Oleh: Eka Ilham., M.Si *)
KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan melalui Puspendik sejak Tahun Pelajaran 2014/2015 melakukan terobosan baru yakni pemanfaatan komputer dalam pelaksanaan Ujian Nasional pada sebagian sekolah. Tes Terkomputerisasi atau Computerized Based Test (CBT) adalah tes berbasis komputer yang penyajian dan pemilihan soalnya dilakukan secara terkomputerisasi sehingga setiap peserta tes mendapatkan paket soal yang berbeda. Realitas hari ini negara yaitu pemerintah tidak melihat kondisi di lapangan di mana setiap daerah di Indonesia tidak memiliki kemampuan secara sarana prasarana maupun sumber daya manusia dalam mengelola progran Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi UNBK ini tidak menjamin dari kualitas siswa adalah sebagai berikut: 1. Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai seperti laptop, komputer dan server yang masih menjadi persoalan klasik, 2. Kemampuan siswa dalam memahami teknologi pada khususnya UNBK. Untuk daerah pelosok atau terpencil bahkan daerah perkotaan masih baru dalam penggunaan teknologi ini, 3. Jaringan internet yang tidak tersedia untuk daerah pelosok dan beberapa sekolah yang tidak mendapatkan bantuan satelit internet untuk wi-fi mengakibatkan akses untuk UNBK terkendala bagi setiap sekolah dan siswa, 4. Guru TIK sangat kurang sehingga banyak ditangani oleh guru yang memiliki pengalaman dalam bidang TIK dan teknologi jaringan. Fakta di lapangan hampir sebagian besar ditangani oleh guru-guru yang memiliki pengalaman dalam penggunaan IT, akan menjadi persoalan ketika di sekolah tersebut tidak memiliki SDM dalam bidang IT, 5. Anggaran pelaksanaan UNBK yang cukup besar. Laptop yang cukup mahal mengakibatkan kendala dalam proses UNBK menjadi persoalan di setiap sekolah apalagi sekolah tersebut baru melaksanakan UNBK. Server UNBK yang cukup mahal berharga Rp10-15 juta menjadi tantangan bagi setiap sekolah yang melaksanakan UNBK.
Apakah UNBK menghasilkan kualitas lulusan? Siswa diharapkan memiliki kualitas tapi realitasnya itu tidak menjamin masa depan dari siswa itu sendiri. Tujuan awal dari pemerintah adalah untuk mempermudah ujian nasional melalui UNBK. Penggunaan paper test dihilangkan mengingat banyak hal yang mempersulit siswa dalam menyelesaikan soal ujian nasional. Siswa tidak lagi mengunakan pensil, menghitamkam lembar jawaban, maupun tingkat kecurangan pada pelaksanaan UNBK. Dengan UNBK setiap siswa memiliki soal masing-masing dan pasport untuk soalnya sehingga siswa tingkat kecurangannya tidak ada karena memiliki soal yang berbeda.
Disamping persoalan biaya dan anggaran yang tidak cukup terutama di sekolah-sekolah yang memiliki anggaran yang sedikit. Ukuran kualitas tentunya tidak dapat dilihat dari hasil output UNBK dengan melihat berbagai persoalan di lapangan. Posisi sekolah pada akhirnya mengambil langkah sikap untuk melaksanakan UNBK di tengah keterbatasan sarana, prasarana, dan SDM. Sebaliknya sekolah lain juga yang tidak siap melaksanakan UNBK pasrah dengan keadaan dan tidak mau menyelenggarakan UNBK. Untuk kawasan Indonesia Timur masih banyak sekolah yang belum siap melaksanakan UNBK. Ada beberapa sekolah yang melaksanakan UNBK dan tidak melaksanakan. Hal ini mengakibat opini di publik, negara atau pemerintah menerapkan kebijakan sebagai ajang coba-coba. Padahal hal ini sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia.
Tidak salah organisasi profesi Federasi Serikat Guru Indonesia Menolak adanya Ujian Nasional. Hal ini menjadi pertimbangan agar pemerintah tidak menerapkan kebijakan secara setengah-tengah. Tentunya kita harapkan UNBK yang diadakan di tahun 2017 ini tidak hanya sekadar menggugurkan kewajiban atas nama kualitas. UNBK bisa dilaksanakan apabila semuanya telah memenuhi kesiapan dari setiap sekolah. (*)
*) Ketua Umum Serikat Guru Indonesia(SGI) Bima
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.