Bima, Bimakini.- Gempa 7 Skala Richer (SR) yang mengguncang pulau Lombok, Ahad (5/8) malam, tidak hanya merusak bangunan, namun juga menimbulkan trauma mendalam. Apalagi saat gempa terjadi, warga panic dan berupaya menyamatkan diri.
Seperti dialami Kasi Intel Kejari Bima, M Ikhwanul Fiaturrahman, SH, saat berada di Mataram, untuk tugas dinas.
Sebenarnya, kata dia, tidak akan mengalami gempa, jika saja pesawat menuju Bima, Ahad sore tidak delay.
Karena delay, oleh maskapai penerbangan penumpang diinapkan di Hotel Aryan, Mataram. Itu pun karena hotel yang ada didekat bandara sudah penuh.
Tiba di hotel, kata dia, satu per satu penumpang maskapai cek in kamar hotel. Sengaja memilih paling terakhir, karena ingin meminta satu kamar. “Maskapai itu menanggung satu kamar hotel untuk dua orang. Saya saat itu meminta ke pihak hotel satu kamar dan akan menambah biayanya,” ujarnya di Kantor Kejari Bima, Selasa.
Saat itu, kata dia, resepsionis sedang mencari kamar yang akan ditempatinya. Tidak lama, ada yang teriak turun dari kamar atas, gempa. “Saat ada yang teriak dan lari turun, saya belum merasakan gempa, sehingga diam saja,” ungkapnya.
Lantas, ada lagi yang lari dan berteriak ada gempa. Namun, belum juga ada dirasakannya. Seketika, sebelum pihak hotel mendapatkan kamar untuk ditempatinya, tiba-tiba ada guncangan hebat.
Tidak hanya itu, lampu pun padam dan saat itu berusaha lari keluar. Ada yang mengarahkan untuk berkumpul di lapangan Sangkareang. Saat itu, jalan dan lapangan menjadi penuh, apalagi durasi gempanya cukup lama.
“Bangunan itu saya lihat bergoyang-goyang seolah mau roboh. Motor yang sedang dikendarai bisa jatuh, karena kuatnya guncangan,” kisahnya.
Kepanikan makin bertambah, kata dia, ketika ada yang mengumumkan bahwa terjadi tsunami. Kendaraan dan warga yang hendak menuju arah Ampenan, akhirnya berbalik arah. “Semua menuju arah Narmada,” katanya.
Saat itu, mencoba menghubungi rekannya dan menyampaikan lokasi. Selanjutnya, mencari taxi, namun rupanya tidak ada. Operator taxi menyampaikan, jika tidak ada supir yang operasi, karena semua mengurus keluarga.
Beruntung masih mendapatkan taxi dan menjemput rekannya, meski harus berlawanan arus dengan pengandara menuju arah Narmada. “Saya sampaikan ke supir taxi, jika nanti terlihat air, langsung balik arah,” ungkapnya.
Tiba di tempat rekannya, lantas mengambil kendaraan untuk digunakan. Malam itu sudah pukul 22.00 Wita, perut terasa lapar dan keliling mencari makanan. Rupanya tidak ada yang menjual.
“Setelah lama mencari dan tidak bertemu penjual makanan, baru ingat sempat membeli nasi ayam sebelum ke hotel dan saya simpan di tas,” ungkapnya.
Akhirnya, nasi itu dimakan, namun tidak ada air minum. Setelah lama mencari akhirnya dapat. “Malamnya kami tidur di mobil dan sepanjang malam, gempa susulan,” kisahnya.
Keesok harinya, setelah mengembalikan mobil dinas, mencari taxi. Namun tidak bisa menghubingi operator, karena batrai handphone habis, Ditambah adanya gangguan sinyal seluler. “Beruntung dapat taxi dan bersedia mengantar ke bandara Internasional Lombok,” lanjutnya.
Tiba di bandara, pesawat kembali delay hingga pukul 11.00 Wita. Saat dibandara pun gempa susulan terjadi dan penumpang yang menunggu di terminal, panik berlarian.
Namun, akhirnya bisa lega, karena dapat kembali ke Bima. “Kini masih trauma, kalau diminta ke Mataram,” tutupnya. (IAN)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.