Ada usulan menarik dari warga Kota Bima soal maraknyabunyi petasan yang diledakkan anak-anak Muslim pada berbagai wilayah. Usulan itu didasari untuk memfasilitasi ekspresi kebebasan anak-anak yang seakan menemukan momentumnya setiap kali Ramadan. Ya, Ramadan sudah memenggaruhi memori anak-anak dengan berpetasan ria. Entah siapa yang memulainya.
Ada satu sisi yang tidak boleh luput dari pengamatan kita. Saat Ramadan, minuman keras (Miras) dan petasan selalu ada yang disita. Rupanya, berbisnis dua barang itu sangat menjanjikan saat Ramadan membutuhkan kenyamanan atau tidak dicemari hal-hal negatif. Mesti selalu dicurigai ada agenda terselubung melalui pemasokan barang itu saat umat Islam bergembira menyambut Ramadan. Kita mengharapkan soal petasan dan Miras ini gaung kobaran semangat penolakan kita semakin keras. Kelemahan sikap dan ekspresi kita terhadapnya juga berbagai penyakit sosial lainnya, pada sisi lain akan menguatkan agresivitas para pemasok.
Bagaimana dengan usulan melokasisasi petasan? Tampaknya kurang begitu efektif, karena jika digunakan anak-anak secara masif bisa memantik dampak negatif. Sudah muncul dugaan, kasus kebakaran pada sejumlah tempat dipicu kembang api yang muncrat dari petasan. Selain itu, anak-anak sejak dini diajari “bermain api yang kata nenek sangat berbahaya” itu.
Semangat dari usulan itu adalah bagaimana ekspresi bermain anak-anak tidak “diamputasi” begitu saja oleh kaum dewasa, karena bermain memang dunianya mereka. Dunia anak memerlukan media pembelajaran dan pergerakan yang seiring dengan perkembangannya. Namun, berbagai sisi mesti dipertimbangkan. Masih banyak permainan kreatif lainnya yang bisa merangsang kreativitas anak hingga lebih siap memasuki tahapan kehidupan selanjutnya. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.