Aksi Bela Islam II yang dihadiri massa umat Islam secara umum berlangsung aman dan tertib. Malam hari, ada dinamika yang terjadi pada sebagian kelompok yang masih bertahan di lokasi pada malam hari. Namun, semua itu mampu diatasi dan tidak ada eskalasi yang meluas. Syukurlah, karena itu berarti ada kesadaran baru dari umat Islam ketika mengaspirasikan keinginannya dalam kondisi damai. Di Bima dan Dompu pun demikian. Suasaan aman tercipta. Memang ada sebagian kecil toko yang ditutup, namun hanya kekuatiran saja, karena hanya kata-kata hikmah yang terucap ketika kompleks pertokoanitu dilewati.
Ya, aksi itu untuk mendesak pemerintah agar segera menyeret Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke proses hukum karena melecehkan Al-Quran dan ulama. Cuap-cuap Ahok atau ‘akhlak komunikasinya’ yang memang sudah lama disorot publik itu telah melewati garis batas demarkasi dan lancang mengomentari ayat-ayat Suci umat Islam. Kegeraman umat Islam terakumulasi pada duakali kesempatan demo itu. Nah, bagaimana pemerintah meresponsnya? Langkah konkrit inilah yang sedang ditunggu.
Kita bersyukur aksi yang diperkirakan dihadiri jutaan orang itu tidak menimbulkan kekacauan, meski ditengarai ada provokator yang menyusup. Sebagiannya sudah dibekuk dan bukan Muslim! Bisa dibayangkan jika pergerakan masal jutaan umat di Jakarta dan daerah-daerah bertindak anarkis. Sekali lagi, kondusivitas suasana saat ini harus dipertahankan.
Ada dua hal yang perlu dicermati dari aksi menasional itu. Pertama, desakan agar Ahok segera diseret ke meja hukum dilakukan untuk membela Kitab Suci dari penistaan. Selain itu, untuk meneguhkan kebinekatunggalikaan kita. Pernyataan ngawur Ahok telah mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Aksi masal yang dilakukan umat Islam dari berbagai daerah merupakan ekspresi ketidakrelaan Al-Quran dihina, sekaligus untuk merawat dimensi keragaman khas Indonesia ini.
Kedua, umat Islam (khususnya di Bima dan Dompu) harus tetap menjaga agar serangan tidak melebar pada objek lain, tetapi semata desakan terhadap pemerintan segera menuntaskan cuap-cuap Ahok. Masalahnya, sangatlah mahal harga suasana damai yang kini tercipta jika menyerempet masalah dan identitas lain yang melabeli diri Ahok itu. Di titik ini harus ada kesadaran lebih. Intinya aksi ini bukan anti-Cina, bukan pula anti-non-Muslim. Tetapi, perjuangan kolektif untuk mendorong siapapun penista agama segera dimintai pertanggungjawabannya di mata hukum.
Ke depan, jika ada lagi aksi serupa, semoga kewaspadaan terhadap potensi penyusupan kepentingan sempit dan provokasi liar oknum-oknum tidak bertanggungjawab lebih ditingkatkan. Kasus di depan Istana Merdeka usai jadwal aksi pukul 18.00 WIB adalah contohnya. Untuk Indonesia, Bima dan Dompu kita… Sekali lagi, terlalu mahal harga sosial yang dibayar jika ‘semangat menusuk mulut Ahok’ ini disusupi kepentingan lain. Umat Islam harus tetap konsisten dalam koridor hukum, meminta proses terhadap Ahok dilakukan secara cepat, adil, dan transparan.
Mengapa? Sejatinya, jangan ada tempat dan ruang bagi penista agama di kolong Republik Indonesia ini, karena ongkos sosialnya sangatlah tinggi! Bakal mencerai-beraikan warna indah Nusantara ini… (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.