
Foto Dok. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bima.
Tradisi berbusana Rimpu dalam masyarakat Bima banyak menarik perhatian, termasuk penelitian akademis. Ini karena adanya nilai-nilai yang tersirat di dalamnya dan memiliki perbedaaan dengan tradisi masyarakat Indonesia lainnya.
Rimpu tidak hanya dikenal di masyarakat Bima, namun juga Dompu. Budaya ini telah hidup dan berkembang, bahkan terus diiktiarkan tetap hidup hingga saat ini.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mulawarman (Unmul), Aksa, bahkan menulis jurnal ilmiah berjudul “Rimpu: Tradisi dan Ekspresi Islam di Bima”.
Ditulisnya, Rimpu pertama kali diperkenankan setelah masuknya Islam di Kesultanan Bima, sebagai bentuk pengejewantahan ajaran Islam dalam menutup aurat bagi setiap wanita muslimah.Tradisi rimpu lahir dari perjumpaan antara ajaran agama Islam dengan budaya lokal masyarakat setempat.
Secara umum, Rimpu ada dua jenis yaitu Rimpu Biasa dan Rimpu Mpida. Rimpu biasa dipakai oleh wanita yang sudah berkeluarga. Bagian wajah terbuka, seperti penggunaan jilbab pada umumnya saat ini. Sedangkan rimpu mpida biasanya dipakai oleh perempuan yang masih gadis dan hanya memperlihatkan bagian mata.
Eksistensi rimpu di daerah Bima menjadi sebuah persepsi, tradisi, dan ekspresi yang mencirikan kesadaran wanita dalam menjalankan ajaran agamanya sekaligus membudayakan busana lokal tanpa meninggalkan substansi ajaran Islam.
Kata rimpu berasal dari bahasa Bima yang mengandung arti penutup kepala dengan menggunakan sarung, sehingga dapat dipahami bahwa rimpu adalah busana berpakaian bagi wanita muslimah dengan menggunakan sarung khas Bima sebagai penutup kepala dan sebagian anggota tubuh. Rimpu sebenarnya ekspresi dalam berbusana bagi wanita muslimah dengan menggunakan dua lembar sarung khas Bima. Cara memakainya yaitu satu sarung digunakan dengan cara melingkarkan dan menutupi bagian kepala dan anggota tubuh bagian atas yang bisa terlihat hanya muka dan bahkan matanya saja. Satu sarungnya lagi dipakai dan diikatkan pada bagian perut sebagai penganti rok. Dari segi kegunaan, rimpu sebenarnya berfungsi sebagai sebagai alat penutup aurat.
Pakaian kebanyakan dibuat dengan cara menenun dan diwariskan secara turun temurun, salah satu hasil tenunan yang cukup terkenal di dearah Bima yaitu Tembe Nggoli dengan ragam corak dan hiasan sebagai hasil kreasi dari pengrajinya. Hasil tenunan berupa Tembe Nggoli sering digunakan oleh wanita muslimah yang popular dengan istilah rimpu.
Budayawan dan Penulis Bima, Alan Malingi mengatakan Rimpu harus dapat memancing minat generasi milenial untuk ambil bagian dalam mewariskan tradisi pemakaian rimpu. Disamping itu, perlu terus dilakukan sosialisasi tentang Rimpu dan sejarah keberadaanya serta pesan dari pemakaian rimpu sebagai hijab bagi perempuan Bima.
Kata Alan Malingi, leluhur masyarakat Bima telah menitipkan pesan dan petuah untuk perempuan Bima. Pesan ini tentu lahir dari pengalaman hidup dan apa yang dialami masyarakat sejak dulu beekaitan dengan tutur kata, tingkah laku, dan etika pergaulan di tengah masyarakat. Untaian nasehat itu tertuang dalam berbagai bentuk seperti syair, pantun, senandung, peribahasa dan bahkan pameo. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.
