Nah, program pembudayaan membaca yang digalakkan oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Bima melalui pengiriman buku adalah langkah tepat. Banyak pengetahuan yang bisa didapatkan dari membaca. Apalagi, Napi memiliki lebih banyak waktu luang di dalam sel. Kegiatan positif yang dilakukan diharapkan mampu membingkai kepribadian mereka dalam cirikhas dan warna baru. Warna kusam yang dulu membandrol perilaku harian mesti digiring dalam warna cerah. Penggiringan bandul kegiatan positif itu penting artinya agar mereka tidak larut dalam penyesalan hidup yang tiada ujungnya.
Melalui buku keagamaan, diharapkan mampu me-mark up akhlak menjadi berkarakter terpuji dan kuat. Melalui buku kecakapan hidup, diharapkan menjadi bekal saat bebas dan kembali ke tengah masyarakat. Pembudayaan membaca itu juga untuk mengeliminasi beragam kisah buruk yang selama ini mengarah pada penghuni penjara. Misalnya, pengendalian transaksi Narkoba dan aksi kejahatan lainnya.
Pada intinya, membaca merupakan pintu menuju kemajuan. Jendela untuk melihat dunia. Hal mustahil jika kemajuan suatu bangsa tidak dimulai dari budaya gemar membaca generasinya atau melalui bidang pendidikan. Momentum peningkatan wawasan itu selayaknya dimanfaatkan para Napi untuk bekal hidup.
Dalam sejarah, para ulama Islam mampu menghasilkan karya-karya fenomenal justru ketika dibungkam oleh penguasa ke penjara. Mereka tidak ‘patah arang’, tetapi mampu eksis mengembangkan kemampuannya. Buya Hamka dan ulama dunia lainnya melahirkan karya ‘masterpiece’ ketika meniti durasi waktu hari-hari di ruangan sempit penjara. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.