Oleh: Muhammad Fikrillah
Mengunjungi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bima, pekan lalu, menawarkan suasana lain. Ada kesadaran baru yang menyeruak ke permukaan. Semoga saja bisa menjadi tambahan modal untuk melihat dunia ini dalam pemaknaan lebih.
Saat tiba, ada yang memberitahu bahwa pasien di kamar sebelah meninggal dunia. Kehidupannya berakhir setelah melewati cobaan sakit. Allah memiliki skenario yang tidak kita pahami terhadap alur kehidupan seseorang. Dia-lah Pemilik Kehidupan. Jelas saja keluarganya berkabung. Duka menggelayut. Hitam-kelam. Ada perjumpaan, tawa-canda, dan keakraban. Setelah itu perpisahan dengan orang-orang kesayangan. Dunia hanya terminal antara, akhiratlah yang kekal.
Ya, kematian itu menghentak kesadaran. Sungguh suatu kerugian besar jika usungan keranda yang kerap lewat di depan kita tidak mampu menggugah titik kesadaran ruhaniah. Mungkin ini makna pesan Rasulullah agar kita menghormati dan diam sejenak saat mayat dibawa ke kuburan. Siapapun yang meninggal dan apapun agamanya. Selain menghormati aspek kemanusiaan, juga agar ada sedikit jeda sehingga bagi yang melihat segera merenungi hakikat keberadaannya.
Kita pun sesungguhnya hanya menunggu antrean. Ini hanya soal waktu. Kematian saudara kita itu hanyalah isyarat bahwa ada batas tegas antara dua dunia. Jika kita peka, sesungguhnya luruhnya dedaunan dari ranting pepohonan, meliuk-liuk hingga tiarap di tanah adalah pesan tegas bahwa semua ada ujungnya. Nah, kesadaran seperti ini mesti selalu dibangun dari waktu ke waktu, bahkan detik per detik agar kita tidak terlena fatamorgana kehidupan dunia.
Suasana lain yang menghanyutkan rasa adalah usai shalat Dzuhur di mushala Rumah Sakit itu. Seorang jamaah di sebelah shaf bagian kiri larut dalam doa penuh kesungguhan. Ada anggota keluarganya yang sakit pada ruangan yang bersebelahan dengan mushala. Saya memilih menunda shalat sunnah demi menghayati ekspresi wajahnya saat memanjatkan harapannya kepada Yang Mahakuasa. Mata saya fokus ke arah wajahnya. Mulutnya komat-kamit. Pasti buncahan harap diucapkannya.
Sesaat kemudian, butiran bening mulai keluar dari bola matanya. Mengaliri mukanya. Suasana pun menghanyutkan. Menyentuh hati. Saya mencoba terus berempati, memosisikan diri seperti kondisinya. Saya pun membatin: semoga Allah mendengar doanya dan mengembalikan kesehatan anggota keluarganya. Mengembalikannya ke tengah keluarga dan melewati hari penuh ceria.
Momentum bersama pemuda itu merupakan pengalaman pertama yang saya saksikan. Ada hikmah yang bisa diambil yakni kepasrahan menyerahkan segala sesuatu kepada Sang Sutradara Hidup. Level kepasrahan yang ditunjukkannya itu bak oase membasahi sengatan mentari yang membakar wilayah Bima saat itu. Semoga saja musibah yang dihadapi pemuda itu, selanjutnya menjadi titik balik kesadarannya dan juga keluarganya. Titik berangkat baru untuk landasan gerak ruhaniahnya ke depan.
Kematian memang menghentak. Ia adalah tamu yang pasti menemui kita, kapan saja dan di mana saja. Kematian adalah keniscayaan. Tahap kesempurnaan alur siklus kehidupan makhluk. Kita tidak bisa bersembunyi di kolong langit lain. Di bumi inilah kita bertarung. Berjibaku dalam ketatnya persaingan hidup plus tawaran modernisme yang berpotensi mengeringkan jiwa. Kepastian tamu itu pula yang sejatinya mewarnai penyerahan diri kita kepada Allah. Jadi, mari waspada setiap saat dan menabung amal. (*)
Tulisan ini juga dimuat di http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/04/20/hentakan-kematian-dan-level-kepasrahan/
Ikuti berita terkini dari Bimakini di Google News, klik di sini.