Kota Bima, Bimakini.com,-Eksekusi anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror yang menembak mati para terduga teroris, disorot oleh kelompok mahasiswa. Himpunan Mahasiswa Pembela Umat Islam Bima, Senin (21/1), menyuarakan aspirasi mendesak Presiden Republik Indonesia meninjau kembali keberadaan Densus.
Mahasiswa meminta Densus bertanggungjawab terhadap tewasnya terduga teroris, terutama almarhum Bahtiar, warga Desa Timu Kecamatan Bolo yang ditembak di Dompu, awal tahun lalu. Menurut mereka, tindakan Densus merupakan penembakan liar, karena membunuh orang yang belum terbukti bersalah.
Koordinator Aksi, Amiruddin, mengatakan tidak ada Undang-Undang yang mengatur bahwa orang yang baru terduga harus ditembak mati tanpa pembuktian. Sebab, hukum Indonesia menganut asas praduga tidak bersalah yang mesti dikedepankan, sehingga tidak ada alasan penembakan itu dilakukan.
Apalagi, pernyataan Mabes Polri dan Polda NTB sangat tidak berdasar menyebut Bahtiar Daftar Pencarian Orang (DPO) pelarian dari Poso. Dikatakannya, hal itu sangat bertolak belakang dengan pengakuan keluarga dan masyarakat yang menyebut almarhum Bahtiar hanya penjual roti keliling.
Tidak hanya itu, pihak keluarga korban juga membantah Bahtiar pernah ke Poso mengikuti pelatihan terorisme maupun keluar daerah lain.
“Kami takut menjadi korban penembakan Densus 88 berikutnya, karena ciri-ciri teroris menurut Kapolda NTB yakni bersahaja, agamais, dan dermawan. Kami merasa bahwa umat Islam seakan dipaksa untuk tidak menjadi orang baik, karena kebaikan identik dengan teroris,” terangnya saat orasi di perempatan eks kantor Pemkab Bima.
Pernyataan tersebut, menurutnya, telah membentuk stigma negatif masyarakat tentang umat Islam, sehingga berakibat keresahan bagi sebagian lainnya. Bukan itu saja, ironisnya Mabes Polri begitu mudahnya menetapkan orang sebagai DPO, padahal setelah ditembak mati mereka sendiri kebingungan mengungkap identitas korban.“Kami mendesak Bapak Presiden Republik Indonesia segera meninjau kembali keberadaan Densus 88, karena telah sewenang-wenang terhadap umat Islam,” tegas Amirudin.
Selain itu, mereka juga meminta agar tidak menuduh Islam sebagai teroris karena Islam merupakan agama yang cinta damai, menegaskan bahwa Bima adalah daerah agamais, bukan sarang teroris serta meminta menghentikan proyek terorisme di Indonesia. Pernyataan itu mereka ekspresikan juga dalam surat yang rencananya akan dikirim ke Presiden, Ketua DPR RI, dan Komnas HAM.
Senada dengan itu, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Wilayah Nusa Tenggara juga menyerukan Presiden Republik Indonesia dan Kapolri segera membubarkan Densus 88.JAT juga mendesak agar jenazah Bakhtiar Abdullah, segera dipulangkan kepada keluarganya untuk dimakamkan secara Islam di tanah kelahirannya. Selain itu, meminta semua aset milik almarhum yang hilang waktu penembakkan, dikembalikan kepada keluarganya.
Amir JAT Wilayah Nusra, Ustadz Abdul Hakim, mengatakan berdasarkan hasil investigasi TPFR Bima telah membuktikan bahwa Bakhtiar Abdullah tidak pernah keluar dari wilayah Bima sejak enam tahun terakhir. Mencermati cara penanganan teroris oleh Densus 88 Antiteror yang brutal dan langsung menembak, salah tangkap (dipulangkan setelah disiksa), interogasi yang bernada menghina, dan menembak mati umat Islam di tempat ibadah (masjid), itu merupakan indikasi kebencian, permusuhan terhadap kaum muslimin dan penistaan terhadap simbol Islam dan kesucian Nabi. Sejumlah tindakan itu telah menimbulkan penolakan berbagai elemen bangsa, terutama umat Islam.
“Kalau hal ini dibiarkan akan menimbulkan kemarahan dan perlawanan dari ummat Islam secara luas,” katanya dalam pernyataan pers, Minggu malam. (BE.20)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.