Tengah pekan lalu, sorotan mengenai oknum pejabat yang pernah menghuni penjara dalam kasus korupsi dan dilantik oleh Bupati Bima, Hj Indah Dhamayanti Putri, muncul dalam pemberitaan. Legislator yang menyuarakannya. Media jejaring sosial Facebook juga ramai. Reaksi itu merujuk pada Lukman yang dilantik menjadi Sekretaris Dinas Dikpora. Jamaah Facebook cuap-cuap dalam argumentasi dari sudut pandang masing-masing. Suatu dinamika Media Sosial yang lumrah ketika menanggapi suatu peristiwa. Semangat yang terbaca adalah menyorot kebijakan itu karena menafikan ‘sensivitas sudut etika’.
Legislator “membenturkannya” pemilihan oknum pejabat itu dengan Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012. Isinya mengingatkan Kepala Daerah, sebelum memilih PNS ke dalam jabatan struktural, harus merujuk dan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP 4/1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri. Selain itu, PP 44/2011 tentang Pemberhentian PNS, PP 13/2002 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural, dan PP 53/2010 tentang Disiplin PNS.
Lalu apa kata Bupati Bima? “Penempatan dan pelantikan sudah sesuai aturan”. “Sudah melalui proses panjang dan kerja keras”. “Semua pihak boleh dan berhak memiliki pendapat soal itu”. Kurang-lebih hanya tiga kalimat yang terucap merespons sorotan publik itu. Jelas kurang detail! Tetapi, itulah stok pilihan kata Bupati saat itu untuk menjawab pertanyaan wartawan soal urgensi memilih Lukman.
Tentu terusung tanda-tanya. Ada apa dengan Lukman? Mengapa harus ‘duduk manis’ di Dinas Dikpora, padahal masih bejibun pejabat yang tidak bermasalah sebelumnya dalam suatu kasus. Jika ditarik ke belakang, meski terbandrol status tersangka, masih nyaman di kursi saat kepemimpinan Bupati sebelumnya. Paling tidak, mereka ‘dipinggirkan’ atau dinonjobkan dulu sambil menunggu keputusan hukum yang inkrah. Atau seperti saran legislator, mereka dibiarkan pada posisinya hingga pensiun menjemput.
Keputusan menempatkan mantan Napi pada SKPD yang mengelola pendidikan, pada satu sisi sudut tilikan, memang kontroversial. Bupati sebaiknya memaparkan lebih jauh alasannya. Memang suatu hak! Tetapi menjadi buah bibir publik adalah fakta lain. Tim Baperjakat juga harus dimintai penjelasan soal itu, apa pertimbangannya melirik Lukman di dinas itu.
Kekuatiran bersama adalah ‘bisik-bisik tetangga’ soal posisi Lukman ini (bisa saja) mengurangi derajat wibawa dan kepercayaan publik terhadap SKPD yang kini dinakodai Supratman itu. Khususnya lagi, tingkat respek seluruh jajaran pendidikan saat berinteraksi…(*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.