Ada pemandangan yang terlihat di sekitar kita akhir-akhir ini di Kota Bima. Sejak sekitar sebulan terakhir, anak-anak mengandrungi sepatu roda. Harganya sekitar Rp250 ribu hingga Rp500 ribu. Mereka terlihat pada siang, sore hari, dan hari Minggu di jalanan, berselancar hingga ke ruas jalan protokol. Kegandrungan yang tentu saja memberi celupan warna sosial baru. Perlu disimak sebagai suatu dinamika baru anak-anak daerah ini. Harus diakui, dunia anak-anak itu, ya bermain. Anak sukanya bermain. Bermain itu “nyawanya” anak-anak. Bahkan, haknya anak-anak yang harus diberi ruang ekspresinya. Namun, tetap saja ada sisi yang perlu dicermati oleh kaum dewasa agar kecenderungan baru itu tidak malah mematikan potensi dan membahayakan mereka.
Seperti diingatkan oleh Pekerja Sosial Profesional Kementerian Sosial RI untuk Kota Bima, Abdul Rahman Hidayat, fenomena yang melingkupi anak-anak itu harus diwaspadai oleh orang tua agar tidak membahayakan ‘buah hatinya’. Mereka harus diawasi, karena menyasar ke ruang yang lebih luas hingga jalanan protokol. Ketidakseimbangan tubuh mereka bisa fatal, karena beradu dalam hiruk-pikuk jalanan. Bersepatu roda memang suatu olah raga tersendiri, namun kehatia-hatian dalam segala aspeknya adalah keniscayaan.
Ya, fenomena yang muncul adalah bocah-bocah itu masih setia bersama peralatannya saat waktu shalat, bahkan hingga semburat merah muncul di kanvas langit memasuki Magrib. Harus mulai dikuatirkan mereka tidak lagi setia dengan jadwal shalat dan mengaji, tetapi larut dalam permainan jalanan. Meliuk-liuk di ruas aspal. Bagi anak-anak Muslim, kondisi seperti itu sangat berbahaya, karena terninabobokan oleh permainan. Orang tua selayaknya melihat sisi ini untuk dijadikan bahan renungan.
Aspek lain yang diharapkan tidak terjadi adalah gejala demonstration effect. Sosiologi membahasakannya sebagai efek peniruan oleh masyarakat dalam mengonsumsi barang, karena terpengaruh oleh pola konsumsi kelompok masyarakat lain yang lebih kaya atau berpenghasilan tinggi. Efek peniruan ini sebenarnya lumrah saja dilakukan, namun terkadang masyarakat memaksakan diri memenuhi hasrat konsumsinya, walaupun sebenarnya tidak memerlukannya. Misalnya, keluarga yang sebenarnya belum memiliki penghasilan yang cukup, memaksakan diri memberikan gadget canggih kepada anak-anaknya, semata-mata agar tidak dibilang kurang gaul oleh teman-temannya. Atau cenderung ikut-ikutan karena anak-anak lain diberikan gadget serupa oleh orang tuanya. Nah, apakah dalam segmen sepatu roda di daerah ini termasuk di dalamnya? Entahlah!
Hal yang pasti, mari kita selektif terhadap anak-anak kita. Ya permainannya, pergaulannya, dan kecenderungan yang melupakannya dari pengemblengan nilai moral, nilai sosial, dan nilai agama. Masa mereka inilah penanaman itu digencarkan, karena akan mengendap kuat dalam bangunan kesadaran. Bukankah injeksi nilai dan pelajaran saat kecil ‘ibarat menulis di atas batu, sedangkan saat dewasa ibarat menulis di atas air’? (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.