Pelepasan balon ke udara yang bertuliskan peringatan Hari Anti-Korupsi.
Peringatan Hari Anti-Korupsi se-Dunia digelar bersamaan oleh mahasiswa dan kelompok masyarakat di Indonesia, Jumat (09/12/2016). Di Dana Mbojo pun demikian. Beragam aspirasi dan jenis aksi mereka lakukan sebagai bentuk protes dan keprihatinan. Seperti mengusung keranda dan menghadang kendaraan dinas pejabat. Semuanya dalam semangat yang sama, bagaimana perilaku dan pemberantasan korupsi digiatkan sebagai ikhtiar membangun daerah dan bangsa.
Ada yang menyebut, korupsi di Indonesia sudah memasuki semua level dan menggerogoti jantung pertahanan bangsa. Sel Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dipenuhi pejabat bergelat Profesor dan Doktor. Bahkan, selevel Menteri pun sudah duduk manis di sel dan merasakan sempitnya dunia. Jadinya, pergerakan dan perlawanan terhadap korupsi memang harus tegas, berani, intensif, dan cara-cara yang luar biasa. Hal itu demi menyelamatkan negara ini. Ada pula yang menyebut beragam kasus yang kini menggerogoti APBD dan APBN hanya fenomena gunung es. Di atasnya dan yang sudah terungkap hanya terlihat sedikit, tetapi sesungguhnya ada kuantitas yang besar di bawahnya. Nah, oleh karena itu upaya menggaungkan pemberantasan korupsi harus terus digelorakan agar irama semangat tetap tinggi. Dalam bahasa lain, para koruptor harus terus diuber hingga ke sudut dinding neraka sekalipun.
Kita mengharapkan semangat melawan korupsi ini tidak hanya pada level mahasiswa dan kelompok masyarakat saja, tetapi menjadi komitmen yang terus membara dari kalangan pemerintahan. Perlawanan terhadap perilaku korup jangan hanya simbolitas tanpa makna, tetapi diwujudkan dalam aksi nyata.
Pertanyaannya, apa yang menarik dari perayaan Hari Anti-Korupsi saat ini? Jawabannya adalah kita sedang merayakan suatu perang melawan kejahatan korupsi yang terjadi secara sistemik.
Ya, perang yang kian sulit. Jika dahulu korupsi dilakukan di bawah meja, kini korupsi dilakukan di atas meja. Sejalan dengan asumsi ini, Transparency International Indonesia (TII) menuliskan laporannya: Runtuhnya Orde Baru tidak mengecilkan kasus korupsi, justru sekarang keadaannya kian parah.
Sepanjang era reformasi, beraneka institusi dibentuk untuk mengawasi, sekaligus melibas sepak terjang para koruptor. Namun, Indonesia masih tetap saja menjadi lahan persemaian tindak korupsi. Mulai dari pejabat tinggi hingga merembet ke level pejabat rendah. Selain itu, tidak hanya terjadi di pusat kota, tetapi telah menyebar ke tingkat kelurahan maupun desa.
Kajian filsafat fungsionalis menyatakan, tindak korupsi disebabkan oleh watak. Artinya, korupsi hanya sanggup diberantas ketika watak korup pelakunya bisa diperbaiki. Filsafat strukturalisme justru melihatnya dari sudut yang berseberangan. Korupsi bukanlah watak yang ajeg. Sifat manusia tumbuh di bawah pengaruh struktur sistem di luar dirinya. Sistem yang baik akan menciptakan manusia yang baik. Demikian sebaliknya, sistem yang korup niscaya menciptakan manusia yang korup.
Nah, apapun bentuk dan definisinya, mari memberantas korupsi dari sisi berdiri kita saat ini. Pada kesempatan pertama…(*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
