Kota Bima, Bimakini.- Kegiatan kampanye Pasangan calon (Paslon) Wali/Wakil Wali Kota Bima 2018, baru sebatas kerumunan ria. Belum sampai pada upaya mem-branding diri dengan visi, misi dan program yang dapat lebih meyakinkan pemilih.
Hal itu disampaikan Pembantu Ketua (Puket) III Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Mbojo Bima, Dr Syarif Ahmad, SE, MSi di kediamannya, Kelurahan Santi, Rabu (21/2).
Lanjutnya, kenyataan seperti itu terjadi di semua calon. Mestinya, dalam kegiatan kampanye ada brand program atau visi-misi dari calon tersebut.
“Saya melihat sejauh ini nyaris semua Paslon belum mampu melakukan branding diri. Tingkat penerimaan pemilih belum sampai pada jangkauan akan visi, misi dan program. Masih menggunakan pola kerumunan,” ujarnya.
Pola kerumunan itu sendiri, kata dia, ada dua. Kerumunan suka ria, karena senang dengan calon itu, namun tidak memahami programnya. Sehingga yang dikenal oleh orang itu, bukan program yang menjadi ikon, tapi sebatas figure.
“Pola kerumunan seperti ini, sudah bisa masuk dalam kategori pendukung, karena suka dengan figurnya,” terangnya.
Ada juga, kata dia, kerumunan ideologis. Mereka ini suka, karena program yang dimiliki oleh calon tersebut. “Mereka hadir dalam pertemuan, karena tertarik dan ingin mendengar paparan visi, misi dan program itu,” ujarnya.
Untuk kelompok kedua ini, kata dia, relative kecil. Momentum kampanye attap muka dan pertemuan terbatas, seharusnya dimanfaatkan untuk lebih mentranspormasikan program itu.
Figur yang masih bermain pada pola kerumunan suka ria, kata dia, tidak masuk dalam peningkatan elektabilitas. Namun masih mengenalkan diri. “Mestinya sekarang bukan lagi pada pengenalan diri, tapi meningkatkan elektabilitas melalui branding program. Apa yang membuat orang tertarik dan membuat orang pulang dalam pertemuan dengan dengan kesan programnya, sehingga menjadi pertimbangan memilih,” jelasnya.
Demikian juga dengan tim Paslon, kata dia, tidak ikut larut dalam suka ria itu. Disinilah dilihat keandalan tim dalam menjabarkan program. “Bukan sekedar memposting banyaknya yang hadir dalam satu pertemuan. Itu namanya ikut dalam hiruk pikuk sukaria,” terangnya.
Selain itu, dia menyindir media yang tidak lagi menjadi saksi proses demokrasi, justru menjadi partisan. Sehingga sulit membedakan sikap politik media dan sikap politik pemilik media. “Mestinya jaga jarak,” pungkasnya. (IAN)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.