Connect with us

Ketik yang Anda cari

Hukum & Kriminal

Buku Peradilan Dou Donggo Dibedah, Lembaga Adat Perlu Payung Hukum

Bedah Buku Peradilan Dou Donggo di Kampus STIS Al Ittihat Bima, Jumat.

Kota Bima, Bimakini.- Buku Peradilan Dou Donggo, Kontestasi Hukum Adat, Hukum Islam, dan Hukum Nasional, karya Dr Muhammad Mutawali, MA dibedah di Kampus STIS Al Ittihat Bima, Jumat (9/4/2021). Salah satu rekomendasi adalah, mendorong pemerintah daerah, baik Kota maupun Kabupaten Bima menerbitkan Perda atau peraturan kepala daerah.

Tujuannya, agar lembaga adat atau peradilan adat mendapat ruang lebih dalam membantu menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat. Terbukti peradilan adat, seperti di Donggo, masih diterima dan diterapkan.

Ketua STIS Al Ittihad Bima, Dr Muhammad Mutawali, MA, mengatakan, buku ini hasil konversi dari disertasinya. Diungkapkannya, proses melahirkan disertasi ini cukup melelahkan. “Namun akhirnya menghasilkan buku ini,” ujarnya membuka diskusi bedah buku.

Disampaikannya, Donggo memang unik, karena banyak yang mau menelitinya dari luar. Termasuk peneliti dari Amerika. “Buku ini pendekatan kasus per kasus, budaya dan hukum,” terangnya.

Diuraikannya, hukum adat ang diterapkan banyak mengambil dari syariat Islam. Pelaksana hukum adalah Lembaga Syariat Adat Donggo (LASDO). “Adat budaya Donggo sangat unik, padahal ditempat lain sudah ditinggalkan,” jelasnya.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Namun dilihatnya, penelitian tentang Donggo masih terbatas, sehingga masih membuka ruang bagi  generasi muda melakukan riset. Agar bisa diangkat ke permukaan dan menjadi wacana.

“Pemerintah dapat merepitalisasi lembaga adat dengan menerapkan hukum yang tumbuh di tengah masyarakat. Karena bisa menyelesaikan persoalan yang tidak dapat dituntaskan melalui proses litigasi,” ujarnya.

Kepala LPPM STIS Al Ittihad Bima, Dr (c) Rahmah Murtadha, M.PMat, menyampaikan buku ini hasil disertai penulis. Bedah buku ini untuk memberikan informasi tentang penelitian mendalam. “Memantik akademisi untuk giat melakukan penelitian,” ujarnya.

Kepala Museum ASI Mbojo, Drs Ruslan,  sebagai pembedah buku mengatakan, Dou Donggo adalah cermin Bima. “Donggo mewakili wajah Bima,” katanya.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Disebutkannya, salah satu hukum adat ada Onco. Mengganti tanaman yang dimakan ternak. “Jika ada yang tanamannya dimakan ternak, maka akan diganti seluas yang dimakan. Tidak perlu bawa parang dan ini memenuhi rasa keadilan di masyarakat,” ungkapnya.

Namun, tentang hukum Onco ini, belum masuk dalam buku tersebut. Diharapkan kedepan akan ada lagi  penelitian lain. “Diera kesultanan ada tiga lembaga hukum. Pidana adat, perdata adat,  titah Sultan,” ujarnya.

Dicontohkannya, ada hukum bagi penzina, dibuang hingga dibunuh. Hukum adat mengisi kekosongan hukum di masyarakat.

Ketua STIH Muhammadiyah Bima, Dr Ridwan, SH, MH, melihat ada titik keunggulan karya buku ini, yakni aspek metodologi dalam menguraikannya. “Meskipun masih ada yang belum dimasukkan. Tapi ini bisa memantik penelitian lain,” jelasnya.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

Kelebihan  lain buku ini, kata dia, mengungkap sisi keunikan keputusan lembaga adat. Komparasi tiga lembaga hukum. “Hukum adat memiliki sanksi unik dan tidak ada hukum positif dan hukum. Tapi tidak bertentangan dengan hukum Islam. Tidak dijumpai adanya resistensi,” jelasnya lagi.

Selain itu, dikatakannya, hukum di Donggo bertahan tanpa ada presur, berbeda dengan sebuah terori. Namun  diamatinya lima tahun terakhir mulai  melemah di tengah masyarakat akibat perubahan. “Mulai hilangnya tokoh sentral.  Padahal hukum adat cepat dan murah,” urainya.

Sedangkan Wakil Ketua I STIS Al Ittihad Bima, Syech Fathurrahman, MH, mengatakan, adanya buku ini menyadarkan  semua bahwa Donggo yang terletak dibagian atas ternyata banyak ditulis oleh orang, termasuk luar negeri. “Ini menunjukkan Donggo itu open book,” ujarnya.

Dalam kontestasi hukum, kata dia, hukum positif Indonesia adalah warisan Belanda yang berbenturan dengan hukum Islam. Kemudian muncul islamophobia.

Iklan. Geser untuk terus membaca.

“Kedepan hukum adat tidak bisa diharapkan terus tumbuh, jika hukum adat tidak diakomodir dalam hukum nasional. Tidak sekedar  menyinggungnya sedikit. Dalam hukum pidana tidak ada pertentangan dengan Islam. Namun dalam kewarisan berbeda,” ujarnya.

Sedangkan Ketua LASDO, Arifin, mengeprasisi hadirnya buku tersebut. Karena ini menjelaskan jati diri orang Bima di Donggo. “Hukum adat bukan plagiat dari impreslisme,” tegasnya.

Diakuinya, adanya kata Syariat dalah LASDO sempat dikuatirkan oleh alat negara. Kuatir juga menjadi cikal bakal munculnya gerakan membangun Syariat islam.  “Karena dikuatirkan arahnya ke gerakan ekstrim. Padahal syariat berupaya agar meluruskan adat,” ujarnya.

Diskusi tersebut  mengharaplan lembaga adat  memiliki ada payung hukum, minimal peraturan bupati atau Walikota.  Selanjutnya bisa diimplementasikan ke desa. (IAN)

Iklan. Geser untuk terus membaca.
Bagikan berita

Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.

Click to comment
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari komentar bermuatan pelecehan, intimidasi, dan SARA.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Peristiwa

Kota Bima, Bimakini.- Konflik berdarah di Poso, Sulawesi Tengah menjadi catatan kelam Bangsa Indonesia. Konflik yang hanya mendatangkan luka dan kepedihan bagi perjalanan bangsa...

Peristiwa

Bima, Bimakini.- Siapkan pengembaraan terbaikmu musfafir! Aku gurun tak bernama. Hanya rindu dan sunyi! Adalah  sajak “Gurun tak Bertuan” yang menjadi judul buku kumpulan...