami abadikan kepanikan itu dengan smartphone. Menakutkan.
Pukul 23.00 Wita, jalanan sudah mulai longgar. Ada mobil penerangan polisi yang menanangkan warga. Tidak ada tsunami, warga diminta kembali ke rumah masing-masing.
Kami lapar. Ternyata tidak lagi banyak lapak yang buka. Ada satu warung yang sedang diserbu di depan Mataram Hotel. Syukurnya, kami berdua dapat bagian juga untuk mengganjal perut malam itu.
Saya ajak Asrul untuk ke ke hotel. Betapa kagetnya saya. Hotel itu benar-benar berantakan. Kaca, ornamen dinding, plafon, dan keramik sudah hancur. ‘’Maaf pak, tamu sudah keluar semua. Hotel tidak bisa dipakai untuk menginap,’’ kata petugas hotel kepada saya.
Saya bilang, saya tamu yang menginap di lantai tiga. Setelah diverifikasi, dia mengizinkan saya untuk mengambil barang-barang di kamar. Saya naik, lift tidak bisa dipakai. Saya harus melangkah dengan sangat hati-hati sekali. Pecahan kaca, pecahan granit, keramik, dan lepasan gypsum plafon menghambat langkah saya.
Tiba di kamar, saya begitu kaget. Kamar yang sudah saya rapikan itu, bukan hanya acak-acakan. Tetapi sudah jungkir balik. Saya mencari laptop yang saya letakkan di atas meja, begitu lama. Ternyata di bawah tempat tidur. Begitu juga dengan barang lain.
Saya membayangkan, bagaimana paniknya jika saja saya tidak pergi ke rumah keponakan itu. Apakah saya akan bertahan di kamar lantai tiga itu? Ataukah akan keluar dan turun ke bawah. Mau pakai lift pasti akan macet. Atau lewat tangga darurat yang sudah penuh dengan pecahan granit, gypsum, dan keramik. Mengerikan!
Bagitu dahsyat gempat yang menelan korban jiwa lebih dari 500 orang dan kerugian hingga Rp5 triliun itu. Ribuan orang pun terluka dan kehilangan tempat tinggal.
Anda bisa bayangkan, barang yang saya letakkan di atas tempat tidur, sudah terlempar ke bawah meja.
Saya akhirnya keluar dari hotel itu. Belum membayar administrasinya. Pun sampai sekarang. Saya harus mencari hotel lain. Dalam pikiran saya, tentu bukan lagi hotel bertingkat. Yang penting ada kamar, ada tempat tidur. Pilihannya, hotel Arca di Cakranegara. Saya bertahan di Mataram, karena saya harus beberapa hari lagi mengikuti tahapan seleksi Bawaslu.
Di hotel Arca, saya mengamati jalur evakuasi. Dari kamar saya, jika harus lari keluar saat terjadi gempa susulan, saya harus berlari ke arah mana. Ataukah lebih aman jika saya tetap diam saja di dalam kamar misalnya. Saya harus benar-benar waspada. Ajal di tangan Allah SWT, tetapi manusia wajib berikhtiar.
Saya amati serius. Karena ini bangunan khas Bali, ada hiasan ujung bubungan atap yang terlihat cukup berat kalau terjatuh. Bila menimpa seseorang, kecil peluangnya untuk selamat. Itu letaknya di kamar utara. Pas kalau saya keluar dari kamar, jatuhnya pasti depan kamar saya. Ini terus saya ingat. Tidak boleh panik dan lari keluar kalau ada gempa susulan. Harus ingat!
9 Agustus 2018
Pukul 11.30 Wita, seperti biasa saya harus makan siang. Juga siang itu di Mataram. Saya pun berjalan ke arah Mataram Mall untuk cari makan siang. Di timur Ruby Supermarket, ada warung langganan saya. Murah, lumayan beersih.
Saya pesan paha ayam kampung dan sambal ijo. Juga sayur nangka, dicampur. Usai makan, saya tidak langsung pulang. Saya jalan-jalan ke mall dan membeli nenas madu kupas yang dijual di pinggir jalan. Saat jalan pulang, nenas itu pun saya makan.
Tiba di hotel pukul 13.10 Wita. Saya buka kamar, nyalakan AC, tetapi tidak masuk kamar. Saya ingin duduk santai sambil menghabiskan nenas kupas. Pintu kamar saya biarkan terbuka. Agar hawa AC kamar terasa juga di teras itu.
Pukul 13.25 Wita, bumi tiba-tiba berguncang lagi. Gempa lagi. Besar pula. Tidak jauh dengan gempa yang terjdi pada Ahad, 6 Agustus 2018 itu.
Saya kaget luar biasa. Takut tentu saja ada. Saya hendak lari keluar. Ke tempat terbuka di halaman hotel. Itu tempat yang aman. Saya sudah berdiri di ujung teras. Selangkah lagi, saya akan keluar. Tiba-tiba, kesadaran saya muncul. Saya tidak jadi melangkah. Tidak boleh lari keluar, tidak aman. Ada bubungan atap yang bisa saja jatuh akibat guncangan gempa itu. Barang itu memang berhasil lolos pada guncangan gempa pertama, tetapi bisa jadi sudah ada retakan.
Saya putuskan kembali ke kamar. Saat saya berbalik, suara keras menghantam tanah tepat di depan tempat saya berdiri tadi. Hanya hitungan detik dengan saat saya berbalik. Hiasan bubungan itu. Yang saya ingin hindari itu. Benar-benar rontok juga. Diguncang gempa yang kekuatannya lebih kecil, 6,2 SR. Pun, guncangannya juga terasa sampai Bima.
Tetapi saya belum waktunya. Allah masih melindungi. Masih diberi kesempatan untuk menghirup udara. Kesempatan untuk bersama keluarga, juga para sahabat, dan tetangga. Allah SWT kuasa atas hidup dan mati kita.
Gempa susulan itu, lagi memakan korban. Hernawati, 40 tahun, karyawati Mulia Travel yang hanya berjarak 100 meter dari tempat saya menginap, meregang nyawa. Panik dan berlari keluar. Ia tertimpa reruntuhan kanopi kantornya.
Usai kejadian itu, saya akhirnya memutuskan menginap di kos ponakannya Asrul, di Kekalik. Hingga proses seleksi Bawaslu usai. Pada 11 Agustus 2018, saya kembali ke Bima. Saya diantar pengantin baru, ponakan yang nikah di hari tragedi itu ke bandara Internasional Lombok. Saya boarding pukul 12.50 Wita dan tiba di Bima pukul 13.55 Wita dengan selamat. Begitu kangen dengan anak istri. Apalagi setelah mengalami tragedi itu di kampung orang. Walau kampung itu pernah saya diami 16 tahun.
Itulah tragedi kemanusiaan yang paling banyak makan korban jiwa di Lombok sepanjang abad ini. Trauma itu, masih saja terbawa-bawa. Ternyata hingga kini. Tidak mudah melupakannya. Padahal tidak sedikit pun saya memikirkannya. Saya berharap, kita melupakan dukanya. Itulah sejarah hidup! (khairudin m ali)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.