Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Pernyataan Ketua KPK, Tidak Ada Lagi Anggota DPRD Bermain Pokir

Oleh : Munir Husen

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bima)

Istilah pokir DPRD sudah dikenal sejak tahun  2010, namun tidaklah membumi seperti saat ini. Contoh kasus polemik Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama saat itu vs DPRD berimbas pada molornya pembahasan RAPBD tahun 2015. Salah aitem RAPBD DKI adalah Pokir DPRD. Dan saat itulah terminologi Pokir DPRD mulai dikenal luas oleh masyarakat.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama tidak mau mengakomodir Pokir anggota DPRD dalam rancangan anggaran pendapatan biaya daerah  DKI Jakarta. Hal ini menjadi pemicu perdebatan antara eksekutif dan legislatif. DPRD DKI Jakarta menilai bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki cahaya Purnama telah melanggar aturan.

Memang Pokir DPRD memiliki legalitas, jika tidak diakomodir oleh kepala daerah bisa diuji kebenarannya pada lembaga peradilan, atau paling ekstrim dewan bisa menolak pembahasan RAPBD yang diusulkan oleh eksekutif. Jadi Pokir itu bukan karena light and dislike, namun amanat UU yang harus diakomodir oleh eksekutif.

Pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri  dimedia online dan cetak, agar anggota DPRD tidak ada lagi yang bermain Pokir. Hal ini sangat menarik untuk dikaji  dari aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu dalam conteks law in book and law action.

Sebab pokir DPRD itu, sejatinya bukan atas kemauan dan syahwat politik anggota DPRD, bukan pula ambisinya angggota DPRD, dan bukan wujud keserakahan anggota DPRD, melainkan amanat undang-undang untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat. Sehingga persoalan pokir DPRD bisa didudukan secara proporsional dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Regulasi Pokir DPRD dalam prespektif lawan in book sebagai norma bersifat khusus,  diatur didalam UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dan

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata cara Evaluasi Rancangan daerah. Kedua regulasi tersebut menjadi pedoman bagi anggota DPRD, dalam rangka menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Penyerapan aspirasi masyarakat melalui reses DPRD sebagai implementasi Pokir dengan merujuk UU No. 23 Tahun 2014 di pasal 161 huruf i, j dan k. yaitu DPRD : i. Menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja sukarela. j. Menampung dan menundaklanjuti aspirasi dan pengaduaan masyarakat. k. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstiten didaerah pemilihannya.

Sedangkan didalam Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, terdapat 7 pasal yang mengatur tentang Pokir yaitu : Pasal 178 ayat (1) Permendagri tentang Penelaahan Pokir merupakan kajian permasalahan pembangunan daerah yang diperoleh dari DPRD berdasarkan risalah rapat dengar pendapat dan/atau rapat hasil penyerapan aspirasi melalui reses.

Kedua peraturan tersebut baik UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah maupun Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, sama-sama mengatur tentang Pokir DPRD. Sehinga kedua regulasi tersebut terjadi titik taut harmonisasi dan sinkroniasi peraturan yang mengatur Pokir DPRD.

Pelaksanaan Pokir DPRD menjadi program unggulan tertuang di APBD, dilaksanakan oleh eksekutif tanpa intervensi DPRD, melalui dinas terkait sesuai usulan DPRD pada saat pembahasan RAPBD, maka tugas DPRD adalah melakukan pengawasan terhadap eksekutif selaku eksekutor agar implementasi Pokir DPRD sebagai aspirasi dapat dirasakan dan dinikmati oleh masyarat.

Untuk menjaga kemurnian perjuangan wakil rakyat serta konsisten terhadap tugas, anggota DPRD wajib melaksanakan tiga fungsinya sebagaimana yang diatur secara khusus di dalam UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Tata Tertib Dewan

Tiga (3 fungsi DPRD yaitu 1. fungsi legislasi yang berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah (Perda), 2, Fungsi anggaran adalah merupakan salah satu fungsi DPRD dalam menyusun dan menetapkan APBD secara bersama dengan pemerintah daerah. dan 3. Fungsi pengawasan berdasarkan pasal 153 UU No. 23 Tahun 2014.

Adapun terkait dengan fungsi pengawasan oleh DPRD adalah : 1. Pelaksanaan Perda dan Peraturan Kepala daerah, 2. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintah daerah dan 3. Pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK.

Baik UU Pemda maupun Permendagri yang mengatur Pokir DPRD mempunyai korelasi satu dengan lainnya. Bahkan kedua regulasi yang mengatur Pokir tersebut ada titiktaut harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Harmonisasi peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai proses penyelarasan atau penyerasian perundang-undangan yang hendak atau sedang disusun, agar peraturan perundang-undangan yang dihasilkan sesuai prinsip-prinsip hukum dan peraturan perundang-undangan yang baik.

 

Sedangkan sinkronisasi hukum adalah penyelarasan dan penyerasian peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur bidang suatu bidang tertentu.

Maksud dari sinkronisasi adalah agar subtansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi, saling terkait, dan semakin rendah jenis peraturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya (https://sultra.bpl.go.id).

Jika Pokir DPRD dilihat dalam konteks law in action, maka tidak ada kewenangan anggota DPRD untuk mengelola sendiri anggaran meskipun memiliki jatah Pokir. Hal tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, serta melanggar etika dan kepatutan. DPRD tidak memiliki freies ermessen (diskresi) didalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Jika anggota DPRD turut melaksanakan  program Pokir, sementara disisi lain DPRD memiliki hak pengawasan, maka akan terjadi konflik intrerest yaitu keadaan dimana seseorang akan mengutamakan kepentingan pribadi dibanding kepentingan umum. Dan model kontroling DPRD semacam adalah sebagai bentuk Penyalahgunaan kekuasaan.

abuse of power, merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh sesorang pejabat publik atau penguasa dengan agenda kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan kelompok atau koroprasi (Jurnal  PUBLIKa : vol. 3 : 2017).

Ada beberapa hal yang menjadi perhatian bagi anggota DPRD sebelum terjerat pada persoalan hukum yaitu penyalahgunaan kekuasaan terhadap implementasi Pokir, perlu dipikirkan secara matang dan teliti agar tidak terjadi persoalan hukum dikemudian hari.

Contoh kasus sebagai sampel bahwa dana Pokir rawan Penyalahgunaan, Ilham maulana, dicopot dari Wakil Ketua DPRD Padang oleh Partainya (https://regional.kompas.com/buntut-kasus-korupsi dana-pokir tanggal 11/07/2022). Kejaksaan negeri Garut kembali lanjutkan penyidikan perkara pokir Dewan Periode 2014-2019 (https://www.liputan6.com).

Jika hal ini tidak diindahkan terhadap resiko yang terjadi pelaksanan dana Pokir, maka cepat atau lambat akan terjadi kasus-kasus korupsi dijagad DPRD baik secara pribadi maupun kolektif. Hindari, Hindari dan Hindari.

Didalam implenetasi Pokir perlu ada pembatasan domein yang jelas tidak pada gray area yang samar seperti warna abu-abu, namun harus jelas sehingga tidak terjebak pelaksanaan pokir seperti pola tukang cukur. Artinya tukang cukur mulai lindungi bahu dengan kain, kemudian mencukur, merapikan dan membersihkan dan finalisasinya adalah jasa cukur. Institusi tidak boleh mempraktekan adminstrasi tukang cukur.

Kerancauan diseputar program Pokir anggota DPRD perlu diluruskan. Karena kekeliruan ini memicu misleding dalam memahami Pokir. Pokir adalah amanat undang-undang. Hanya saja DPRD jangan ikut menetukan besaran rincian anggaran suatu program. Hak DPRD hanya berperan sebagai pengusul Pihak yang berwenang menentukan besaran jumlah anggaran adalah ekesekutif, dalam hal ini SKPD terkait yang mengurus bidang yang sesuai dengan program usulan yang dijaukan oleh masyarakat (https://jamberita.com).

Jadi solusi yang paling ideal menjadi aggota DPRD agar terhindar dan dijauhkan dari malapetaka abose of power, kembalikan roh fungsi DPRD sebagaimana yang tertuang didalam UU Pemda, itulah fungsi kita pada tataran law in book and law in acation…!

Allahul Musta’an

Fastabiqul khairat

 

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Advertisement

Berita Terkait

Opini

Oleh : Munir Husen Dosen Universitas Muhammadiyah Bima   Pembangunan Masjid Agung Al Muwahidin awalnya inisiatif mantan Bupati Bima Drs. H. Zainul Arifin (Abu...

Opini

Oleh : Munir Caleg PKS Dapil III Asakota   Kunjungan Pj. Walikota Bima dengan pejabat OPD 15 Januari 2024 di Istana Wapres diterima oleh...

Opini

Oleh : Munir (Caleg PKS Dapil III Asakota) Pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil presiden dan DPRD...

Opini

Oleh : Munir Caleg PKS Dapil III Asakota Kelurahan Melayu Kec. Asakota luas wilayahnya 102,03 Ha/M2 jumlah penduduk 5.700 jiwa, tersebar di 15 RT...

Opini

Oleh : Munir Caleg PKS Dapil III Asakota   Pemimpin dan rakyat bagaikan dua sisi matauang, sulit dipisahkan satu dengan lainnya.Tidak ada pemimpin tanpa...