Connect with us

Ketik yang Anda cari

Dari Redaksi

Rekor MURI itu…

Beginilah suasana pawai adat Rimpu, Saremba dan Katenta Tembe yang dihadiri puluhan ribu peserta Sabtu lalu di lapangan Beringin Dompu. Rekor MURI pun diraih.

PEMERINTAH dan masyarakat Kabupaten Dompu kini sedang larut dalam euforia meraih penilaian Museum Rekor Indonesia (MURI). Sabtu lalu, pawai tarian adat Rimpu, Saremba dan Katente Tembe tercatat dalam buku lembaga milik Jaya Suprana itu. Peserta mencapai 27.000 lebih. Menyemuti lapangan Beringin dan membludaki jalanan rute pawai. Eksplorasi tenunan adat yang menyatu antara pemimpin dan rakyat menawarkan semangat baru. Apresiasi positif bermunculan. Meski ada yang menyentil, agar tidak hanya sekadar kebanggaan belaka.

Sebelumnya rekor Sebelumnya, tahun 2015 lalu diraih dalam acara Tambora Menyapa Dunia (TMD). Artinya untuk keduakalinya ditorehkan oleh masyarakat Dompu. Menohok prestasi nasional, memang membanggakan. Meski demikian tidak boleh berhenti di situ, harus bersatu pula dalam memertahankan dan meningkatkannya. Dompu memang bergeliat dalam sejumlah pencapaian akhir-akhir ini. Ada semangat yang digelorakan pemimpin, memasuki sisi pertanian, perkebunan, dan Sabtu lalu itu dalam peneguhan nilai budaya-pariwisata.

Paling tidak ada tiga sisi menarik yang bisa dielaborasi dari pertemuan kolosal beraroma khas daerah itu. Pertama, penonjolan sisi positif budaya. Rimpu memang menawarkan pesona tersendiri dalam khazanah budaya negeri. Suatu kekayaan daerah yang menyimpan nilai pesan dan etika. Tinggal sekarang bagaimana menjaga dan melestarikannya. Kaum muda masih perlu dibumikan lagi soal ragam dan cara memakainya yang tepat agar selaras dengan simbol yang ditampilkan. Sebagaimana pesan rimpu itulah sejatinya wanita-wanita Mbojo-Dompu membalut diri dalam busana syar’i ketika berinteraksi dalam dinamika sosial kemasyarakatan.

Dari titik ini, tentu saja akan gagal dipahami jika hari ini (bahkan sudah beberapa tahun) wanita Mbojo-Dompu telah berani akting ‘Bupati’–Buka Paha Angkat Tinggi-Tinggi’ di atas sepeda motor. Suatu lompatan set back yang menguatirkan. Nah, esensi Pawai Rimpu itu sebagai tamparan bagi mereka yang nekat memakainya dan mendegradasi nilai-nilai kearifan lokal.
Lalu, terbingkainya kegiatan dalam promosi kepariwisataan. Pesona Gunung Tambora selayaknya terus dibangkitkan, terutama kepada generasi muda. Tambora yang mengguncang bumi Eropa selama berbulan karena letusannya itu tidak boleh asing bagi warga sekitar. Tetapi, menjadi sumber inspirasi dan kreasi baru. Hari letusan yang menghentak hebat itu kemudian mengilhami momentum Hari Jadi Dompu.

Sisi lainnya adalah terkonsentrasinya massa dalam jumlah banyak seperti itu, merupakan sinyal kekuatan (isu) budaya yang bisa menjadi potensi luar biasa bagi pembangunan daerah. Budaya yang terjaga rapi dalam kedalaman dimensinya, menjadi penopang pembangunan. Tugas bersamalah yang kini ditunggu, bagaimana mengekspresikannya di lapangan karya.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Pascagegap-gempita tarian adat Rimpu, Saremba dan Katente Tembe akhir pekan lalu itu, semoga muncul kesadaran baru dalam letupan makna dan kreasi promosi wisata. Hentakan semangat melestarikan dan kesediaan memaknai nilai budaya dalam keseharian hidup. Semoga! (*)

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait