Connect with us

Ketik yang Anda cari

Opini

Quo Vadis Kabupaten Bima; Refleksi Kritis 377 Tahun untuk Bangkit

Oleh: Dr. Karyadin

Dr Karyadin

Dalam kalkulasi usia, Kabupaten Bima telah melintasi perjalanan sejarah yang amat panjang. Bahkan mengalami masa-masa timbul tenggelam yang dalam perspektif ilmu negara disebut teori timbul tenggelamnya negara. Menurut teori kekuasaan bahwa negara terbentuk karena kekuasaan. Orang kuatlah yang pertama-tama mendirinkan negara, karena dengan kekuatannya itu ia berkuasa memaksakan kehendaknya terhadap orang lain sebagaimana dikemukakan Kallikles dan Votaire bahwa raja yang pertama adalah prajurit yang berhasil. Begitu juga teori tenggelamnya negara seperti teori organis, teori anarkis, dan teori Marxis yang memandang bahwa negara adalah sebuah organisme dan tata paksa baik dengan kekerasan maupun tidak yang pada akhirnya akan hilang dengan sendirinya menurut syarat-syarat obyektifnya sendiri. Timbul tenggelamnya Kabupaten Bima terungkap dalam naskah kuno miliki Kerajaan Bima, Bo Sangaji Kai. Kabupaten Bima dulunya berasal dari sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Bima yang didirinkan awal abad 14 pada dasawarsa ke-1 dengan raja pertamanyaSang Bima I yang dinobatkan pada tahun 1200 Masehi (Truhart, 2003). Kemudian Kerajaan Bima mengalami restorasi sistem setelah ditaklukan oleh Kerajaan Gowa sebagai sebuah strategi politik mencegah kolonialisme Belandadari kerajaan menjadi sistem kesultanan tepatnyapada 5 Juli 1640 Masehi dengan Sultan Bima I bernama Sultan Abdul Kahir. Dalam perjalanannya, Kesultanan Bimatelah dipimpin oleh 15 sultan setelah kemudian bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Berangkat dari bonus sejarah yang panjang dan nama besar yang disandangnya di masa lalu, Kabupaten Bima sesungguhnya memiliki modal besar untuk bangkit dan maju di tengah persaingan era otonomi daerah yang begitu pesat. Namun dalam kenyataannya Kabupaten Bima dalam usianya ke-377 tahun pada 2017 ini masih tertaih-tatih dalam mewujudkan kemajuannya. Kesulitan mencapai kemajuan tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Karena itulah, dalam tulisan ini penulis bermaksud mengurai beberapa fenomena dan problematika yang dialami Kabupaten Bima pada saat ini. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan kepemimpinan daerah ataupun kepemimpinan di bawahnya tetapi justru adalah sebuah refleksi kritis sekaligus menjadi referensi konstruktif untuk revitalisasi arah dan strategi kebijakan pembangunan Kabupaten Bima di masa datang. Pembacaan fenomena dan problematika dalam tulisan ini dibatasi pada posisi Kabupaten Bima dalam era otonomi daerah khususnya pascapemekaran wilayah.Hal ini menjadi diskursus menarik untuk dikaji mengingat kepemimpinan kepala daerah merupakan produk politik dan jabatan politik yang dipilih langsung oleh rakyat. Karena itu menjadi instrumen evaluasi diri kepala daerah dan evaluasi sosial apakah keberadaan seorang kepala daerah tersebut berkorelasi positif terhadap peningkatan dan kemajuan daerah yang dipimpinnya.

Pertama, Kabupaten Bima kehilangan bentuknya sebagai daerah otonom. Dalam perspektif otonomi, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indoensia. Dalam tataran implementasi, Kabupaten Bima sesungguhnya belum memberikan garis demarkasi atau garis pembatas secara utuh atas keberadaannya sebagai daerah otonom itu sendiri. Faktanya, sejak pemekaran hingga hari ini ibukota dan pusat pemerintahan Kabupaten Bima masih berada di wilayah daerah otonom lain.SejakKabupatenBimamengalamipemekaran wilayahdanterbentukdaerahotonombaru Kota Bima berdasarkan UU RI Nomor 13 Tahun 2002, kondisiKabupatenBimadianalogikansepertisaturumahtangga yang barupindahkesebuahrumahbaru.Namunkepindahannyaitumasihberada di dalamwilayah yang samadantidaksertamertamembawaperangkat-perangkatdanaset-aset yang dimilikinyalayaknya orang yang pindahrumah.Dalamsejarahpemekaranwilayah,terdapatdua model implementasi kebijakan kepala daerah yang cenderung dipraktekkandalamrealitas pascapemekaran. Model-model tersebutsangatdipengaruhioleh faktorkemauanpolitik (political will) dantindakanpolitik (political action) seorangkepaladaerah yaitu (1) model implementasi kebijakan pemindahan ibukota yang cepat.Model kebijakan inimenekankanbahwapascapemekaran, pusat pemerintahan kabupatenindukdalamwaktu yang tidakterlalu lama dipindahkan diwilayahnyasendirisebagaidaerahotonom dan menyelesaikan persoalan-persoalanasetnya secara cepat. Salah satu contoh daerah yang menerapkan kebijakan ini adalah Halmahera Tengah yang pada tahun 2002 melahirkan daerah otonom baru, Kota Tidore. Dalam satu periode kepemimpinan saja, Ibukota Kabupaten Halmahera Tengah bisa dipindahkankan dari Kota Tidore ke Kecamatan Weda. Pascapemindahan sejumlah infrastruktur strategis dibangun. Salah satunya, pembangunan perumahan pegawai dan infrastruktur jalan ibukota. (2) Model implementasi kebijakan pemindahan ibukota yang lamban.Model inicenderung memperpanjang kondisi status quo bahwakabupatenindukdan aset-asetnyadibiarkanlamaberada dalam wilayah daerah otonom baru.Dari dua model yang ada, KabupatenBimaberdasarkankencenderungan yang teramatipenulisberadapadakategori model yang kedua, implementasi pemindahan ibukota yang lamban.Karena sejak pemekaran wilayah, pusat pemerintahan Kabupaten Bima masih berada di wilayah otonom lain, Kota Bima. Jika dihitung-hitung sejak pemekaran hingga hari jadinya yang ke-377 tahun 2017 saat ini, Kabupaten Bima telah mendiami wilayah Kota Bima selama 17 tahun.

Eksistensi pusat pemerintahan Kabupaten Bima di wilayah Kota Bima dalam waktu yang panjang tersebut justru memberikan multiplayer effect bagi kemajuan Kota Bima bukan kemajuan Kabupaten Bima.Pemindahan sesungguhnya memberikan multiplayer effect yang besar bagi kemajuan wilayah di pusat pemerintahan baru berdasarkan asumsi bahwa dimana pusat pemerintahan disitulah ikut pembangunannya. Pusat ekonomi baru akan tumbuh pesat seperti hadirnya moda transportasi kota yang akan menggunakan jalan lingkar dalam dan lingkar luar ibukota, tumbuhnya usaha-usaha pertokoan, mal, hotel, penginapan, perbengkelan, realestate, dan usaha-usaha ekonomi lainnya yang pada gilirannya memberi daya serap terhadap tenaga kerja lokal.Konflik-konflik sosial yang biasa terjadi di sekitar pusat pemerintahan baru akan tergerus perlahan tapi pasti oleh semakin tingginya gairah ekonomi masyarakat. Pada titik inilah nantinya Kabupaten Bima menemukan kembali bentuknya sebagai sebuah daerah otonom.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Kedua, Kabupaten Bima kehilangan identitas daerah (loss of district indentity).Menurut Stella (2009), indentitas merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis, dan proses sosialisasi. Dalam konteks ini, sebagai sebuah daerah, Kabupaten Bima tidak lagi memiliki indentitas yang merupakan cerminan diri daerah yang berasal dari budaya yang hidup di Kabupaten Bima itu sendiri. Penulis memberikan referensi cerminan budaya yang merepresentasikan sebuah indentitas daerah. Di Lombok misalnya dikenal dengan Bumi Patuh Patut Patju maka ketika melakukan perjalanan darat akan ditemukan di batas daerah tulisan “Selamat Datang atau Selamat Jalan di Bumi Patuh Patut Patju”. Selain itu, bangunan perkantoran di Lombok juga merepresentasikan identitas daerahnya. Di masa lalu, sesungguhnya Kabupaten Bima memiliki identitas daerah yang sangat familiar tetapi keberadaanya sudah hilang ditelan zaman yakni terminologi “Bumi Gora, Nggaha Aina Ngoho”. Sedangkan bangunan perkantoran di Kabupaten Bima maupun Kota Bima sama sekalitidak merepresentasikan indentitas daerah.

Ketiga, kelemahan sistem (the weakness of system.Laurent M. Friedman (Ahmad Ali: 2005) memandang sistem dalam sistem hukum ituterdiri dari legal substance (peraturan perundang-undangan), legal structure (lembaga dan SDM), dan legal culture (budaya masyarakat). Dalam skala nasional telah banyak produkhukum yang dilahirkan baik oleh legislatif maupun eksekutif. Bahkan Indonesia dikenal sebagai negara yang paling banyak memiliki peraturan perundang-undangan. Karena peraturan perundang-undangan yang baik akan menentukan baiknya komponen sistem yang lain. Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial (as a tool of social engeenering). Karena itu, dalam konteks otonomi daerah, kepala daerah harus selalu menggunakan pendekatan sistem untuk melakukan perubahan – perubahan  sosial (social change). Misalnya untuk mengendalikan fenomena penyimpangan sosial yang masif seperti penggunaan tramadol, pencurian, pergaulan bebas dan lainnnya di kalangan pelajar diperlukan upaya sistemik melalui pembentukan peraturan daerah, peraturan bupati, atau keputusan kepala dinas tentang penetapan jam malam bagi pelajar.Siswa-siswa saat ini begitu bebas berperilaku, bebas beraktualisasi diri tanpa kenal waktu, bebas keliaran hingga larut malam tanpa adanya upaya pengendalian sistemik. Contoh lain, untuk memperbaiki ahlak masyarakat daerah dari perilaku-perilaku menyimpang maka diperlukan pendekatan sistem dari seorang kepala daerah untuk mengendalikannya dengan membuat gerakan “Ayo ke Masjid”. Karena menurut hemat penulis, masjid bisa menjadi institusi yang efektif untuk penguatan pendidikan karakter mewujudkan visi Bima Religius dari visi besar Bima Ramah.Jika ikhtiar pengendalian sistemik tidak dilakukan untuk mengendalikan penyimpangan-penyimpangan sosial dan menciptakan perubahan sosial di kalangan pelajar maupun masyarakat umummaka kerusakan sosial akan terus terjadi. Lalu untuk apa pemerintah itu ada kalau bukan untuk membangun tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Komponen sistem yang masih lemah dan perlu dikuatkan adalah kelembagaan dan SDM. Pertama di tataran SKPD sebagai leading sector berdasarkan tupoksi masing-masing. Kelemahan utama SKPD adalah manajemen organisasi dalam hal melakukan restrukturisasi dan menjabarkan visi kepemimpinan Bima Ramah dalam misi-misi organisasi secara berkelanjutan dan tepat sasaran. Fenomenanya adalah kebijakan-kebijakan SKPD selama ini dibangun atas landasan ketimpangan. Kebijakan-kebijakan infrastruktur sosial, kesehatan, pendidikan dan lainnya tidak dilakukan dengan prinsip-prinsip pemerataan, diskriminasi, dan monopoli akibatnya pembangunan infrastruktur antarkecamatan, antardesa, dan antarinstitusi menjadi tidak merata, timpang, yang maju semakin maju dan yang terbelakang semakin terbelakang. Karena itu, kebijakan infrastruktur SKPD harus diarahkan untuk membangun Bima dari pinggiran agar yang dipinggir tidak termarjinalkan dan bisa sejajar dengan infrastruktur yang ada di pusat-pusat kecamatan.Kedua,kelemahan SDM. Dalam berbagai hasil penelitian di dunia pendidikan tinggi, efektivitas organisasi selalu dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan SDM. Problemnya adalah pemilihan SDM untuk memimpin organisasi di lingkup SKPD cenderung didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan politik an sich dan hanya sedikit dengan pertimbangan-pertimbangan profesionalisme melalui prinsip “the right men in the right place”. Setidaknya, pertimbangan memilih orang untuk menempati jabatan tertentu berimbang antara pertimbangan politik dan profesionalisme dalam lingkaran keberpihakan politik pilkada yang sama. Anehnya orang-orang yang dulu tidak memiliki keberpihkan dengan kepala daerah terpilih pada saat pilkada justru mendapat tempat yang layak dan menyingkirkan orang dalam lingkaran sendiri sekalipun memiliki kapasitas dan profesionalisme yang tinggi.

Karena itulah ke depan diperlukan perubahan-perubahan arah dan strategi kebijakan politik pemerintahan kepala daerah dalam penataan sistem pemerintahan daerah yang lebih baik dan terarah terutama menemukan kembali identitas daerah (reinventing district identity) yang hilang dalam mewujudkan kepemimpinan kepala daerah berkarakter. Selanjutnya diperlukan optimalisasi peran peraturan perundang-undangan di tingkat daerah sebagai alat rekayasa sosial dan revitalisasi kepemimpinan di lingkup SKPDdengan memperbaiki sistem rekrutmennya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan profesionalisme dan politik atau politik dan profesionalisme berimbang dalam kiblat politik yang sama dengan kepala daerah. (*)

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Penulis adalah Ketua Presidum Forum Doktor NTB, Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Bima, Curriculum Expert Dinas Dikbudpora Kabupaten Bima

 

 

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Berita Terkait

Peristiwa

Bima, Bimakini.- Pawai budaya memeriahkan Hari Jadi ke-377 Bima digelar Selasa (4/7/2017) di Kecamatan Woha. Berbagai perwakilan SKPD,  elemen masyarakat dan profesi terlibat. Mereka...

Peristiwa

Bima, Bimakini.- Panas terik matahari  tidak menyurutkan semangat pegawai lingkup Sekretariat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bima mengikuti pawai budaya memeriahkan Hari Jadi ke-377...

Peristiwa

Bima, Bimakini.- Berbagai pagelaran atraksi dan kesenian memeriahkan pawai budaya dalam rangka memeringati Hari Jadi ke-377 Bima tahun 2017. Kali ini  dilaksanakan di Kecamatan...

Peristiwa

Bima, Bimakini.- Kegiatan pawai budaya dalam  memeriahkan Hari Jadi ke-377 Bima pada 5 Juli 2017, diharapkan ada partisipasi semua pihak. Bupati Bima,  Hj Indah...