AWAL November 2017 ini, wilayah Bima dan Dompu mulai diguyur hujan. Meskipun belum berlangsung lama, namun banjir sudah menyapa. Di Dompu, misalnya sudah beberapa kali pemukiman warga sekitar bantaran sungai “menjamu” banjir.
Demikian juga di wilayah Bima, Sanggar misalnya, hujan deras yang mengguyur sudah meluap hingga ke jalan.
Di Kota Bima, lingkungan Gindi, Kelurahan Jatiwangi, merasakan banjir lebih awal. Meskipun debitnya tidak separah akhir tahun 2016. Namun, warga sudah menganggapnya sebagai isyarat akan datangnya banjir seperti sebelumnya.
BMKG Bima sendiri menjelaskan, wilayah Bima dan Dompu sudah memasuki musim hujan. Lebih awal dari sebelumnya. Berdasarkan pantauan radar cuaca, Bima tergolong curah hujannya normal, namun tidak dengan Dompu.
Wilayah Ngahi Rawi Pahu dinilai curah hujannya lebih tinggi dibandingkan daerah Maja Labo Dahu. Namun, jika terjadi pertumbuhan siklon di wilayah selatan Nusa Tenggara Barat (NTB), maka akan memperburuk keadaan.
Bukan hanya banjir yang menjadi ancaman, dalam pengamatan BMGK puting beliung sangat berpotensi terjadi. Terbukti sudah ada wilayah Donggo yang mengalaminya Oktober lalu.
Rasa trauma pun mulai menghinggapi warga Bima dan Dompu. Kewaspadaan mulai ada di tengah masyarakat. Trauma banjir akhir 2016 padahal belum hilang bekasnya. Justru ancaman banjir baru, seolah menjadi mimpi buruk.
Mudahnya wilayah Bima dan Dompu terdampak banjir, dinilai karena tingginya tingkat kerusakan hutan. Itu berbeda dengan kenyataan sebelumnya. Tudingan juga diarahkan karena adanya kegemaran menanam jagung, sehingga hutan dibabat untuk meraup untung. Padahal ada ancaman yang membuat orang bisa buntung, harta benda hilang karena terseret banjir.
Kerusakan hutan dan pegunungan di wilayah Bima dan Dompu, harus disikapi serius. Perlu ada aksi nyata untuk bisa membendung terjadinya banjir. Menghijaukan kembali tanah-tanah yang dipaksa tandus dan gersang.
Tidak cukup sekedar menormalisasi drainase dan sungai. Karena tidak ada menghentikan ancaman banjir, sepanjang persoalan hulu belum diatasi.
Pemerintah saat ini masih terlihat fokus menuntaskan masalah hilir. Hingga ancaman banjir mulai menyapa, normalisasi sungai masih tersisa. Hingga kapan? Pemangku kebijakan saja yang dapat memahaminya. Masyarakat kini hanya bisa mengelus dada, jangan sampai bencana terus mendera, hingga tidak sempat menikmati bahagia.
Tentu tidak bisa menyelahkan sepenuhnya kepada pemerintah, karena perilaku masyarakat juga. Membuka lahan baru tanpa berfikir dampaknya. Kontrol pemerintah memang dibutuhkan juga.
Mari menumbuhkan kesadaran kolektif, untuk tidak lagi membabi buta membuka lahan. Hanya mengejar keuntungan, karena komoditi jagung sedang menjadi primadona. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.