Ada kejadian di Kabupaten Dompu yang mengusik kesadaran ruhaniah umat Islam setempat, juga pada tempat lainnya. Satu pasangan selingkuh digerebek pada rumah warga, mucikari-nya juga diamankan. Mereka terjaring operasi yang dilakukan oleh aparat Kepolisian. Berselingkuh dan memfasilitasi perbuatan mesum itu saat Ramadan adalah tindakan fatal, dari sisi agama. Bukannya “membumikan” aksi positif dan amal ibadah, malah mengambil haluan lain yang “menuhankan” hawa nafsu.
Ada pertanyaan menggelitik, apakah kasus seperti itu hanya muncul di Dompu? Masih perlu penyelidikan lebih lanjut. Namun, jika mengacu pada model mobilitas, pola hubungan, dan dinamika modernisasi sekarang, maka kecenderungan menggumbar nafsu tidak mengenal waktu dan tempat.
Paling tidak, ada dua sisi yang bisa dibidik untuk membaca kasus mucikari dan pasangan selingkuh itu. Pertama, kegagalan sebagian umat Islam menyelaraskan tindakannya dengan nilai-nilain ruhaniah. Mengumbar nafsu syaitaniah dan hewaniah saat Ramadan adalah ekspresi kesombongan yang menodai lintasan suci itu. Kita pantas prihatin. Untuk itu, setiap saat kita dituntut membangun pagar moralitas dan benteng akidah agar terhindar dari tipu-daya syaitan yang menggoda manusia dari segala penjuru angin.
Kedua, penyakit sosial prostitusi adalah fakta di sekitar kita. Diakui atau tidak. Oleh karena itu, fenomena merusak identitas kemanusiaan itu mesti segera dicari solusinya agar bisa diminimalisasi, syukur ditekan serendah mungkin.
Namun, selalu ada ruang untuk titik balik kesadaran. Kita mengharapkan saudara kita yang kini terjebak nafsu liar kembali menyadari kekeliruan langkah dan berkomitmen menyusuri titian baru menuju sirath al mustaqim. Seyampang masih ada waktu, maka tidak ada kata terlambat.
Ruang agama selalu menyediakan kelapangan maaf untuk mereka yang bertaubat. Momentum Ramadan ini adalah lintasan waktu yang tepat untuk menggelorakan semangat penyesalan dan berteguh hati meninggalkan dunia hitam-kelam. (*)
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.